Pemasaran “Gaya Hidup” Kamera DSLR

Merespons berkembangnya fotografi sebagai tren dan gaya hidup masyarakat kota, sejumlah merek kamera DSLR aktif menggarap komunitas dan konsumen anyar. Bagaimana strateginya?

 

Pada suatu pagi, di sebuah kafe di bilangan Kebayoran Baru, Innayanti berada di antara sekumpulan ibu muda, berfoto ria dengan diselingi gelak tawa. Mereka tampak cantik dan akrab dengan busana muslim berwarna senada. Pose dan gayanya tak kalah keren dibandingkan dengan foto model profesional. Begitu pula kamera yang digunakan, tak kalah canggih dari fotografer kenamaan. Barangkali yang membedakan cuma tempat pemuatan hasil fotonya nanti. Foto model dimuat di halaman majalah, sedangkan foto-foto para ibu ini biasanya cuma di-release di laman Facebook (FB) mereka.

Ya, berfoto ria belakangan sering menjadi agenda khusus ibu-ibu gaul ketika bertemu untuk arisan dan menikmati wisata kuliner. Ketika berkumpul, masing-masing menenteng kamera. Komunitas mapan ini dengan sengaja mendokumentasikan pertemuannya, bahkan siap dengan kostum yang dikenakannya. Mereka difoto dan memfoto. Jika hasilnya muncul di FB, mengalirlah komentar dan ledekan yang sering menggelikan.

 

Inilah fenomena gaya hidup baru yang muncul bersamaan dengan tumbuhnya media-media sosial, terutama FB: fotografi. Ya, saat ini fotografi berkembang menjadi hobi baru banyak kalangan: orang tua, anak-anak muda, remaja, bahkan anak-anak sekolah dasar. Yang menarik, meskipun wilayah edarnya “cuma” media sosial, kamera yang mereka miliki bukan kamera pocket biasa, melainkan kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR). “Ya, kalau kamera pocket tidak menantanglah,” ujar Innayanti. “Kami ingin memotret menggunakan teknik yang hasilnya bisa didiskusikan dengan teman-teman,” lanjutnya.

 

Menurutnya, difoto dan menfoto bisa menjadi bentuk refreshing dia dan teman-temannya sembari menunggu anak sekolah. Mengapa fotografi? Alasannya, memotret sangat mudah dilakukan dan dinikmati sekaligus. Apalagi, kamera DSLR sekarang user friendly, hanya membutuhkan sedikit teknik fotografi yang tidak terlalu rumit. “Jadi, siapa pun pasti bisa kalau mau belajar memotret,” ujarnya. “Dan enaknya kalau jalan bersama keluarga, hobi ini juga bisa dilakukan bersama-sama dengan anak dan suami,” tambahnya senang.

 

Lahirnya gaya hidup baru fotografi ini memunculkan konsumen baru kamera DSLR yang cukup signifikan. Menurut data Datascrip, total penjualan kamera DSLR di Indonesia pada 2011 naik 40% dibanding tahun sebelumnya. Penjualannya di tahun lalu itu mencapai lebih dari 160 ribu unit. Belum ada data berapa nilai nominalnya. Hanya saja, kalau total penjualannya yang sebanyak 160 ribu itu dikali dengan harga kamera Rp 5 juta, angkanya mencapai Rp 800 miliar. Kalau ditambah dengan harga kamera yang di atas Rp 5 jutaan, nilai pasar (market size) kamera DSLR ini lebih tinggi lagi. Apalagi, di 2012 ini diperkirakan penjualan DSLR akan mencapai 250 ribu unit atau tumbuh 50%.

 

Tentunya, nilai pasar yang sebesar itu menjadi ladang gurih yang diperebutkan banyak pemain. Masih menurut data Datascrip, pemain DSLR yang dominan adalah Canon yang menguasai pangsa pasar sekitar 70%, diikuti Nikon (30%), serta Sony dan Olympus (masing-masng di bawah 10%). Data ini sejalan dengan data GfK yang pada tahun lalu menyurvei penggunaan kamera DSLR dan mirrorless di tujuh kota besar di Indonesia.

