Saham Otomotif Ngebut Lagi?

Kondisi makro ekonomi yang bagus saat ini menumbuhkan harapan baru buat analis ataupun investor akan membaiknya saham otomotif di bursa setelah tertekan cukup lama. Bagaimana prospeknya?

Oleh : Dede Suryadi

Memasuki awal April ini, baik analis maupun investor sepertinya sepakat bahwa saham otomotif di bursa kembali masuk dalam radar incaran mereka untuk dikoleksi. Mereka cukup yakin prospek saham tersebut membaik. Harapan itu muncul setelah saham otomotif tertekan cukup lama.

Itu dimulai ketika harga bahan bakar minyak membubung sampai 126% pada Oktober 2005 yang berimbas pada kenaikan inflasi dan tingkat suku bunga, sehingga membuat daya beli masyarakat merosot tajam. Dampaknya, penjualan roda empat tahun lalu anjlok 40,3%, dari 533.841 unit pada 2005 menjadi 318.876 unit pada 2006. Demikian juga roda dua, pada 2006 membukukan penjualan 4.470.722 unit, turun dari 5.089.425 unit pada 2005.

Memasuki 2007, harapan baru muncul. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia optimistis tahun ini penjualan roda empat akan meningkat 10%-20% dibanding tahun lalu. Kendaraan roda dua pun demikian. Memang, Februari lalu penjualan sepeda motor menunjukkan tanda-tanda perbaikan: 384.723 unit, naik 10,3% dibanding Februari 2006 yang sebesar 348.723 unit.

Melihat indikasi seperti itu, Winston S.A. Sual, Direktur PT Panin Sekuritas Tbk., berkeyakinan, saham otomotif hingga akhir tahun ini diprediksi membaik. Alasannya, saham jenis ini sangat sensitif terhadap penurunan tingkat suku bunga yang akan berpengaruh pada kredit untuk konsumen serta kredit untuk struktur modal kerja perusahaannya. Di lain pihak, tahun ini daya beli masyarakat mulai meningkat sejalan dengan turunnya inflasi, tidak seperti tahun lalu dan 2005. ”Jadi, semua indikatornya menopang prospek membaiknya saham otomotif ini,” kata Winston yakin.

Eddy Siswanto, seorang investor, menuturkan, kenaikan harga BBM sejak dua tahun lalu membuat saham otomotif tidak menarik lagi bagi dirinya. Tak mengherankan, saat itu Eddy langsung menjual saham PT Astra International Tbk. yang berkode ASII, dan hingga kini tidak mengoleksinya lagi. ”Sejak kenaikan BBM itu, saya memprediksi bisnis otomotif akan menjadi berat,” ujarnya. Namun, April ini ia mulai kembali mencermati saham Astra yang dalam beberapa waktu terakhir mengalami kenaikan. Ia mengakui, ”Saham ini punya prospek bagus.” Saat ini, ia lebih suka mengoleksi saham anak perusahaan Astra, PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI).

Kalau kita perhatikan, pergerakan saham otomotif sejak awal tahun ini memang belum terlalu menggembirakan. Seperti diungkap Riko Hadi Nugroho, analis dari PT Limas Centric Indonesia Tbk., pergerakan saham otomotif dari awal 2007 sampai dengan 20 Maret 2007 cenderung menurun. Contohnya, saham ASII turun 19,88% dari Rp 16.350 menjadi Rp 13.100/lembar; saham PT Tunas Ridean Tbk. (TURI) turun 7,04% dari Rp 710 menjadi Rp 660/lembar; saham PT Astra Otoparts Tbk. (AUTO) turun 11,21% dari Rp 2.900 menjadi Rp 2.575/lembar. Saham PT Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMAS) merupakan perkecualian, karena naik 8,57% dari Rp 700 menjadi Rp 760/lembar.

Tren menurunnya saham otomotif ini sejalan dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang dari Januari hingga 20 Maret 2007 pun melemah: turun 1,93% dari 1.810,43 ke 1.775,42, bahkan sempat jatuh sampai 1.678,04 pada 12 Januari 2007. Kalau diperhatikan per saham, saham ASII menunjukkan pergerakan yang berbanding lurus dengan pergerakan IHSG. Begitu juga saham TURI dan AUTO, yang reaksi pergerakannya lebih lambat karena kurang likuid. Adapun pergerakan saham IMAS cenderung melawan pergerakan IHSG. Responsnya pun lambat seperti TURI dan AUTO, juga karena kurang likuid.

Dalam pandangan Riko, “Penurunan tingkat suku bunga BI (Bank Indonesia) hingga menyentuh level 9% dan membaiknya kondisi makro ekonomi belum memengaruhi pergerakan saham-saham otomotif hingga pertengahan Maret lalu.” Namun, itu kondisi saat ini. Ia berharap, turunnya BI Rate yang disertai menyusutnya suku bunga kredit akan membuat permintaan kendaraan bermotor kembali membaik.

