Sepeda Lipat Dahon, Aktif Menggarap Komunitas

Demam bersepeda yang saat ini tengah terjadi, membuat merek Dahon muncul ke permukaan. Sepeda lipat asal Amerika Serikat (AS) ini sukses melakukan penetrasinya di Indonesia, tanpa harus gembar-gembor promosi yang berlebihan. Dohan memang bukan salah satu pemenang dalam survei WOMMI (Word of Mouth Marketing Index) 2010 karena kategori sepeda memang belum diikutkan dalam survei itu. Akan tetapi, keberhasilannya sebagai merek sepeda yang banyak diperbincangkan di komunitas pengguna sepeda dan dalam menetrasi pasar layak menjadi pembelajaran bagi para praktisi pemasaran.

Saking suksesnya, Dahon menjadi merek yang identik dengan sepeda lipat. “Brand ini sepertinya menjadi sebutan generik,” kata Hendry, Product Manager Rodalink, distributor resmi Dahon di Indonesia. Wajar demikian, karena, seperti diklaim Hendry, Dahon merupakan pionir kategori folding bicycle. Semua produk Dahon, dari sepeda anak hingga sepeda balap, semuanya bisa dilipat. “Selain pionir, Dahon juga fokus di sepeda lipat,” ujarnya menegaskan.

Dahon pun punya banyak tipe. Di dunia ada lebih dari 30 tipe Dahon dan Rodalink sendiri baru mendatangkan 15 tipe. Sepeda ini semakin banyak digemari lantaran cara pelipatan yang mudah. “Hanya butuh waktu 10-15 menit untuk melipat,” ungkap Hendry berpromosi sambil menambahkan beratnya di kisaran 8 – 12 kg. Harganya sekitar Rp 3 – 20-an juta.

Di kategori sepeda, Dahon bukanlah pemain kemarin sore. Sekadar menilik ke belakang, sepeda ini sudah digagas sejak tahun 1975. Kreatornya adalah Dr Davin Hon, seorang berkebangsaan Amerika Serikat. “Baru pada tahun 1982 diproduksi secara masal dengan merek Dahon,” Hendry menjelaskan. Lantas, setahun kemudian merek ini dilempar ke pasar global.

Tak terkecuali di Indonesia. Orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri, membawa sepeda ini ke Tanah Air. Atau, ekspatriat membawa sepeda lipat untuk berakivitas sepeda di negeri kita. Tak lama kemudian, ada juga beberapa orang yang menjual Dahon di Indonesia, tapi dengan sistem inden.

Akhirnya, tahun 2007 Rodalink — yang satu manajemen dengan produsen sepeda Polygon — resmi menjadi distributor sepeda yang bermarkas di California AS ini. “Kami distributor tunggal. Jadi keaslian dan garansi dijamin oleh Dahon International,” tutur Hendry menegaskan.

Dalam menggarap pasar di Indonesia, Dahon bisa dibilang tidaklah jor-joran melakukan aktivitas promosi berbau hard selling. Apalagi beriklan di televisi, mengambil space majalah untuk iklan saja bisa dikatakan sangat jarang.

Namun, anehnya, kalau ditanya ke pehobi sepeda seperti yang tergabung dalam komunitas Id Folding Bike, Bike to Work, atau sepedaku.com, mereka sangat fasih membicarakan Dahon. Malah, mereka lebih aktif mencari informasi tentang sepeda lipat ini. “Mereka sering membicarakan Dahon. Apalagi kalau akan ada produk baru,” jelas Hendry. Kadangkala, pehobi sepeda malah menanyakan produk Dahon terbaru, meski belum masuk ke Indonesia. Dibanding sepeda lipat merek Birdy, Brompton, Strida, Bike Friday, nama Dahon lebih sering dibicarakan.

Lantas, bagaimana Dahon membangun kesadaran merek? “Kami banyak melakukan BTL (below the line) ke komunitas sepeda,” ujarnya. Meski tidak terlalu sering, Rodalink mengikutkan Dahon ke beberapa pameran. “Misalnya tahun kemarin, kami ikut International Indonesia Motor Show,” kata dia. Kalau untuk pameran khusus merek Dahon, memang terlihat jarang. Namun, Dahon sering nimbrung di event yang diprakarsai Rodalink. “Kalau event Rodalink bisa ratusan kali dalam setahun. Tapi tidak khusus untuk Dahon,” ia menerangkan.

Agaknya, Rodalink sadar benar akan manfaat komunitas. “Ya, kami masuk ke komunitas sepeda supaya merek Dahon jadi bahan perbincangan,” ungkapnya. Namun, bukan berarti Dahon secara sengaja membina atau mendanai komunitas sepeda. “Kami ikut nimbrung saja, tanpa ada maksud jualan,” katanya.

Untuk masuk ke komunitas, lanjut Hendry, harus ekstra hati-hati. Pasalnya, salah sedikit saja, bisa-bisa ditolak orang. “Di komunitas kami tidak melakukan hard selling,” ujarnya lagi. Caranya, Ia mengajak timnya untuk ikut dalam kegiatan fun bike. Di situlah, timnya yang berjumlah 10 orang menyebar dengan sepeda Dahon. “Tapi kami tidak mengenakan atribut Dahon terlalu mencolok. Nanti dikira jualan,” kata Henry menambahkan.

