Bila Anda ingin menikmati sensasi makanan pedas khas Jawa, datang saja ke restoran Mba Jingkrak. Sekarang ini, Mbah Jingkrak bisa dijumpai di beberapa tempat seperti di Setia Budi dan Panglima Polim di Jakarta. Lalu di Bogor, Pekan Baru, dan tentunya di Semarang yang merupakan tempat awal Mba Jingkrak didirikan oleh Ajeng Astri Denaya sejak 2005.
Variasi menu di Mbah Jingkrak cukup beragam. Namun, ada beberapa menu andalannya yang diberi nama nyeleneh, yaitu pitik rambut setan, tempe jingkrak, asem-asem koyor, sambal iblis, teri buto ijo, ayam kawul, ayam kenari, sate kabul, bothok, dan mangut. “Di Mbah Jingkrak, masakan andalannya pedas. Itu kenapa namanya Mbah Jingkrak. Jadi kalau kepedesan bisa sampai jingkrak-jingkrak. Tapi kami tetap sediakan menu bagi mereka yang tidak suka pedas,“ kata Ajeng menjelaskan.
Sebenarnya nama Mbah Jingkrak itu muncul secara tidak sengaja. Waktu itu Ajeng bersama suami dan teman-temannya pulang dari daerah Wonosari. Kala itu Ajeng sedang mencari teknik untuk membuat nasi beras merah di warung Mbah Jirak. Ternyata waktu di mobil, sang suami kepeleset lidah mau menyebut Mbah Jirak menjadi Mbah Jingkrak. “Seisi mobil ya ketawa semua. Saya pikir nama itu lucu,” katanya mengenang saat akan membuka Mbah Jingkrak. Sepulang dari Wonosari itu, ia langsung membuat logo Mbah Jingkrak. “Kalau menu, di kepala saya sudah ratusan,” kata Ajeng yang memang sudah hobi masak sejak lama.
Menurutnya, banyak yang melihat kalau Ajeng dianggap sangat mudah menjalankan bisnis restonya. Sebelum buka Mbak Jingkrak, Ajeng membuka resto Bentuman di Jalan Kyai Tapa 10 A Semarang. Resto Bentuman, luasnya hanya 100 meter persegi dengan 12 meja. Warung itu sangat fenomenal waktu itu. “Yang nguaantrii halaah banyak. Saya bisa BEP (balik modal) dalam waktu 3 bulan. Waktu itu omsetnya sampai Rp 60 juta sebulan. Itu tahun 1997 lho. Lha wong beberapa bulan buka, saya sudah bisa cicil Kijang Kapsul seharga Rp 47 juta. Tahun 1998 saya sudah bisa cicil rumah,” ujarnya menceritakan kesuksesan membuka Bentuman yang kemudian reset ini pindah ke JalanTaman Beringin No 3 Semarang.
Sebelum membuka Mbah Jingkrak pun, Ajeng sempat membuka resto Bentuman pizza dan roti. “Tapi tidak jalan. Di Semarang ini kan orangnya susah. Sangat fanatik. Mereka bilang Bentuman ini kan spesialis stik, kok buka roti dan pizza. Yang pizza sih jalan. Hanya saya kurang cocok sama partner-nya. Cuma 3 bulan, lalu tutup,” ujarnya.
Sementara itu, saat pertama membuka Mbah Jingkrak sampai sekarang langsung lancar hingga saat ini telah memiliki cabang di luar Semarang seperti yang sudah disebutkan di atas. Semua cabangnya itu dibuka dengan sistem waralaba (franchise). “Waktu pertama kali franchise ya nekat saja. Waktu itu kan aturan untuk franchise belum seperti sekarang. Pokoknya kami susun sendiri, dan tidak saklek kayak waralaba resto dari luar,” ungkapnya membandingkan.
Untuk menunya, Ajeng yang menyediakan master chef dan SDM inti untuk para mitra waralabannya (franchisee) agar kualitas dan cita rasa masakannya sesuai standar. Mereka sebelumnya dan secara rutin diberi pelatihan agar bisa bekerja sesuai standard operating procedures (SOP) dari pusat (Semarang). Jumlah master chef yang disediakan tergantung kebutuhan setiap cabangnya. Minimal 3 orang master chef namun kalau yang di cabang Setia Budi sampai 12 master chef. Untuk jumlah karyawan, kalau yang di Semarang mencapai 50 orang, Setia Budi 85 orang, Panglima Polim 32 orang, Bogor 30 orang, dan Pekan Baru 40 orang.
“Saya perlakukan anak-anak (karyawan) sebagai mitra. Kami bisa berkembang bersama. Saling belajar. Kesejahteraan mereka semakin meningkat saat bergabung dengan Mbah Jingkrak,” ujarnya sambil menambahkan kalau dirinya selalu berupaya memfasilitasi para karyawanya untuk bisa membayar uang muka rumah atau mencicil mobil dan sebagainya. “Intinya, saya ingin agar pikiran mereka tidak terganggu urusan lain saat bekerja. Kalau kesejahteraannya makin bagus, mereka bisa lepas dan senang di sini,” cetusnya.
Dulu memang pernah ada franchisee yang dianggap tidak manusiawi. Lokasinya di Bulungan Jakarta. Di outlet ini memberlakukan jam kerja melebihi batas dan para karyawannya tidur ngampar di meja. “Langsung saya putusin kerja samanya. Anak-anak (karyawan) kami tarik ke Semarang. Padahal, waktu itu omsetnya mencapai Rp 500 juta/bulan,” katanya menceritakan.
Selain memperhatikan kesejahteraan karayawan sebagai salah satu kunci sukses membesut bisnisnya, Ajeng juga berprinsip cita rasa makanan juga menjadi faktor penentu. “Kalau kita buka usaha warung, ini kan bukan punya kita lagi. Warung itu milik orang banyak. Jadi, cita rasa harus dijaga,” ia menegaskan. Cita rasa ini harus benar-benar dipertahankan karena Mbah Jingkrak mengusung menu tradisional. Makanya para master chef-nya adalah ibu-ibu pedesaan. “Mereka masih memegang resep masakan leluhur. Tidak penting apa pendidikannya. Yang penting dia bisa masak dan punya cita rasa istimewa,” ungkapnya.
Bagaimana kinerja restonya saat ini? “Beda-beda tiap resto. Di Pekan Baru sedang heboh-hebohnya. Sehari bisa 500 pengunjung. Itu belum termasuk lunch box. Kami kan kerja sama dengan Caltex untuk sediakan 8000 box per hari. Cabang-cabang lain kira-kira 350-an pengunjung tiap hari,” ujarnya sambil menambahkan harga Mbah Jingkrak sangat terjangkau. “Harga Rp 25 ribu saja sudah mbledos wetenge,” ungkapnya sambil tersenyum.
Ke depan, Ajeng mengaku banyak target dan rencana yang ingin ia raih. “Ide di kepala saya ini sangat banyak,” ungkapnya. Saat ini ia sedang menyiapkan rumahnya untuk membuat acara makan dan masak sekaligus bagi peserta bisa belajar memasak yang langsung diajari oleh Ajeng. “Rumah saya di Banyumanik berkonsep paduan Jawa, Bali, Cina. Di sana orang bisa private dinning masakan-masakan tradisional,” ujarnya berpromosi.
Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho
Riset: Aini Zahra Salsabiella
Kontak twitter: @ddsuryadi

