Mengejar Untung dari Transaksi Valas

Keterpurukan US$ yang terus berlanjut membuat sejumlah kalangan mengalihkan perhatian ke mata uang lain, seperti euro dan poundsterling. Seberapa menarik berinvestasi valuta asing saat ini?

Oleh : Dede Suryadi

Akhir-akhir ini berita yang menyoroti terus melemahnya mata uang Amerika Serikat, US$, makin merebak. Memang, dolar AS makin terpuruk terhadap sejumlah mata uang dunia lainnya sejalan dengan tren penurunan suku bunganya (The Fed) dan makin melemahnya perekonomian AS di tengah hantaman berbagai masalah.

Tengok saja, sepanjang Oktober lalu, US$ sudah terdepresiasi 1,3% terhadap euro atau 8,7% sepanjang tahun ini. Pada akhir bulan itu, US$ terkoreksi menjadi US$ 1,4467/euro dari level sebelumnya US$ 1,4432/euro. Artinya, mata uang Eropa itu makin digdaya dan US$ mencapai rekor terendahnya terhadap euro.

Tak mengherankan, Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), baru-baru ini membuat penyataan mengejutkan: euro berpotensi menggantikan US$ sebagai cadangan devisa. Tak salah pernyataan Greenspan, karena kabarnya beberapa negara mulai memasukkan euro secara signifikan sebagai cadangan devisanya. Ini sudah dilakukan Brasil, Rusia, India, Cina dan negara-negara Timur Tengah.

Demikian juga poundsterling Inggris, pada akhir Oktober lalu menunjukkan kejayaannya terhadap US$ dengan mencapai rekor tertinggi dalam 26 tahun terakhir menjadi US$ 2,0740/poundsterling. Di Asia, beberapa mata uangnya juga menguat terhadap US$, misalnya dolar Singapura dan won Korea. Sementara rupiah, kendati mengalami pasang-surut, secara keseluruhan pada Oktober lalu mengalami penguatan 0,4% terhadap US$.

“Sebenarnya mengoleksi US$ bukan waktunya lagi,” kata Farial Anwar, analis pasar valas. Namun di Indonesia, mata uang asing selain US$ rasanya belum populer karena pemerintah dan Bank Indonesia (BI) masih sangat tradisional dibanding negara-negara lain yang telah memberikan alternatif mata uang kepada masyarkat untuk kebutuhan perdagangan internasional ataupun investasi. Artinya, ketergantungan negeri ini terhadap US$ masih sangat tinggi. “Kita belum lihat pemerintah atau BI menyosialisasi agar kita bisa terlepas dari ketergantungan terhadap US$,” katanya menyesalkan.

Diakui Farial, sebelumnya memang US$ menjadi daya tarik ketika tren kenaikan suku bunga The Fed terus naik sebanyak 17 kali dari 1% menjadi 5,25%. Dan sesuai dengan teorinya, kalau suku bunga naik, mata uangnya akan menguat. Namun belakangan ini, ketika tren The Fed terus turun, orang kembali lagi melihat fundemental ekonomi AS. “Negara ini sedang mengalami masalah besar dalam neraca perdagangan dan anggaran belanja negaranya,” ia menginformasikan. Dan, AS sebenarnya negara yang hidup dari utang karena anggarannya defisit terus. “Negara ini besar utangnya dibanding pendapatannya,” katanya tandas. Banyak surat utangnya yang dikuasai negara-negara lain, termasuk negara yang tak bisa ia kendalikan. Salah satunya, Cina. Cadangan devisa negeri ini yang lebih dari US$ 1,5 triliun hampir 50%-nya adalah surat utang negara AS. Jadi, seandainya Cina menjual secara besar-besaran surat utangnya itu, AS bisa kelabakan.

Neraca perdagangannya pun defisit terus karena impornya lebih besar daripada ekspornya. “Negara yang utangnya lebih banyak dan neracanya defisit terus, maka mata uangnya nggak akan menguat,” Farial menyimpulkan. Belum lagi harga minyak yang terus melambung, mendekati US$ 100/barel, bisa membuat AS terkena krisis karena negara ini merupakan pengonsumsi minyak tertinggi di dunia. Alasan-alasan inilah yang membuat banyak orang mulai mengalihkan simpanannya dari US$ ke mata uang yang dianggap relatif aman. “Saat ini yang jadi favorit adalah euro yang terus menguat semenjak diluncurkan,” ujarnya. Seperti saat ini, satu euro sudah mencapai US$ 1,44, padahal saat diluncurkan 1 Januari 1999, satu euro masih US$ 0,9.

Selain euro, poundsterling juga layak dilirik karena terus menguat terhadap US$. Pada Desember 2006, satu poundsterling US$ 1,97 dan saat ini US$ 2,07. “Ini baru satu tahun, penguatannya seperti itu,” katanya. Di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), tempat transaksi forex (foreign exchange), poundsterling dan euro memang menjadi primadona dibanding mata uang lain seperti yen Jepang, dolar Australia ataupun frank Swiss. Per September 2007, volume transaksi poundsterling mencapai 46.300 lot dan transaksi tertinggi di tahun ini terjadi pada Februari lalu, 122.685 lot. Sementara euro per September mencapai 7.698 lot dan transaksi tertinggi terjadi pada Mei: 18.337 lot. “Kalau dibandingkan, volume transaksi poundsterling lebih banyak dibanding euro,” ujar Ratna S. Rahatmi dari Divisi Pengembangan Usaha BBJ.