Kalau toh saham otomotif hingga pertengahan Maret lalu masih tertekan, hal itu lebih disebabkan faktor penurunan penjualan kendaraan tahun lalu yang dampaknya masih berlanjut sampai awal 2007. Memang, kalau dilihat per laporan keuangan setiap perusahaan otomotif pada 2006, terlihat adanya fluktuasi laba bersih (net income). Astra International, misalnya, sepanjang 2006 laporan keuangannya menunjukkan adanya fluktuasi laba bersih setiap kuartal dengan earning per share tahun 2006 sebesar Rp 916,94/lembar. Lihat saja, kuartal I net income-nya Rp 1,05 triliun, kuartal II Rp 810 miliar, kuartal III Rp 1,13 triliun, dan kuartal IV Rp 720 miliar. Kondisi serupa pun terjadi pada Tunas Ridean, Indomobil dan Astra Otoparts. “Fluktuasi net income ini,” ujar Riko, “paling tidak menggambarkan kondisi penjualan yang kurang begitu stabil tahun lalu karena terpengaruh kenaikan harga BBM.”

Meski dari awal tahun hingga pertengahan Maret 2007 tertekan, pada 1-9 Maret lalu rata-rata saham otomotif mencatat kenaikan 6,78%. Kenaikan terbesar terjadi pada saham Tunas Ridean: 15,63%, dari Rp 640 menjadi Rp 740/lembar. Diikuti saham Astra International yang naik 4,71% dari Rp 13.800 menjadi Rp 14.450/lembar. Sementara saham Indomobil masih stagnan pada level Rp 760.

Nah, memasuki awal April ini, muncul gejala yang sama seperti awal Maret lalu: saham otomotif, terutama Astra, menunjukkan tanda-tanda menguat. Soeratman Doerahman, investor yang mengaku sebagai trader yang bermain short term, pun ikut menikmati keuntungan dengan melakukan aksi profit taking pada saham Astra.. Pada 2-5 April lalu, dikatakannya, saham Astra menguat dari Rp 13.100 menjadi Rp 14 ribu/lembar (naik 8%). Malah, sempat menyentuh level Rp 14.300.

Memang, dalam empat hari itu hampir semua saham naik karena IHSG juga naik. Toh, Soeratman menyakini, saham otomotif, khususnya Astra, akan menguat (rebound). “Kalau suku bunga turun, bisnis otomotif akan kembali bergariah, dan saham Astra pun akan naik,” demikian prediksinya. Ia menambahkan, “Kalau kita baca ke depan, siapa sih yang nggak perlu mobil dan siapa sih yang nggak kenal Astra. Makanya, saya tak akan khawatir menempatkan investasi di saham Astra, apalagi kalau membelinya pada saat yang tepat seperti sekarang.”

Pendapat Soeratman diperkuat David Sondakh. “Sudah saatnya saham otomotif dikoleksi, mumpung harganya lebih murah,” kata analis dari Panin Sekuritas ini. Tentu saja, yang ia rekomendasikan adalah saham otomotif yang likuid, seperti saham Astra. Menurut David, tahun lalu pendapatan Astra tak seburuk Indomobil, karena masih tertolong oleh pendapatan perusahaannya yang non-otomotif. Manajemen Astra yang solid pun akan mampu memperbaiki diri dalam upaya meningkatkan penjualan otomotifnya tahun ini.

Selain ASII, masih ada saham yang menurut David menarik, yaitu saham Astra Otopart. “Di antara saham-saham otomotif, saya lebih tertarik dengan AUTO,” katanya. Alasannya, penjualan Astra Otopart didukung tiga segmen: original equipment manufacturer (OEM), replacement market, dan ekspor. Yang terpengaruh dari menurunnya penjualan mobil baru adalah pasar OEM. Dan, keuntungan tertinggi adalah dari replacement market karena suku cadang dibutuhkan pula oleh kendaraan lama. Memang, saham AUTO kurang likuid sehingga tak begitu dilirik investor walaupun sebenarnya punya prospek yang bagus. ”Jadi terlepas dari masalah likuiditas, AUTO ini cukup baik dikoleksi,” ia merekomendasikan.

Secara umum, Muhammad Alfatih, analis dari BNI Securities, melihat saham otomotif berprospek bagus. Alasannya hampir saham dengan para analis di atas: turunnya tingkat suku bunga dan mulai membaiknya daya beli masyarakat. ”Prospek saham otomotif ini sangat baik meskipun untuk jangka pendek dan menengah akan banyak terkoreksi sehingga harga sahamnya akan berfluktuasi seperti sekarang,” katanya. Maka, saham otomotif lebih baik dikoleksi untuk jangka menengah dan panjang. Yang pasti, untuk bisa memaksimalkan keuntungan dari saham otomotif, investor perlu mencermati kondisi fundamental emitennya, juga perkembangan perkenomian, seperti suku bunga dan kurs rupiah.

Riset: Asep Rohimat

Published on Majalah SWA, 12 April 2007

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.