 

Apa yang diungkap dalam data Datascrip ataupun GfK memang sejalan dengan realitas di lapangan. “Canon, Nikon adalah pemain utama DSLR. Disusul Sony dan Olympus,” ujar Abeng Taswin, pemilik empat toko Bursa Kamera Profesional dan sudah berjualan kamera sejak 23 tahun lalu. Kamera DSLR yang paling laku dari keempat merek tersebut adalah yang berharga Rp 5 jutaan.

 

Begitu juga di gerai lain seperti Focus Nusantara (FN), Jakarta: kamera DSLR yang paling banyak diminati konsumen adalah Canon, Nikon dan Sony. “Di tempat kami, Canon menempati urutan teratas di antara ketiga merek tersebut,” ujar Hartono Kurniawan Halim, pemilik dua gerai FN sambil menyebutkan, model yang paling digemari adalah DSLR mid level.

 

Yang dimaksud mid level adalah kamera seharga Rp 10 jutaan. Dalam khasanah kamera DSLR, ada kategori entry level yang harganya Rp 5 jutaan. Lalu, kamera mid level bagi mereka yang lebih serius dalam fotografi dengan harga Rp 10 jutaan; serta top level untuk para profesional dan pehobi foto serius dengan harga Rp 20 juta ke atas, bahkan di atas Rp 50 juta.

 

Bagaimana Canon bisa merajai kamera jenis ini? Merry Harun, Direktur Divisi Canon Datascrip, menerangkan, secara umum dalam memasarkan Canon, pihaknya selalu memadukan strategi push dan pull dalam pemasarannya, baik ke pelanggan korporat maupun ritel (konsumer). Saat ini, ada tujuh model kamera DSLR Canon yang dipasarkan Datascrip untuk menyasar tiga segmen penggunanya. Untuk entry level, dipasarkan Canon EOS 1100, EOS 550D dan EOS 600D; mid level, EOS 60D, EOS 7D dan EOS 5D Mark II; dan top level, EOS 1 DX yang dibanderol Rp 60-70 juta.

 

Ditambahkan Sintra Wong, Manajer Pemasaran Datascrip, pasar terbesar DSLR adalah pasar konsumer. “Memang dulu saat kamera jenis ini masih mennggunakan teknologi analog, penggunanya adalah pelanggan industri yang bekerja di dunia fotografi profesional. Namun, sekarang penggunanya bergeser ke ritel,” kata Sintra.

 

Menurut pria kelahiran Medan, 24 September 1981 itu, salah satu strategi utama dalam memasarkan DSLR adalah dengan menggarap komunitas. Pasalnya, komunitas bisa mejadi endorser yang efektif karena biasanya orang yang mau beli DSLR bertanya terlebih dulu kepada temannya yang lebih paham kamera. Dan, biasanya juga orang yag paham kamera tergabung dalam sebuah komunitas. “Jadi, melalui komunitas, word of mouth marketing (WOMM) berjalan efektif,” ungkapnya. Inilah yang membedakannya dari segmen kamera saku. Untuk membeli kamera saku, agak jarang si calon konsumen bertanya dulu kepada temannya.

 

Melihat potensinya itu, komunitas ini pun digarap dan diperhatikan. Hanya saja, komunitas fotografi semakin lama semakin banyak sehingga pihak Canon harus selektif dan lebih strategis dalam memilih komunitas yang akan digarap, yaitu dengan melihat jumlah anggota dan aktivitasnya. “Saat ini cukup banyak komunitas yang keep in touch dengan kami,” ujar Sintra. Ia menyebutkan contohnya: Komunitas Fotografer.net yang kabarnya menjadi komunitas fotografi terbesar se-Asia Tenggara, Jakarta Photo Club (JPC), klub-klub mahasiswa seperti Studio 51 Universitas Atma Jaya, serta Klub Fotografi Datascrip – yang terakhir ini merupakan komunitas binaan Datascrip yang berdiri sejak enam tahun lalu, dan kini total anggotanya ribuan, yang aktif 800-an anggota.

