Berdasarkan benchmark investasi yang dibuat PT Finansial Bisnis Informasi, dalam waktu lima tahun, obligasi dan reksa dana pendapatan tetap mencetak return paling tinggi. Coba teliti, manajer investasi yang mengelola dana Anda outperform ataukah underperform.
Oleh : Dede Suryadi
Tahun ini, reksa dana kembali mencorong setelah dirundung penarikan dana (redemption) besar-besaran oleh para investornya yang membuat dana kelolanya (nilai aktiva bersih/NAB) turun. Hadirnya reksa dana terproteksi menggairahkan kembali instrumen investasi ini. Tak heran selama 2006 ini NAB reksa dana tumbuh signifikan.
Akhir 2005 NAB reksa dana sebesar Rp 29,42 triliun. Dan pada Juli 2006 merangkak naik menjadi Rp 35,28 triliun atau naik 19,96% dibanding akhir 2005. Rinciannya pada Juli lalu itu: reksa dana pendapatan tetap sebesar Rp 13,97 triliun; pasar uang Rp 4,99 triliun; campuran Rp 4,90 triliun; saham Rp 2,07 triliun; indeks Rp 14,68 miliar; dan terproteksi Rp 9,33 triliun.
Memang, reksa dana terproteksi yang baru hadir akhir tahun lalu pertumbuhannya paling signifikan: mencapai 200,11% — dari Rp 3 triliun di akhir 2005 menjadi Rp 9,33 triliun pada Juli 2006. Tingginya reksa dana jenis ini karena investor lebih memilih investasi yang relatif aman. Ditambah lagi penurunan suku bunga juga turut berpengaruh, yang membuat para investor lebih memilih instrumen ini dibanding menanamkan investasinya baik di deposito maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Tentu saja, investor berinvestasi – termasuk di reksa dana – berharap memperoleh return maksimum. Dan, ini tergantung pada kepiawaian manajer investasi (MI) mengelola portofolionya. Masing-masing MI bisa saja mengklaim, reksa dana yang dikelolanya mampu memberikan return tinggi. Namun, selama ini memang belum ada acuan yang bisa digunakan investor untuk menilai return yang dihasilkan oleh MI dalam mengelola dana. Paling-paling, bunga deposito, indeks harga saham gabungan (IHSG) atau return yang dihasilkan oleh MI lainnya.
Nah, benchmark return investasi di pasar modal, termasuk reksa dana, yang dibuat oleh PT Finansial Bisnis Informasi (FBI) barangkali bisa dijadikan acuan. Adler Haymans Manurung, Direktur PT Nikko Securities Indonesia yang juga pendiri FBI, memberikan contoh, kalau Anda punya uang Rp 1 miliar diinvestasikan di reksa dana A dan MI-nya bilang, target return reksa dananya 12%. Padahal, kalau dihitung-hitung berdasarkan benchmark seperti yang dibuat FBI misalnya, return reksa dana itu bisa mencapai 17%, sehingga investor akan rugi 5%.
Selain buat investor, bagi MI pun benchmark itu sangatlah diperlukan untuk mengukur seberapa jauh kinerjanya apakah bagus atau sebaliknya. Istilahnya outperform atau underperform. Jika kinerjanya di atas benchmark, sang MI boleh dibilang berkinerja bagus. Hal ini bisa membuat industri ini lebih baik. Adanya obligasi ritel Indonesia juga bisa dijadikan oleh MI benchmark untuk membuat return di atas obligasi ritel yang baru dipasarkan pemerintah itu.
Selama ini, para MI membuat benchmark melalui IHSG untuk mengukur kinerja reksa dana saham, atau indeks obligasi untuk mengukur reksa dana pendapatan tetap yang kemudian diolah sendiri dan dijadikan patokan sendiri. Tentu, akan lebih baik bila ada lembaga independen yang membuat benchmark return.
Selain itu, ada kelemahan kalau reksa dana saham benchmark-nya adalah IHSG. Alasannya, reksa dana saham tidak semuanya murni investasi pada saham, tapi ada sekian persen pada instrumen lain, sedangkan IHSG murni saham. Dengan demikian, kalau hanya IHSG yang dipakai sebagai benchmark maka hasilnya tidak terlalu akurat. Lebih jauh Adler mengungkapkan, benchmark bisa dijadikan salah satu pemandu untuk mengambil keputusan saat akan berinvestasi. “Soal hasilnya ke depan bagaimana, kami tidak bisa tahu. Tapi minimal ketika akan berinvestasi, kami sudah puya patokan secara historis. Kalau hasilnya sama dengan sebelumnya berarti tak ada peningkatan return,” ujarnya.
Kalau melihat benchmark return yang dikeluarkan FBI (diterbitkan setiap bulan) pada Agustus 2006, obligasi memberikan hasil investasi paling tinggi dibanding instrumen investasi lain untuk investasi selama lima tahun. Ini sekaligus membalikkan dalil investasi, makin tinggi risiko investasi makin tinggi potensi return-nya. Sebab, dari sisi risiko, saham lebih tinggi karena instrumen ini memiliki volatilitas tinggi. Akan tetapi, jika investasinya hanya sebulan hingga tiga tahun,
Sebagaimana terlihat dalam Tabel, dalam kurun lima tahun (per Juli 2006): obligasi mencetak return 348,07%; diikuti saham 204,37%; pasar uang 70,01%; deposito 56,71%. Sementara itu, US$ memberikan return negatif sebesar -4,37%. Tingginya return obligasi pada jangka lima tahun karena periode 2001-2002 terjadi kenaikan tingkat suku bunga yang menyebabkan harga obligasi turun. Dan, ketika suku bunga lebih rendah dari tahun 2001 harga obligasi kembali naik.
