Meski di tahun 2009 krisis keuangan belum reda, sejumlah investor masih melihat ada titik terang untuk tetap berinvestasi. Simak hasil surveinya.
Oleh : Dede Suryadi
Banyak pendapat dan pandangan yang dikemukakan tentang kondisi perekonomian Indonesia tahun depan. Kalau diperhatikan, pendapat dari para analis dan ekonom itu ada benang merahnya: tahun depan kondisi krisis masih menyelemuti perekonomian negeri ini.
M. Chatib Basri, Direktur Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat FEUI, malah menilai, tahun 2009 situasi akibat krisis global ini akan lebih buruk. Meskipun begitu, kondisi yang terjadi di Indonesia masih lebih baik ketimbang negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Alasannya, kontribusi Indonesia terhadap perdagangan internasional tidak sebesar negara-negara tersebut.
Chatib memprediksi, di 2009 pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 4,5%-5,5% dengan inflasi 7,5%-9%. BI Rate dalam tiga bulan pada posisi 8,5%-9,5%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap US$ antara Rp 9.800 dan Rp 12.000.
Indikator-indikator tersebut tentu saja bakal memengaruhi kondisi pasar modal di negeri ini. Dan, ujung-ujungnya akan berpengaruh pula pada perilaku investor yang terus berupaya mencari instrumen investasi yang aman dan menguntungkan.
Nah, bagaimana para investor menyikapi krisis saat ini, termasuk strategi mereka menghadapi 2009? Berdasarkan survei yang dilakukan Majalah SWA terhadap para investor, baik perorangan maupun korporat, mereka masih optimistis dalam menghadapi Tahun Kerbau itu. Malah, 73% responden menyatakan akan menambah investasinya di tahun depan.
Alasan para investor menambah investasinya itu beragam: yakin ekonomi akan segera membaik (48%), keuntungan pasti lebih tinggi (33%), gambling saja, karena ekonomi sulit diprediksi (7%), dan beragam alasan lain (30%). Hanya saja, besar dana yang akan diinvestasikan mayoritas di bawah Rp 500 juta (59%), lalu Rp 500 juta-1 miliar (14%), Rp 1-5 miliar (11%), Rp 5-10 miliar (3%), dan di atas Rp 10 miliar (8%). Sepertinya, tahun depan para investor sangat berhati-hati untuk berinvestasi dalam jumlah besar.
Nah, yang menarik, para investor akan menambah investasinya pada saham (63%). Padahal, seperti kita tahu, saat krisis global terjadi justru instrumen inilah yang tergolong paling banyak dihindari. Pasalnya, banyak dana investasi mereka yang bablas akibat harga saham yang merosot tajam.
Hasil survei ini sejalan dengan pandangan A. Tony Prasetiantono, Chief Economist Bank BNI, bahwa indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia sekarang sudah terlalu rendah, sehingga ada kemungkinan rebound di semester II/2009. Sekarang, situasi masih kalut dan tingkat ketidakpastiannya tinggi.
Akan tetapi, kala tahun depan inflasi terkendali dan situasi ekonomi membaik, dipastikan dunia pasar modal akan cepat merespons. “Turunnya inflasi akan diikuti penurunan suku bunga. Kalau bunga turun, orang akan kembali ke pasar modal karena nabung jadi tidak menarik, mending uangnya diputar di pasar modal,” tutur Tony.
Andi, seorang investor, mengatakan, tahun depan ia berencana menambah portofolionya di saham, setelah tahun ini melepas banyak saham akibat harganya terus melorot. “Saya tertarik masuk lagi ke saham karena banyak yang menganalisis bahwa bursa akan rebound,” ujarnya.
Survei SWA menunjukkan, setelah saham, instrumen investasi yang jadi incaran di tahun depan adalah deposito (26%), diikuti emas (22%), Surat Utang Negara/SUN atau Obligasi Ritel Indonesia/ORI (19%), properti (15%), reksa dana pendapatan tetap dan saham (masing-masing 11%), reksa dana campuran (7%), dan reksa dana pasar uang (4%). Sementara itu, rata-rata investor menyatakan ragu-ragu terhadap produk investasi asing seperti dari AS, Autralia serta negara-negara Eropa dan Asia.
Khusus untuk properti, seorang investor yang banyak memiliki portofolio investasi di instrumen ini, Haryanto, mengatakan, selama suku bunga masih tinggi, investasi di properti kurang menarik. Malah, kalau suku bunga cenderung meningkat terus, ia akan menahan diri untuk berinvestasi di properti dan lebih baik memegang uang kas atau didepositokan. “Bagi saya, bunga KPR di atas 16%-17% sudah kurang menarik. Idealnya 12%,” katanya. Investasi properti yang telah ia benamkan akan tetap dipertahankan.
Apa yang dilakukan Haryanto merupakan cerminan strategi sebagian investor dalam menghadapi krisis ini. Nah, menurut hasil survei, pada saat krisis, strategi para investor adalah mempertahankan, melepas dan menambah investasi. Namun, kalau dilihat persentasenya, lebih banyak yang mempertahankan investasi (54%), diikuti menambah investasi (35%) dan melepas investasi (16%).
Alasan mempertahankan investasi: untuk investasi jangka panjang (45%), optimistis nilainya akan membaik kembali (30%), meminimalisasi kerugian yang terlalu besar (25%), dan belum ada investasi yang lebih baik (5%). Lalu, alasan menambah investasi adalah harga sedang murah (54%), untuk investasi jangka panjang (46%), dan untung pasti besar (8%).
Sementara itu, portofolio investasi yang dilepas pada saat krisis adalah saham (67%), obligasi (33%), dan reksa dana (17%). Kemudian, dana hasil pelepasan investasi itu (redemption) diinvestasikan ke deposito (67%), emas (33%), dan tanah (17%).
Kalau diperhatikan secara keseluruhan, komposisi portofolio investasi para investor sekarang yang meningkat signifikan adalah emas (57%), reksa dana pasar uang (50%) dan deposito (42%). Lalu yang mengalami kenaikan 33% adalah instrumen reksa dana terproteksi, pendapatan tetap, dan SUN/ORI. Sementara yang menurun signifikan adalah saham (41%).
Dilihat dari nilai investasinya, 78% responden menyatakan bahwa saat krisis sekarang, nilai kekayaan yang diinvestasikan turun. Persentase penurunannya beragam. Ada yang 10%-20% (28%), 70% (21%), 51%-60% (17%), dan sisanya beragam.
Tentu, semua investor mengharapkan krisis segera berlalu dan situasi kembali kondusif untuk berinvestasi.
Reportase: Afiff Maulana Dewanda dan Moh. Husni Mubarak
Riset: Reza Rahman
Published on Majalah SWA, 18 Desember 2008