 

Canon menggarap komunitas antara lain dengan memberikan newsletter dan info terbaru, menggelar hunting foto dan lomba foto, serta mengadakan edukasi seperti pelatihan dan seminar fotografi. Diungkap Sanny Kuputri, Ketua JPC, komunitasnya yang berdiri sejak tujuh tahun lalu sudah lama bekerja sama dengan Datascrip.

 

Misalnya, ketika JPC mengadakan pelatihan fotografi buat anggota yang berjumlah 15 ribuan orang, pihak Datascrip mendukungnya dengan memberikan merchandise, menyediakan akomodasi, dan membantu kebutuhan JPC lainnya. Timbal baliknya, pihak Datascrip diberi kesempatan mengenalkan produk Canon. “Edukasi bagi anggota sangat diperlukan karena banyak dari mereka yang sudah punya DSLR yang canggih, tetapi belum mahir menggunakannya,” kata Sintra.

 

Diakui Sanny, dari semua pemain kamera DSLR, Canon termasuk yang paling agresif menggarap pasar. Tak mengherankan, penetrasi produk ini sangatlah luas. Bahkan, sebagian besar anggota JPC memiliki DSLR Canon. Namun, ada juga yang memiliki DSLR merek lain.

 

Diakui Sintra, efek komunitas terasa dahsyat. Bahkan, ketika sebuah produk kamera DSLR baru akan hadir atau diluncurkan di Indonesia, biasanya mereka sudah tahu. Mereka selalu mengikuti perkembangan kamera dari luar melalui Internet. Ujung-ujungnya, meski belum resmi diluncurkan, sudah banyak yang indent. “Bahkan ada website yang membahas rumor-rumor kamera yang akan segera hadir di Indonesia. Ini tidak terjadi di segmen kamera pocket,” ujarnya membandingkan.

 

Setiap komunitas ini memiliki website sendiri-sendiri sebagai wahana interaksi antar-anggota. Selain melalui Web, mereka juga bisa berkomunkasi melalui jejaring media sosial. Artinya, produk apa yang akan keluar bisa menjadi bahasan hangat di media sosial. Pihak Canon sendiri, dengan tim khususnya, tergolong aktif dan serius mengelola media sosial seperti Twitter (@canon_indonesia) atau Facebook.

 

Tak hanya Canon yang aktif menggarap pasar komunitas, PT Sony Indonesia (SI) juga tak mau ketinggalan karena perusahaan ini juga rajin memasarkan kamera DSLR. Diungkap Danu Sagoro, Manajer Produk Digital Imaging Business SI, perusahaannya tergolong masih baru di industri DSLR, yaitu sejak 2007. Adapun untuk kamera saku, SI telah lama memasarkannya. “Meski baru, posisi kami di pasar DSLR sudah menjadi nomor 3 dengan penguasaan pasar sekitar 10%,” kata Danu.

 

DSLR Sony cepat direspons pasar karena kualitas produknya yang mengusung submerek Alpha tak diragukan lagi. Segmen yang dibidik juga sama seperti Canon. Ada tiga level produk yang ditawarkan mulai dari harga Rp 5 jutaan sampai puluhan juta. DSLR Sony yang dipasarkan saat ini ada lima varian.”Penjualan terbanyak adalah di segmen entry level sebanyak 50%, mid level 30%, dan top level 20%,” ujar Danu tanpa mau menyebutkan angka penjualannya.

 

Sama seperti Canon, bagi Danu, menggarap komunitas sangatlah penting dan juga menjadi endorser yang ampuh bagi pemasaran produknya. Hanya saja, karakter komunitas pengguna DSLR Sony sangatlah militan dan solid karena jumlah pemakai kamera ini masih sedikit. Contohnya, komunitas Alphanics yang berdiri sejak 2008 dan Apharian, komunitas lama yang ada sejak kamera Konika Minolta belum diakuisisi Sony. Selain itu, ada juga klub fotografi mahasiswa yang dibidiknya, antara lain klub di Universitas Bina Nusantara, Atma Jaya dan Tarumanagara Jakarta.

