Turunnya tingkat suku bunga membawa gairah tersendiri bagi pergerakan saham properti di bursa. Hampir semua saham di sektor ini bergerak naik. Bagaimana prospeknya ke depan?
Oleh : Dede Suryadi
Sejak kuartal empat 2006, sejalan dengan terus menurunnya tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), saham sektor properti menunjukkan kenaikan cukup signifikan. Turunnya SBI yang saat ini menyentuh level 8,25% menjadi salah satu pemicu ekspektasi membaiknya penjualan sektor properti, di samping momentum penguatan bursa saham yang turut memberi kontribusi pada kenaikan saham properti.
Di bulan Mei 2007, misalnya, indeks saham properti naik 16,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cuma 3,06%. Malah, menurut data Mega Capital Indonesia, sepanjang Januari-15 Juni 2007 performa saham sektor properti naik hingga 65%, sedangkan IHSG pada periode yang sama hanya tumbuh 15%.
Beberapa saham properti harganya memang tumbuh spektakuler. Tengoklah, selama kurun waktu Januari-15 Juni 2007: saham Bakrieland Development (berkode ELTY) naik 96% dari Rp 150 menjadi Rp 310; saham Pakuwon Jati (PWON) tumbuh 88% dari Rp 800 menjadi Rp 1.500; saham Summarecon Agung (SMRA) naik 34% dari Rp 1.170 ke level Rp 1.570; saham Ciputra Surya (CTRS) naik 24% dari Rp 990 menjadi Rp 1.230; dan saham Ciputra Development (CTRA) meningkat 21% dari Rp 770 menjadi Rp 930.
Naiknya saham sektor properti juga dipicu oleh aksi koporasi para emitennya, seperti restrukturisasi utang, ekspansi usaha, dan faktor fundamental emiten yang menunjukkan perbaikan kinerja di tahun ini. Hiramsyah S. Thaib, Presdir & CEO PT Bakrieland Development Tbk., mengatakan, sejak tahun lalu Bakrieland melakukan ekspansi besar di tengah momentum penurunan tingkat suku bunga dan kebutuhan hunian yang masih tetap tinggi.
Saat ini, Bakrieland memiliki tiga strategic business unit (SBU), yaitu: City Development (Rasuna Epicentrum); Hotel & Resor (Bali Nirwana dan sedang membangun Legian Nirwana); dan Landed Residential (Bogor Nirwana Residence). Ia menambahkan, Rasuna Epicentrum terus berekspansi, yang sebelumnya direncanakan hanya menempati areal seluas 25 hektare, kini lahannya diperluas menjadi 55 ha. Begitu pula Bogor Nirwana Residence, sekarang hanya 170 ha, tetapi dalam master planning-nya land bank pengembang properti ini akan ditingkatkan menjadi 1.000 ha.
Apalagi, tahun ini Bakrieland berhasil meraup dana dari rights issue sekitar Rp 2,8 trilun. Sebagian besar dana itu digunakan untuk menambah land bank di beberapa proyek yang sedang dikembangkan, khususnya di Rasuna Epicentrum dan Bogor Nirwana Residence (85%). Selain itu, perusahaan ini juga melakukan aliansi strategis dengan Avenue Capital Growth yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Avenue siap berinvestasi di Bakrieland senilai lebih dari Rp 1 triliun, dan ini akan berdampak luar biasa. “Kami juga sedang melakukan pembicaraan dengan investor dari Singapura, Malaysia dan Eropa,” ujar Hiramsyah.
Kinerja keuangan Bakrieland pun cukup menggembirakan. Penjualannya sepanjang 2006 mencapai sekitar Rp 393 miliar, sedangkan tahun ini ditargetkan Rp 700 miliar. Dari sisi laba, tahun lalu sekitar Rp 67 miliar, dan tahun ini diprediksi Rp 140 miliar. Sementara itu, revenue tahun depan ditargetkan mencapai Rp 1,3 triliun..
Adapun PT Summarecon Agung, meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap fokus pada bisnis inti dan terus mengembangkan konsep kota seperti yang telah dibuktikan dengan suksesnya pengembangan Kelapa Gading sebagai kota mandiri yang memiliki fasilitas lengkap. Kemudian, dilanjutkan dengan pengembangan di Serpong dan sedang mempersiapkan ekspansi ke Bekasi. “Kami selalu komit dengan apa yang telah dijanjikan,” tandas Johanes Mardjuki Presdir Summarecon Agung.
Michael Yong, Sekretaris Korporat Summarecon, menambahkan, corporate action yang dilakukannya, selain menyelesaikan mal, juga tengah memasarkan dan meluncurkan perumahan dengan menawarkan berbagai klaster di Serpong. “Di Serpong setiap tahun kami mengembangkan 30-50 hektare. Bahkan setiap bulan meluncurkan klaster,” tuturnya.
Ia menambahkan, penjualan Summarecon tahun 2006 mencapai Rp 600 miliar, sedangkan tahun ini diprediksi naik menjadi Rp 700-800 miliar. Tahun 2008 Summarecon berencana membangun kota mandiri di Bekasi. Saat ini, Summarecon telah memiliki lahan sekitar 150 ha dan akan diperluas menjadi 300 ha. Tahap pertama, rencananya akan dibangun perumahan dengan luas lahan 10-20 ha, atau sebanyak 400-500 unit dengan harga Rp 300-500 juta/unit. Setelah itu bakal dibangun kawasan komersial seperti Kelapa Gading. “Ini proyeksi lebih dari 10 tahun ke depan,” kata Yong. Meskipun tahun 2008 Summarecon mulai ekspansi dengan proyek baru di Bekasi, Yong belum berani memprediksi penjualan tahun depan. “Secara konservatif akan meningkat sekitar 20% dibanding penjualan tahun 2007,” ujarnya.
