Selama 40 tahun, Polytron pantang surut menggempur pasar elektronik yang dikuasai pemain global. Beragam kendala justru membuatnya semakin berani dan percaya diri. Bagaimana merek elektronik dari Grup Djarum ini menggempur pasar?
Tahun 2015 menjadi fase penting bagi Polytron, merek elektronik karya anak bangsa di bawah PT Hartono Istana Elektronik (HIE) yang pabriknya berada di Kudus, Jawa Tengah. Sebab tahun ini Polytron genap 40 tahun. Sebuah usia fantastis bagi sebuah merek elektronik lokal di Tanah Air.
Keistimewaan Polytron bukan hanya mampu bertahan hingga empat dekade. Lebih dari itu, Polytron benar-benar tahan banting. Ia tak pernah surut berinovasi dan mengembangkan mereknya, kendati selama bertahun-tahun selalu dipinggirkan. Kalah populer dari merek asal Korea, Jepang dan China, Polytron tidak menyerah. Ia terus bertahan dan konsisten membangun merek di tengah persaingan yang sangat ketat.
Ini bukan perkara mudah bagi Polytron. Pasalnya tak sedikit merek elektronik dari mancanegara, terutama Jepang, yang tengah bersiap-siap menunggu ajalnya. Akibat pasar yang menua sehingga tak cukup dinamis dalam kegiatan pemasarannya. Meski demikian, Polytron tidak peduli. Ia tetap percaya diri menggarap pasar lokal yang muda dan terus berkembang kebutuhannya.
Bertumbuhnya kelas menengah memberikan angin segar bagi Polytron. Semakin baiknya daya beli masyarakat ditambah berkembangnya pasar elektronik di negeri ini, membuat Polytron ikut berkibar. Berdasarkan data GfK Temax, nilai pasar industri nasional konsumer elektronik pada semester I/2015 mencapai Rp 17,84 triliun. Sementara industri information and communication technology termasuk handphone lebih besar lagi, yaitu mencapai Rp 43,95 triliun pada periode yang sama.
Jurus Pemasaran Empat Dekade
Bagaimana jurus pemasaran Polytron hingga bisa bertahan selama empat dekade? “Cita-cita awal Polytron didirikan adalah menguasai teknologi bukan dikuasai teknologi,” ujar Tekno Wibowo, Direktur Pemasaran HIE. Ia bercerita, Polytron berkiprah sejak 1975, saat produk elektronik Eropa merajai dan produk Jepang sudah mulai masuk. Sejatinya orang Indonesia ketika itu sudah bisa membuat produk elektronik karena sumber dayanya ada, tetapi belum memiliki teknologinya. Itu sebabnya saat itu, HIE merekrut lima orang enjinir lokal yang memiliki latar belakang pendidikan bagus seperti dari ITB dan lulusan luar negeri, Australia. Untuk mentransfer teknologi dan mendidik SDM yang dimilikinya, HIE menjalin kerja sama dengan Philips dan Salora, perusahaan asal Finlandia yang terkenal dengan merek Nokia.
Memasuki tahun 1980-an, HIE bisa membuat produk elektronik sendiri dengan merek Polytron, yaitu TV hitam putih yang memang sedang in saat itu. Kemudian, HIE membuat berbagai produk audio. Produk inilah yang mengangkat nama Polytron. Maklum produk audionya seperti tape compo Polytron mampu memenuhi selera pasar orang Indonesia yang ingin suara bass dan treble dari produk audio itu menonjol. Tentu HIE bisa memenuhi selera pasar orang Indonesia karena sebelumnya, perusahaan ini melakukan riset pasar yang mendalam.
Untuk produk TV pun, kala itu HIE membuat dua merek, yaitu Polytron dan Digitec Ninja. Polytron diposisikan sebagai merek Eropa dan Digitec Ninja sebagai merek Jepang. “Saat itu, merek Eropa sedang in dan produk Jepang mulai masuk,” ujarnya. Dan pada 1992, HIE pun bisa mengekspor TV ke berbagai negara di Eropa seperti Inggris, Spanyol dan yang lainnya. Namun tidak menggunakan merek Polytron. Ekspor ini bisa berjalan 3-4 tahun. Kemudian mengubah strategi dengan menggarap pasar regional seperti Thailand dan Filipina dengan menggunakan merek sendiri. Dan tak lupa pasar dalam negeri tetap digarap HIE.