 

Sama seperti komunitas fotografi pada umumnya, mereka juga punya sejumlah kegiatan yang terkait dengan dunianya. Hanya saja, Alphanics dan Apharian sangat rajin bergerilya untuk mempromsoikan kamera Sony Alpha, terutama bagi para calon pengguna DSLR. Bahkan, kegiatannya sampai ke berbagai daerah. “Strategi WOMM ini sangat efektif mendongkrak penjualan produk kami,” kata Danu.

 

Komunitas-komunitas tersebut juga memiliki anggota di berbagai daerah. Selain itu, pastinya mereka pun sangat aktif di dunia maya karena masing-masing memiliki website. SI juga aktif mengelola media digital seperti website yang dipegang oleh sebuah agensi dan media sosial yang dipegang langsung pihak SI.

 

Selain menggarap komunitas, SI juga aktif beriklan di sejumlah media massa yang segmented seperti majalah fotografi dan gaya hidup. Sekarang SI lebih aktif menggarap promosi below the line dengan menggelar pameran, terutama di luar Jawa sejalan dengan gencarnya pembukaan kantor cabangnya di sejumlah daerah.

 

“Kalau di Jakarta, awareness DSLR Sony sudah kuat, tetapi di daerah masih harus terus digarap,” ujar Danu. Dalam waktu dekat, SI akan membuka cabang di Bandung, Pekanbaru, Manado dan Papua — yang sudah ada di Surabaya, Yogyakarta, Makasar, Medan dan Balikpapan. Kantor-kantor cabang ini tak hanya mengelola dan memasarkan kamera, tetapi juga produk Sony secara keseluruhan seperti televisi dan handycam. Aktivitas SI lainnya adalah memberikan pelatihan fotografi bagi pembeli DSLR. Pelatihan di Grand Indonesia, Jakarta, ini diselenggarakan setiap bulan.

 

Demikian juga Canon. Agar tetap dominan, Canon pun rajin beriklan di berbagai media seperti media fotografi, majalah yang menyasar kaum profesional, dan majalah gadget. Sementara iklan di teve belum dilakukan. Promo di gerai penjualan kamera juga rajin dilakukan, seperti memberikan hadiah tas kamera atau external hard disk. Termasuk, promo buat toko penjualnya. Misalnya, jika mencapai target penjualan, akan diajak jalan-jalan ke luar negeri atau mengikuti acara gathering lainnya.

 

Tak hanya itu, Canon kerap pula melakukan promo trade in (tukar tambah produk lama dengan yang baru). “Ini dilakukan terutama saat DSLR mulai booming karena waktu itu masih banyak yang memiliki kamera analog,” ujar Sintra. Demikian juga, ketika produk baru akan diluncurkan, Canon rajin membuat gathering eksklusif, terutama untuk penggunan kamera top level. Misalnya, Datascrip baru saja meluncurkan kamera EOS 1DX yang berharga Rp 60-70 juta, maka yang diundang adalah kalangan terbatas yang biasa menggunakan kamera jenis itu. Sebut saja, Sigit Pramono (Ketua Perbanas dan mantan Dirut BNI dan BII), yang menjadi pelanggan kamera mahal ini. Lalu, ada pula fotografer profesional seperti Jerry Aurum atau Edward Tigor Siahaan.

 

Memang, penjualan varian Canon top level sangat terbatas, hanya 10%. Sementara mid level 30%, dan yang terbesar adalah di segmen entry level, 60%. Khusus di pasar mid dan top level, Canon harus bersaing ketat dengan Nikon yang juga dominan di kedua segmen tersebut. Memang, kalau diperhatikan, Nikon tak segencar Canon dalam memasarkan produknya. Namun tahun 2011, Nikon mulai menggeliat. Salah satunya, dengan mulai menggarap segmen kampus.

