Gurihnya Saham Pertambangan

Seperti sedang menemukan momentumnya, saham sektor pertambangan menjadi primadona di bursa. Para investor pun menangguk keuntungan berlipat-lipat. Masih menarikkah saham ini ke depan?

Oleh : Dede Suryadi

Sejak awal tahun ini hingga memasuki pekan terakhir Mei 2007, hampir semua harga saham pertambangan sedang digdaya dan harganya terus meroket. Secara keseluruhan indeks saham pertambangan melonjak 62,23% — dari level 933,213 poin menjadi 1.514,226 poin – selama kurun waktu 2 Januari hingga 25 Mei 2007. Peningkatan saham sektor pertambangan ini jauh di atas Indeks Harga Saham Gabungan, yang hanya naik 12,37% — dari 1.805,523 ke 2.060,434.

Apabila pergerakan harga saham emiten tambang dirinci, PT Timah (kode saham: TINS) memimpin peningkatan harga saham yang mencapai 183,62% — dari Rp 4.425 pada 2 Januari 2007 menjadi Rp 12.550 pada 25 Mei 2007. Lalu, PT International Nickel Indonesia (INCO) naik 86,61%; PT Aneka Tambang (ANTM) 85%; PT Bumi Resources (BUMI) terdongkrak 73,33%; dan saham PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) 30,50% (lebih lengkapnya lihat: Tabel).

Kenaikan saham sektor pertambangan sangat dipengaruhi oleh pendapatan perusahaan tambang di dunia, termasuk Indonesia, yang meningkat pesat seiring dengan menguatnya harga komoditas ini di pasar internasional. Kita tengok perusahaan tambang di Indonesia. INCO pada 2006 membukukan laba bersih US$ 513,36 juta atau meningkat 91,7% dibanding posisi laba bersih 2005 yang sebesar US$ 267,75 juta. Kinerja yang cemerlang juga ditunjukkan oleh Bumi Resources yang membukukan laba bersih US$ 222,30 atau naik 80,35% dari tahun 2005 (US$ 123,26 juta). Sementara itu, Bukit Asam hanya mencetak kenaikan laba bersih tipis – yakni 4% — dari Rp 467,060 menjadi Rp 485,670 miliar.

Riko Hadi Nugroho, analis PT Limas Centric Indonesia Tbk., mengatakan, hasil survei PricewaterhouseCoopers (PWC) menunjukkan, laba industri tambang dunia rata-rata meningkat pesat tahun lalu. Hasil ini diperoleh PWC berdasarkan survei terhadap 70 perusahaan yang mewakili lebih dari 75% industri pertambangan. “Khusus perusahaan tambang di Indonesia, pertumbuhannya mencapai 37% dibanding tahun 2005,” ia mengungkapkan.

Kenaikan laba para emiten tambang terjadi karena harga komoditasnya naik. Hal ini dipicu munculnya raksasa baru: Cina dan India, yang menjadi konsumen utama komoditas tambang untuk kebutuhan berbagai industrinya yang sedang tumbuh pesat. Muhammad Alfatih, analis BNI Sekuritas, menambahkan, harga komoditas tambang dunia meningkat, di samping permintaan yang tinggi seperti dari Cina dan India, juga dipengaruhi oleh nasionalisasi perusahaan asing di Venezuela, termasuk perusahaan tambang. Ini berpengaruh terhadap pasokan komoditas tambang dunia, sehingga harganya naik.

Khusus timah, harganya naik, salah satu penyebabnya yakni adanya larangan ekspor timah ilegal. Padahal, ekspor timah ilegal mencapai hampir 30% pasokan timah dunia. Larangan ekspor itu terjadi di Indonesia pada 2006, dan negeri kita ini termasuk produsen timah terbesar di dunia. “Selama ini dibiarkan karena terkait kemampuan penegakan hukum di sini. Sekarang, izin ekspor timah diperketat,” kata Alfatih.

Tingginya harga komoditas tambang yang berimbas pada kenaikan saham tambang, tentunya, membawa berkah tersendiri bagi para investor. Seperti yang dialami Haryanto Bakti, investor yang memiliki saham TINS (Timah) dan INCO sejak 2001. Merasa momentumnya sudah tepat karena harga kedua sahamnya semakin menanjak, ia menjualnya sekitar tiga bulan lalu. “Saya lepas karena target investasinya telah tercapai,” katanya. Sayang, ia enggan mengungkap seberapa besar gain yang dia peroleh dari kedua sahamnya itu. Malah ia sengaja melepasnya di tengah kecenderungan nilai kedua sahamnya itu terus meningkat. Tujuannya, “Siapa yang membeli kedua saham saya juga mendapatkan keuntungan. Itu namanya win-win,” ucapnya enteng.

Sementara itu, Purwadi Andandianto, Dirut Dana Pensiun Jasa Marga (DPJM), menceritakan, saham pertambangan selalu masuk dalam portofolio investasi dana pensiun ini. Sekarang, DPJM memiliki saham PGAS, PTBA, ANTM, dan sebelumnya juga punya saham TINS (sudah dijual). “Saham-saham tambang selalu kami koleksi dalam portofolio investasi kami,” ia menegaskan. Alasannya, di antara saham-saham tambang itu, ada yang masuk kategori blue chip dan LQ 45.