Krisis ekonomi pun mendera pada 1997 membuat HIE lebih fokus menggarap pasar dalam negeri dengan hanya membesarkan merek Polytron. Memasuki tahun 2000 saat produknya makin diterima pasar, Polytron pun mulai memproduksi produk peralatan rumah tangga seperti kulkas dengan mendirikan pabrik sendiri di Sayung, Semarang. Pada 2005 mulai memproduksi mesin cuci dan dispenser. “Tahun 2000 produk audio kami sudah menguasai 50% pangsa pasar dan TV kami masuk empat besar,” ungkapnya mengenai alasan Polytron membuat produk baru kala itu.
Memasuki tahun 2011, Polytron mulai menggarap pasar handphone (HP). Awalnya membuat fitur HP alias HP biasa. Kemudian membuat smartphone yang saat ini sudah menghadirkan smartphone 4G. HIE pun sangat serius membuat alat komunikasi yang ditandai dengan membangun pabrik khusus HP di Kudus.
Inovasi Produk Menyibak Tren
“Polytron dikenal sebagai inovasinya,” ungkap Tekno. Ia mencontohkan, Polytron merupakan yang pertama menggunakan bahan kaca untuk pintu kulkas. Hal ini dilakukan karena insight konsumen menunjukkan kalau orang Indonesia sangat suka memajang kulkas di ruang tamu yang sekaligus sebagai pajangan.
Menurut Tekno, inovasi itu selalu muncul karena di internal HIE menerapkan strategi 3i, yaitu improvement, innovation, dan invention. Strategi ini diterapkan di internal dan memacu karyawannya untuk memunculkan ide baru. Setiap ide yang diterima akan mendapatkan apresiasi dari perusahaan dan menjadi kebanggaan bagi karyawan yang mengusulkannya. “Banyak sekali ide yang muncul dari karyawan kami,” katanya. Inovasi juga bisa digali berdasarkan hasil riset konsumen yang rutin dilakukan Polytron. Kemudian, inovasi bisa pula muncul berdasarkan masukan dari dealer/toko penjual produk Polytron.
Bagi Polytron, yang namanya inovasi tak harus menghasilkan produk baru melainkan bisa juga pengembangan dari produk yang sudah ada. Contohnya, Polytron membuat mesin cuci yang diberi nama Zeromatic. Inovasinya adalah mesin cuci matic, yang akan tetap berfungsi meski debit air yang masuk sedikit. Hal ini dibuat karena kebanyakan mesin cuci matic tidak bisa berfungsi kalau air yang masuk sedikit. “Semua inovasi yang kami buat dipatenkan dan dikomunikasikan,” ujar Tekno yang bergabung dengan Polytron sejak 1993.
Strategi Komunikasi
Nah untuk strategi komunikasinya, menurut Tekno, Polytron berusaha memahami dulu konsumen yang dibidik siapa. Seperti mesin cuci, konsumen yang dibidik adalah ibu-ibu sehingga harus menyesuaikan dengan karakter mereka dalam membuat komunikasi dan pemilihan media komunikasinya baik above the line (ATL) maupun below the line (BTL).
Untuk ATL, biasanya pihak HIE membuat perencanaan selama setahun yang dalam perjalanannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Misalnya, Polytron beriklan kulkas ketika menjelang Lebaran, atau saat ini sedang gencar mengiklankan mesin cuci, produk audio dan HP. Pihaknya juga selalu memilih TV commercial (TVC) yang penyebarannya secara nasional sangat luas. Misalnya RCTI atau SCTV. Namun kalau bujet promosinya tak mencukupi, dipilih salah satu dari kedua TVC tersebut. Lalu TVC atau media lokal juga menjadi bidikan Polytron untuk berpromosi. Itu sebabnya di beberapa daerah merek Polytron cukup dominan. “Di Jawa Barat, brand awareness merek Polytron sangat kuat,” ucapnya mencontohkan.