Pernah di suatu event, Hendry dicecar pehobi Dahon. Gara-garanya, ia membawa prototipe Dahon yang belum ada di Indonesia. “Mereka nanya-nanya: Ini Dahon yang baru? Kapan keluar di Indonesia?’” ungkapnya menirukan kawan-kawannya di komunitas. Padahal, Hendry mengaku sama sekali tidak koar-koar bahwa sepeda yang dibawanya merupakan keluaran terbaru. “Saya ikut fun bike saja. Lalu, taro sepeda dan nongkrong sama mereka,” katanya mengungkap pengalamannya.

Ia ingin menegaskan bahwa dirinya mau berlaku sebagai teman. “Komunikasi dengan teman lebih enak. Kalau kami terang-terangan memberi informasi menjual, mereka malah nolak,” tuturnya. Dengan demikian, informasi produk melalui gethok tular lebih alami. Hendry juga bilang, dirinya berkawan baik dengan beberapa anggota komunitas sepeda. Nah, ia juga kerap memanfaatkan jaringan ini, misalnya kirim sms ke beberapa orang soal produk Dahon terbaru. “Jam 9 pagi saya kirim sms, jam 3 sore sudah banyak yang bertanya ke outlet Rodalink,” katanya.

Malah, pihaknya pernah kewalahan melayani loyalis Dahon. Lagi-lagi soal info sms-nya ke beberapa orang tentang bakal masuknya Dahon seri terbaru. Pecinta Dahon berdatangan ke outlet. Mereka menunggu kontainer yang membawa Dahon. Begitu sepeda diturunkan ke kontainer, mereka langsung memilih sepeda. “Jadi, mereka membicarakan Dahon di kalangan mereka sendiri,” ujar Hendry.

Dahon memang semakin booming di Indonesia. Saat ini, menurut Hendry, pengguna Dahon di Indonesia mencapai angka 5 ribuan orang. “Penjualan kami terus tumbuh. Bahkan saat booming tahun 2008-2009 tumbuh hingga 45%,” ujarnya. Sayang, Hendry enggan blak-blakan angka penjualan Dahon.

Yang pasti, tahun depan pihaknya akan memperbanyak range produk Dahon di Indonesia. “Dahon sangat aktif berinovasi. Dan itu yang membuat konsumen puas dengan sepeda ini,” pungkasnya.

Dalam pandangan Yuswohadi, ada dua faktor kesuksesan Dahon. Pertama, karena produk ini memiliki value proposition yang unik, yaitu sepeda yang bisa dilipat sangat kompak. Teknologi Dahon adalah yang termaju dalam hal teknologi sepeda lipat ini. Sepeda ini bisa dilipat dalam tempo singkat sehingga sangat praktis. Lalu, Dahon juga memiliki value product karena harganya relatif terjangkau: di kisaran Rp 3 jutaan.

Ditambah lagi, sepeda lipat menjadi populer di kota-kota besar di Indonesia karena kini menjadi gaya hidup orang kantoran yang trendi. “Saya melihat unique value proposition ini punya ‘nilai berita’ yang bisa menimbulkan buzz di kalangan pecinta sepeda di dalam komunitas,” kata pengamat pemasaran ini.

Kedua, konsumen sepeda di Indonesia sudah menjadi komunitas konsumen yang solid dan tersebar di berbagai kota. Konsumen yang sudah membentuk diri menjadi komunitas ini merupakan “kemewahan” yang dinikmati Rodalink. Makanya, Rodalink tak perlu melakukan investasi promosi ATL yang besar untuk menyukseskan produk-produknya, termasuk Dahon.

Pasalnya, viral mengenai produk-produk Rodalink (Polygon) berhembus dari satu komunitas ke komunitas lain dengan biaya promosi sangat murah, tapi dampaknya hebat (low cost high impact). “Kasus Dahon memperlihatkan bahwa marketer paling ampuh adalah konsumennya sendiri. Jadi Dahon’s marketers are its customers,” ujarnya menyimpulkan.

Inilah uniknya marketing di dalam komunitas. Fungsi Rodalink tidak secara langsung seperti yang terjadi pada pemasaran konvensional. Peran Rodalink adalah memfasilitasi terjadinya viral atau buzz dari produk di dalam komunitas yang ia target.

Lalu, dalam berbagai komunitas sepeda seperti Bike2Work, sudah terjadi demam sepeda lipat Dahon. Ini terjadi karena adanya conversation dan diskusi yang terjadi di dalam komunitas tersebut mengenai kehebatan sepeda lipat ternama di dunia ini. Berkat adanya conversation tersebut, Yuswohadi melihat peluncuran Dahon di Indonesia begitu ditunggu-tunggu olah para “fans”-nya, seperti layaknya film Harry Potter ditunggu para pecintanya. Inilah menariknya pemasaran melalui komunitas.

Dede Suryadi, Sigit A Nugroho dan Wini Angraeni
Riset: Dian Solihati

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.