 

Di Indonesia, distributor resmi Nikon adalah PT Alta Nikindo milik Arifin Handra. Selain memegang lisensi Nikon di sini, Alta juga memiliki gerai penjualan kamera bernama Kotaraya di Mangga Dua dan Glodok, Jakarta. Boleh jadi, Alta mulai lebih agresif memasarkan produknya karena saat ini generasi keduanya, Larry Handra, mulai ikut ambil bagian untuk mengelola Nikon. Sayang , pihak Nikon tak berkenan diwawancarai SWA.

 

Hartono yang juga pengamat bisnis kamera menjelaskan, kalau dibandingkan, Canon adalah merek yang paling agresif menggarap pasar kamera dan beriklan. Bahkan, Canon memiliki Canon School of Photography. Namun, pesaing terberatnya, Nikon, juga memiliki Nikon School of Photography.

 

Umumnya, pemain kamera termasuk Sony dan Olympus rajin menggelar promosi berhadiah, terutama untuk menyambut hari-hari besar nasional, dan paling sering mensponsori lomba-lomba fotografi di Tanah Air. Selain itu, mereka pun rajin memberikan insentif kepada dealer atau toko kamera. Misalnya, insentif jalan-jalan ke luar negeri kepada dealer yang dapat mencapai target. Selain itu, “Pada umumnya semua distributor kamera selalu berpartisipasi pada ajang pameran yang digelar di banyak kota di Indonesia.”

 

Seperti halnya produk telekomunikasi, ke depan, teknologi dan penjualan akan terus berkejaran. Adalah tugas para pemain untuk menyinkronkan antara kebutuhan, teknologi, harga dan gaya hidup agar permintaan terhadap kamera DSLR bukan karena sekadar tren, melainkan karena kamera tersebut memang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas gaya hidup masyarakat menengah-atas.(***)

 

 

Dede Suryadi

 

Riset: Siti Sumariyati

 

 

 

 

INFOGRAFIS

 

Langkah Canon Menangkap Konsumen

 

  • Menggarap puluhan komunitas independen dan bentukan Datascrip dengan menjadi sponsor kegiatan, memberikan newsletter dan update info, menggelar hunting foto dan lomba foto, serta memberikan edukasi seperti pelatihan dan seminar fotografi.
  • Menggencarkan promosi above dan below the line serta aktif menggunakan pemasaran digital dan jejaring media sosial.
  • Menggelar promo penjualan kamera di toko-toko kamera. Juga, memberikan insentif khusus bagi toko penjualnya. Misalnya, jika mencapai target penjualan akan diajak jalan-jalan ke luar negeri atau mengikuti acara gathering lainnya.
  • Melakukan promo trade in (tukar tambah produk lama dengan yang baru).
  • Membuat gathering eksklusif untuk menggarap kelas atas pelanggan kamera. Seperti saat meluncurkan kamera EOS 1DX yang berharga Rp 60-70 juta — EOS merupakan submerek kamera Canon.
  • Total penjualan DSLR Canon pada 2011 sebanyak 120 ribu unit dengan pertumbuhan 40% setiap tahun dan penguasaan pasarnya 70%. Target penjualan di 2012 sebanyak 160 ribu unit atau tumbuh 50%.

 

 

Langkah Sony Menangkap Konsumen:

 

  • Mengusung submerek Alpha untuk kamera DSLR-nya.
  • Menggarap komunitas Alphanics dan Alpharian yang sangat solid dan militan karena jumlah pemakai kamera ini masih sedikit.
  • Menjadikan pemasaran digital dan media sosial sebagai sarana ampuh untuk mengarap pelanggan.
  • Beriklan di sejumlah media massa yang segmented, seperti majalah fotografi dan gaya hidup.
  • Melakukan promosi below the line dengan menggelar pameran, terutama di luar Jawa, sejalan pembukaan kantor cabang di sejumlah daerah.
  • Menggelar pelatihan fotografi bagi pelanggan setiap bulan di Grand Indonesia, Jakarta.
  • Sony menguasai sekitar 10% pasar DSLR, atau di posisi ketiga di industri ini.

 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.