Selain itu, Polytron aktif pula menggarap media digital atau media sosial seperti website, Facebook, Twitter, Instagram. Bahkan Polytron selain memiliki website perusahaan, juga memiliki e-commerce (www.memangcanggih.com). Melalui web inilah Polytron menjual beragam produknya secara online.
Sementara itu untuk promosi BTL, Polytron rajin melakukan road show ke berbagai daerah, terutama di kota besar: Medan, Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Road show ini bisa dilakukan di mal, kampus dan sekolah. Melalui road show ini, Polytron mengomunikasikan berbagai inovasi terbarunya agar diketahui masyarakat. Bentuk road show-nya meliputi pameran atau kegiatan sponsor dalam acara di kampus atau sekolah. Atau, aktivasi di kompleks perumahan melalui kegiatan membersihkan AC yang menjadi bagian dari edukasi cara hidup sehat. “Yang pasti, cara berkomunikasi itu selalu diawali dengan sebuah riset pasar setiap tahun agar menyentuh target konsumennya,” katanya, sambil menyebutkan komposisi berpromosi ATL 60% dan BTL 40%.
Berbicara distribusi, Polytron termasuk salah satu pemain yang cukup kuat jaringannya. Saat ini Polytron memiliki 26 kantor cabang, termasuk di Tahiland, 65 service centre, dan 7 authorized dealer. Untuk distribusi, Polytron memiliki perusahaan distribusi sendiri, PT Sarana Kencana Mulya. Juga, Polytron memiliki showroom khusus di Grand Indonesia Jakarta yang bernama Polytron Living Experience. “Untuk menggarap para distributor yang terpenting adalah melakukan good relationship dengan mereka,” ujar Tekno tanpa memerinci lebih jauh.
Dengan berbagai langkah pemasaran yang dilakukan, penguasan pasar Polytron pun tergolong moncer. “Menurut data GfK per Agustus 2015, kulkas kami nomor satu, mesin cuci nomor empat, audio nomor satu, TV tabung nomor satu, TV LED nomor empat, dan AC masih kecil pasarnya,” ujar lulusan Univeritas Atma Jaya Yogyakarta ini menjelaskan.
Bersaing Merebut Pasar
Menyikapi soal persaingan, bagi Polytron bukan harga yang dikedepankan tetapi lebih ke kualitas. “Produk kami di pasar bukan yang termurah karena kalau perang harga tak ada habisnya. Kami lebih konsen ke kualitas dan inovasi,” katanya. Memang pesaing Polytron saat ini adalah merek global, dari Eropa, Jepang, Cina dan terutama Korea yang saat ini menjadi pesaing beratnya. Kalau sesama pemain elektronik lokal, boleh dibilang Polytron jagonya, karena pemain lokal lainnya kurang terdengar gaungnya seperti Akari.
Sekarang dukungan teknologi elektronik sangat terbuka melalui kemungkinan alih daya dan kerja sama teknis dengan beberapa vendor terutama dari China. Dengan demikian, Polytron berupaya terus mengembangkan teknologi produknya sesuai dengan standar produk elektronik yang beredar di pasar. Maka tak heran, produk Polytron kini juga diedarkan di sejumlah negara seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Republik Dominika, Thailand, Filipina, Vietnam, Myanmar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.
Tentu saja, merebut pasar luar negeri bukan perkara yang mudah, karena sesuai dengan teori pemasaran internasional, Polytron harus lebih dulu memiliki basis yang kuat di negara asalnya. “Di sini Polytron harus secara kreatif dan cerdas membangun ekuitas merek agar betul-betul dirasakan sebagai produk elektronik yang mumpuni oleh khalayak sasarannya di Indonesia,” ujar M. Gunawan Alif, Wakil Rektor Sampoerna University.