Sementara itu, untuk jangka waktu setahun, saham mencetak return 14,32% sedangkan obligasi 13,55%. Ini disebabkan selama satu tahun terakhir suku bunga mengalami peningkatan, sehingga harga obligasi turun. Sebaliknya, saham terus mengalami peningkatan dalam setahun terakhir ini. Thombos Sitanggang, Manajer Riset Korporat FBI, menjelaskan, acuan untuk mendapatkan return adalah IHSG untuk saham, indeks bond dari Bapepam (obligasi), pasar, suku bunga SBI (suku bunga), kumpulan bunga deposito dari berbagai bank asing, pemerintah dan swasta nasional yang diambil rata-ratanya, serta nilai tukar rupiah terhadap US$.
Setelah melihat pergerakan return saham, obligasi dan pasar uang, FBI membuat simulasi return portofolio investasi reksa dana. Di sini juga terlihat, reksa dana pendapatan tetap (sebagian besar investasinya di obligasi) dalam waktu lima tahun juga memberikan return tertinggi. Namun, bila kurun waktu tiga tahun dan sebelumnya, reksa dana saham tetap paling unggul. Berikut ini, contoh simulasi selengkapnya.
Untuk reksa dana saham dengan portofolio investasi 90% saham dan 10% obligasi selama bulan Juli menghasilkan return 3,01%. Lalu, dalam setahun terakhir return-nya mencapai 14,25%; tiga tahun terakhir 147,97%; dan lima tahun terakhir 218,74%. Bandingkan dengan reksa dana pendapatan tetap yang portofolio investasi 90% obligasi dan 10% pasar uang, return-nya untuk satu bulan 1,59%, satu tahun 13,03%, tiga tahun 77,44%, dan lima tahun 320,27%. Kemudian bandingkan pula dengan reksa dana saham yang komposisi portofolionya 90% saham dan 10% pasar uang, maka hasilnya 2,92% selama Juli 2006, satu tahun 13,72%, tiga tahun 142,34%, dan lima tahun 190,93%.
Lalu, jika komposisi portofolio 10% saham dan 90% obligasi, dalam sebulan (Juli 2006) menghasilkan return 1,84%, satu tahun 13,63%, tiga tahun 90,28% dan lima tahun 333,70%. Kemudian, apabila komposisinya 10% obligasi dan 90% pasar uang, imbal hasilnya satu bulan 0,82%, satu tahun 8,84%, tiga tahun 32,39% dan lima tahun 97,81%. Adapun jika 10% saham dan 90% pasar uang, dalam satu bulan hasilnya 0,97%, setahun 8,92%, tiga tahun 39,60% dan lima tahun 83,44%.
Thombos menegaskan, dengan melihat portofolio hasil investasi itu terbukti: untuk satu bulan terakhir, return saham lebih tinggi dibanding obligasi. Jadi, ketika investasi reksa dana lebih banyak unsur sahamnya dibanding obligasinya, hasil investasinya akan lebih tinggi. Demikian juga untuk jangka satu-tiga tahun reksa dana saham masih unggul dibanding reksa dana pendapatan tetap. Namun, dalam lima tahun terakhir, reksa dana pendapatan tetap yang mampu mencetak return tertinggi. Ini sejalan dengan perolehan return obligasi dalam kurun waktu tersebut, yang mencapai 384,07%, sedangkan saham 204,37% dan pasar uang 70,01%. “Mau dikombinasi dengan apa pun karena obligasi paling besar, return untuk lima tahun terakhir hasilnya lebih besar,” ujar Thombos.
Yang jadi pertanyaan apakah hasil benchmark FBI itu bisa dijadikan patokan investasi ke depan? Marolop A. Nainggolan, Manajer Riset FBI, mengungkapkan, benchmark ini bisa dijadikan patokan atau acuan oleh investor. Ketika investor mendapatkan laporan hasil investasi reksa dana dari MI-nya setiap bulan, mereka bisa membandingkan dengan benchmark FBI ini.
Adler menambahkan dengan benchmark ini bisa melihat secara historis hasil investasi untuk jangka panjang. Dan, memang kalau bicara investasi lebih baik untuk jangka panjang agar return-nya bisa lebih maksimum. “Dari hasil benchmark ini bisa terlihat, investasi long term dari reksa dana saham dan pendapatan tetap bisa lebih tinggi dibanding jenis reksa dana lainya,” ujarnya. Kendati demikian Adler mengakui kalau benchmark tak bisa menjamin hasil investasi di masa mendatang.
Senada dengan itu, Priyo Santoso, Direktur Utama PT Danareksa Investment Management, mengatakan benchmark itu tidak bisa dijadikan perkiraan hasil investasi ke depan, tetapi hanya untuk mengkaji hasil investasi di masa lalu. “Kami juga selalu menekankan kepada para investor bahwa kinerja di masa lalu bukan merupakan indikasi kinerja yang akan datang. Kami selalu tulis dalam laporan bulanan kepada investor,” ia menegaskan.
Dan, kalau bicara bahwa semakin lama berinvestasi semakin besar return-nya. “Memang normalnya seperti itu,” tandas Priyo. Seperti berinvestasi di saham dalam jangka panjang maka hasilnya akan lebih tinggi dibanding obligasi. “Itu normalnya, kecuali dalam kondisi tertentu,” ia menegaskan lagi. Alasannya, obligasi itu berdasarkan utang dengan pembayaran nilai kupon yang sama, sedangkan di saham return-nya bisa di atas kupon obligasi. “Saham return-nya bisa optimum kalau di atas tiga tahun,” katanya menyimpulkan.
Published on Majalah SWA, 24 Agustus 2006