Wandi, investor forex, mengungkapkan pengalamannya bahwa bermain forex lebih menarik dibanding menyimpan dana di deposito valas atau deposito biasa, Sertifikat Bank Indonesia ataupun Surat Utang Negara. Hanya saja, bermain forex sangat cocok bagi investor risk taker. Selama ini, Wandi lebih memilih poundsterling atau euro. Menurutnya, untuk bisa berinvestasi di forex melalui BBJ, investasi minimal US$ 100 dengan per US$ 1 dihitung Rp 6.000 (fixed). Jadi, investasi minimal sekitar Rp 60 juta. Transaksi dilakukan dalam satu lot, dan per satu lot adalah US$ 1.000 (Rp 6 juta).

Dalam menjalankan strategi investasinya, Wandi selau mematok target gain/take profit yang diperoleh adalah 50 poin dan rugi/cut loss maksimal 25 poin. Di samping itu, ia selalu mengikuti tren. “Kalau orang lain buy, saya juga buy. Tidak melawan tren,” ujarnya. Dengan cara ini, ia mampu mengontrol kerugian agar tidak terlalu besar karena berinvestasi di instrumen ini tak selamanya untung dan berisiko besar untuk rugi. Intinya, harus disiplin kapan take profit dan cut loss.

Berapa keuntungannya? “Itu relatif, tergantung pada seberapa aktif dan seberapa besar bertransaksi. Yang pasti, return-nya di atas deposito. Cukup untuk menghidupi keluarga,” kata Wandi sambil membandingkan: kalau bunga deposito 8,25% per tahun, bermain di forex bisa 8 kali lipatnya. “Return-nya bisa mencapai 50% atau rata-rata 30% per tahun,” ia membeberkan. Sayang, ia tak mau menyebutkan berapa investasi dan nominal keuntungannya.

Berbeda dari bermain forex, Agus W. Widjaya, Presiden Direktur PT Trend Valasindi, money changer, mengungkapkan, mengoleksi poundsterling — secara fisik — tergolong mengerikan karena volatilitasnya cukup tinggi dan kadang tidak mengikuti tren, sehingga susah dibaca. Selain itu, secara fisik, bendanya agak susah di pasaran. Berbeda dari euro yang selalu berbanding terbalik dengan US$, sehingga bisa dibaca pergerakannya. Kendati demikian, transaksi poundsterling di money changer-nya tergolong lumayan: rata-rata 5-6 ribu poundstering/hari/gerai. Sementara euro lebih tinggi lagi: 10-25 ribu euro/hari/gerai.

“Hingga saat ini transaksi yang masih diminati adalah US$, setiap hari rata-rata US$ 100 ribu/outlet,” ujar Agus. Sementara yen lebih banyak dibeli nasabahnya untuk keperluan transaksi dibanding investasi dengan rata-rata transaksi setiap hari 500 ribu-3 juta yen/gerai. Menurut Farial, yen bukanlah mata uang yang baik untuk dipegang karena gerakannya tidak bisa diprediksi, tak sejalan dengan pergerakan US$ secara global. Mata uang ini selalu dijadikan ajang spekulasi, yang disebut carry trade. “Jadi saya sarankan tidak memegang yen, tapi mata uang yang bisa diprediksi,” ia memberikan tipnya. Selain itu, jangan terlalu banyak mata uang asing yang dimainkan, sehingga tidak fokus. Bagi pemula, bisa satu atau maksimal dua mata uang.

Lalu, selama berinvestasi di valas, harus mengikuti perkembangan infomasi, termasuk berita ekonomi suatu negara, terutama AS, dan bagaimana dampaknya yang membuat mata uang itu bisa turun atau naik. Ini bisa dilihat dari analisis fundamentalnya atau analisis teknis untuk para trader. “Hanya saja, di forex analisis teknisnya lebih dominan dibanding analisis fundamental,” kata seorang pialang, sebut saja Andri. Yang juga penting diperhatikan ketika akan berinvestasi di valas, Andri menambahkan, adalah soal perusahaan sekuritas yang akan jadi partner kita. Telitilah sejauh mana profesionalismenya, siapa pemiliknya, bagaimana kinerjanya, telah berjalan berapa lama, dan sudah menjadi anggota bursa atau belum. “Ini bisa kita tanya ke Bepepti atau ke orang-orang bursa,” katanya. Lalu, memilih trader-nya pun harus selektif, seperti bagaimana pengalaman, kemampuan, dan lisensi-lisensinya sebagai trader. “Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan agar investor tidak merugi,” ia menegaskan.

Riset: Asep Rohimat

Published on Majalah SWA, 22 November 2007

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.