Dalam pandangan Gunawan, konsistensi Polytron selama empat dekade menunjukkan bahwa perusahaan milik Grup Djarum ini sangat serius di industri elektronik dan sudah memiliki pasar tersendiri, sehingga memiliki prospek yang bagus ke depan. Berbeda dari Sony dan perusahaan elektronik Jepang lainnya yang memiliki pasar lokal yang menua, sehingga tak cukup dinamis dalam kegiatan pemasarannya.
Dilihat dari produknya, Polytron dapat membuat produk dengan kualitas yang baik dengan menyasar pasar yang besar dan terus berkembang dari kelompok menengah yang mulai mencari nilai lebih besar dari produk yang dibelinya. Namun penting bagi Polytron, menyusun suatu arsitektur merek yang jelas, ditunjang kegiatan periklanan dan aktivasi merek yang tertata baik, sehingga dapat membantu memperkuat merek Polytron secara keseluruhan.
Strategi promosi Polytron, menurut Gunawan, terkelola dengan baik. Namun kampanye ATL masih harus terus ditingkatkan agar brand positioning dan brand differentiation Polytron betul-betul tertancap di benak khalayak sasarannya. “Saat ini, Polytron masih sekadar sebagai produsen peralatan elektronik yang baik seperti produsen elektronik yang lain, tetapi belum terasa apa yang membuatnya berbeda, sehingga ada alasan yang kuat untuk memilihnya,” ucapnya memberikan masukan.
Dari pengamatan Gunawan, yang terlihat belum digarap secara optimal oleh Polytron adalah komunikasi media sosial ataupun komunitas. Padahal khalayak muda harus dirangsang dengan suatu upaya interaktif yang kreatif. Hal ini perlu digarap dengan serius, mengingat sebagian produk elektronik yang diproduksi Polytron banyak menyasar khalayak muda.
Gunawan juga memberikan masukan agar Polytron tetap eksis. “Kata kuncinya adalah sustainable innovation, inovasi yang berkesinambungan,” katanya. Teknologi terus berubah dari waktu ke waktu, preferensi konsumen berubah dari waktu ke waktu, Polytron harus mampu mengelola perubahan semacam itu secara inovatif. Artinya, mereka harus memiliki akses ke teknologi dan pemahaman (insight) dari apa yang diperlukan oleh konsumennya. Tanpa memahami kenyataan ini, kasus Nokia dan Sony bisa saja terulang. Tentu saja harapan Polytron yang merupakan merek lokal harus menjadi tuan rumah di negara sendiri dan dapat menjual produknya di mancanegara, sehingga Polytron dapat menjadi Indonesian global brand yang dibanggakan.
Penulis: Dede Suryadi (Twitter & IG : @ddsuryadi)
Riset: Siti Sumariyati
BOKS:
Jurus Polytron Menggarap Pasar Elektronik
• Polytron produksi PT Hartono Istana Teknologi, perusahaan elektronik lokal dari Grup Djarum.
• Dibangun 18 September 1975 di Kudus, Jawa Tengah, kini Polytron telah memiliki sejumlah produk seperti audio, TV, kulkas, mesin cuci, dispenser, hingga smartphone 4G.
• Inovasi produk menjadi visi Polytron agar bisa bersaing dengan menerapkan strategi 3i, yaitu improvement, innovation, dan invention.
• Strategi komunikasi, Polytron melakukannya melalui promosi above the line (ATL), below the line (BTL).
• Untuk BTL, Polytron rajin melakukan road show ke berbagai kota besar melalui mal, kampus dan sekolah. Bentuk road show-nya meliputi pameran atau kegiatan sponsor.
• Polytron juga aktif menggarap media digital atau media sosial seperti website, Facebook, Twitter, Instagram. Bahkan Polytron selain memiliki website perusahaan, juga memiliki e-commerce (www.memangcanggih.com). Melalui web inilah Polytron menjual beragam produknya secara online.
• Untuk distribusi, saat ini Polytron memiliki 26 kantor cabang, termasuk di Tahiland, 65 service centre, dan 7 authorized dealer. Polytron juga memiliki perusahaan distribusi sendiri, PT Sarana Kencana Mulya.