DPJM pun aktif mentransaksikannya (jual dan beli). Tak jarang, untuk mengoleksi saham tambang biasanya lembaga ini membeli secara bertahap, atau kalau dirasa sudah memenuhi target investasinya dijual sebagian atau seluruhnya. Total portofolio saham pertambangan yang dimiliki DPJM sekitar 5% dari total investasi di saham sebesar 15%. “Dari angka 5% itu, PGAS mengambil porsi 50%, ANTM 5% dan PTBA 45%,” ujar Purwadi sambil menyebutkan total dana kelola DPJM adalah Rp 280 miliar per Januari 2007.

Lebih jauh ia menjelaskan, alasan tertarik mengoleksi saham PGAS karena perusahaan ini memiliki fundamental sangat bagus, sehingga sahamnya untuk jangka panjang masih berprospek cerah. Memang akhir tahun lalu, saham PGAS sempat jatuh dan DPJM pun membeli saham itu di harga cukup rendah, yakni Rp 7.400. Padahal sebelumnya ia baru membeli di posisi Rp 11 ribu sekitar November 2006. “PGAS ini pernah menembus angka tertinggi di level Rp 13 ribu, dan kami yakin saham ini bisa kembali menembus angka itu,” ucapnya.

Sementara itu, saham ANTM, terakhir dibelinya awal tahun ini di angka Rp 12 ribu, dan pertengahan Mei ini sudah mencapai Rp 16 ribu. Purwadi optimistis, saham ini pun masih punya prospek bagus ke depan. Maka, DPJM tetap mengoleksinya. Untuk saham PTBA, terakhir dibeli awal tahun ini di harga Rp 3.400 dan beberapa kali menambah saham ini. Pertengahan Mei lalu nilainya sudah Rp 4.500, dan pada 25 Mei lalu ditutup pada level Rp 4.600. Tak lupa, Purwadi menceritakan saham TINS yang dilepasnya tahun lalu. Alasan dilepas karena sudah mendapatkan gain yang diinginkan, yakni mencapai 100%. Saham ini dibeli seharga Rp 3 ribuan dan dijual seharga Rp 6 ribuan setelah digenggam hanya beberapa bulan. Intinya, “Dibandingkan dengan saham lain, saham tambang dalam beberapa bulan terakhir ini sangat menguntungkan,” cetusnya.

Meneropong prospek ke depan, Riko berpandangan bahwa saham pertambangan di BEJ, sebetulnya hampir seluruhnya mempunyai prospek yang cukup bagus jika dilihat dari sisi perusahaannya. Namun jika dilihat dari sisi perdagangan sahamnya, barangkali BUMI dan PTBA menjadi pilihan yang cukup menarik. Kedua saham ini diperkirakan masih terus dapat melakukan reli, menyusul INCO, TINS, ANTM. Maklum, dilihat dari PE/ratio (perbandingan antara harga saham dan laba bersih per saham), saham tersebut masih terhitung rendah alias harganya masih murah. PE/ratio BUMI tercatat 10,5 kali; PTBA 21,82 kali; ANTM 18,18 kali; INCO 6,92 kali; dan TINS 5,02 kali. Sementara PE/ratio rata-rata saham pertambangan di BEJ mencapai 34,2 kali. Bahkan, di bursa saham Cina dan Australia, PE/ratio saham pertambangan telah melambung ke level 35,05 kali dan 92,99 kali. “Investasi di sektor pertambangan cukup menarik untuk jangka pendek, menengah ataupun jangka panjang,” ia memberi saran.

Senada dengan Riko, Alfatih juga optimistis terhadap prospek saham pertambangan. Pasalnya, permintaan akan komoditas tambang di dunia bakal tetap tinggi. Tentu, akan berimbas pada terus terdongkraknya harga saham sektor ini. Dan, yang paling tinggi kenaikannya diperkirakan adalah saham INCO dan ANTM. Adapun TINS akan menghadapi masalah, meski harga jualnya tinggi, sumber kandungannya di bumi mulai terbatas. Makanya, bagi investor, saham perusahaan timah perlu dicermati ke depan, sebab performanya tidak akan sebagus saat ini.

Sementara itu, saham PGAS dan PTBA, dalam pandangan Alfatih, masih punya peluang yang cukup besar untuk naik, sebab memiliki sumber kandungan produk yang masih berlimpah. Apalagi kalau PTBA menambah saluran distribusinya seperti akan membuat jalur ganda kereta api sebagai sarana pengangkutnya, harga sahamnya bakal terdongkrak lebih tinggi lagi. Demikian pula PGAS yang sedang menambah proyek pipa penyaluran baru, jika pembangunannya selesai produksinya bakal meningkat. “Jadi saham ANTM, INCO, PTBA dan PGAS masih layak dikoleksi, sedangkan saham TINS harus diwaspadai,” ia menyimpulkan.

Riset: Sarah Ratna Herni.

Published on Majalah SWA, 4 Juni 2007

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.