Bagi Hendra Bujang, analis pasar modal, saham Bakrieland dan Summarecon, plus saham Grup Ciputra (PT Ciputra Development dan PT Ciputra Surya) tergolong mencorong di sektor ini dan menjadi incaran para investor. Nilai lebih dari keempatnya, yakni: fundamentalnya kuat karena semuanya memiliki land bank, dan punya ekuitas merek (dari sisi produk cukup dikenal). Selain itu, proyek-proyek yang sedang mereka kembangkan prospeknya bagus.
Apa yang diungkapkan Hendra diamini Michael, investor saham properti. Ia mengaku tertarik berinvestasi pada saham Grup Ciputra karena perusahaannya termasuk yang lolos seleksi sewaktu krisis, dan saat ini sudah bangkit dari keterpurukan. Terlebih, baik Ciputra Development maupun Ciputra Surya sudah merestrukturisasi utang sehingga ekuitasnya membaik. Selain itu, Ciputra bukan pemain baru, sehingga sudah memiliki ekuitas merek yang kuat di bisnis properti, land bank luas dan punya banyak pengalaman. “Makanya saya berani ambil posisi di saham-saham Ciuptra,” tandasnya. Sementara Bakrieland dan Summarecon, menurutnya, proyeknya rill, di samping fundamentalnya juga kuat. Bahkan, dari sisi likuiditas di bursa, saham Bakrieland lebih likuid dibanding saham Ciputra Development, Ciputra Surya dan Summarecon.
Michael mengungkapkan, ia membeli saham perusahaan properti Grup Ciputra pada pertengahan 2003. Saat itu harga saham keduanya masih Rp 100. Begitu pula dengan saham Summarecon, ia mengoleksi sejak 2003. Namun, ia sudah melepas saham Ciputra Development dan Summarecon ketika harganya di level Rp 800-an. “Capital gains yang saya peroleh sudah lumayan,” katanya. Sementara itu, per 18 Juli 2007, saham Ciputra Development sudah berada di level Rp 960 dan saham Summarecon Rp 1.500.
Kini, ia tidak tertarik membeli saham Ciputra Development dan Summarecon lantaran harganya sudah mendekati harga wajarnya. “Kalau toh beli, sekadar untuk trading (short-term), bukan long-term,” tutur Micahel. Sementara itu, saham Ciputra Surya dan Bakrieland yang masih dikoleksinya, kursnya di lantai bursa per 18 Juli 2007 masing-masing Rp 1.200 dan Rp 405 .
Untuk saham lainnya, seperti Lippo Karawaci (LPKR), ia juga kurang tertarik. Betul, lanjut Michael, secara fundamental bagus, tapi kurang likuid. Bahkan, menurutnya, dulu saham ini banyak “makan korban”. Adapun saham Bukit Sentul (BKSL), Dharmala Intiland (DILD) dan Kawasan Industri Jababeka (KIJA) memang kenaikan harganya sangat signifikan, tapi kalau dilihat fundamentalnya meragukan dan sahamnya tidak likuid. Malah, Bukit Sentul ada kasus dengan nasabah sehingga citranya kurang bagus. “Kalau toh mau bermain di saham tersebut, hanya untuk trading,” Michael menegaskan lagi.
Berinvestasi di saham properti, menurut Michael, ada dua hal yang perlu diperhatikan: fundamental dan likuiditas. Kalau fundementalnya bagus tapi tidak likuid, berisiko sulit menjualnya kembali dan rawan dengan permainan bandar – ada yang menyebutnya “konsorsium”. Apalagi saham properti yang termasuk saham lapis dua, jarang dilirik investor institusi/perusahaan yang biasanya main di saham blue chips.
Menurut Felix Sindhunata, Head Divisi Riset Ekuitas PT Mega Capital Indonesia, secara keseluruhan ia melihat prospek saham sektor ini masih cukup baik, sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi dan stabilnya tingkat suku bunga. ”PE/ratio rata-rata untuk sektor ini yang meliputi 35 emiten mencapai 36 kali. Sedangkan angka rata-rata price to book value (PBV) cukup rendah (0,58),” ia menganalisis. Namun, salah satu hal yang mempersulit analisis fundamental emiten sektor properti, yakni adanya instabilitas pertumbuhan laba bersih.
Senada dengan Felix, Riko Hadi Nugroho, analis PT Limas Centric Indonesia Tbk., juga memprediksi bahwa sektor properti pada masa mendatang akan lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Antara lain, dipicu oleh kondisi makroekonomi yang kian kondusif, membuat para pengembang mulai bangkit. Lihat saja, lanjutnya, pembangunan beberapa proyek properti terus menggeliat, mulai dari hunian, kawasan bisnis dan perkantoran, hotel dan resor, hingga pusat perbelanjaan.
Untuk mengoleksi saham properti, sebaiknya investor, selain memerhatikan ekonomi makro seperti suku bunga dan inflasi, juga perkembangan bahan baku bangunan untuk proyek-proyek di Indonesia. Selain itu, faktor fundamental emiten dan likuiditas sahamnya pun menjadi perhitungan tersendiri, supaya return yang dihasilkan investor bisa maksimum.
Reportase: Darandono
Riset: Asep Rohimat dan Sarah Ratna Herni.
Published on Majalah SWA, 26 Juli 2007