Mengoleksi mebel antik ternyata tidak hanya untuk kepuasan, melainkan dapat pula mendatangkan keuntungan. Semakin tinggi kualitas dan otentitas suatu benda, semakin tinggi pula harganya. Bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Oleh : Dede Suryadi
Di penghujung tahun lalu, ada pemandangan menarik di Darmawangsa Square, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tepatnya, di Galeri Sidharta Auctioneer. Saat itu tengah digelar lelang barang-barang seni nan antik. Tentu saja para penikmat seni sedang larut dalam proses lelang itu. Tak jarang mereka berlomba untuk mendapatkan benda incarannya. Nilai tawar-menawarnya pun bukan dalam hitungan kecil, tetapi dalam angka yang relatif besar.
Salah satu benda seni yang sedang dilelang adalah sejumlah mebel antik yang berasal dari Eropa dan dalam negeri yang dibuat dari akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Ada lemari bergaya Belanda abad ke-19 dengan kaki berbentuk bulat dan cakar ditawarkan di kisaran harga Rp 25-27 juta. Lalu, sepasang kursi dari Italia abad ke-18 dengan kakinya yang membentuk huruf X melengkung yang ditawarkan Rp 18-20 juta. Tak hanya itu, balai lelang ini pun menjajakan furnitur gaya Semarangan, mulai dari kursi, meja rias hingga meja pojok.
Dalam lelang tersebut nampak Suli Mahatma sedang asyik mengajukan harga tertinggi untuk memperoleh benda incarannya, sebuah lemari sudut yang unik. Sepertinya mantan pramugari Gadura ini tak pernah puas dengan koleksi mebel antik yang sudah ia miliki. “Koleksi saya belum banyak, baru 50 unit,” katanya merendah. Koleksinya itu beragam, mebel Jawa, Palembang, Cina hingga Eropa.
Lelang memang merupakan salah satu cara berburu benda antik. Namun, lelang mebel antik tergolong langka seperti bendanya. “Kami juga baru sekali ini melelang mebel antik dan animo pengunjung cukup besar,” ucap Amir Sidharta, pemilik Galeri Sidharta Auctioneer. Tak bisa dipungkuri, mencari mebel antik tidaklah gampang. Perlu kemampuan dan pengalaman tersendiri untuk mendapatkannya. Tak jarang banyak mebel antik nan indah, tapi hasil reproduksi dari benda aslinya.
Amir sendiri bisa mendapatkan mebel antik dengan berbagai cara, mulai dari mendatangi para kolektornya yang ingin melepas bendanya atau para pewaris benda itu karena ingin beralih gaya ke yang lebih kontemporer dan minimalis, hingga bekerja sama dengan berbagai galeri yang menjajakan mebel antik. “Kami tidak membeli tapi menjadi fasilitator antara penjual dan pembeli,” ujar Amir sambil menjelaskan dalam lelang itu pihaknya berhasil mengumpulkan Rp 300 juta.
Suli yang sudah sejak 1980-an mengoleksi mebel antik punya kiat untuk memperoleh koleksinya, yaitu melalui sesama kolektor baik membeli maupun barter benda seni. “Saya lebih senang mendapatkannya dari kolektor sebelumnya atau dimiliki orang lain, bukan dari pedagang,” ia bertutur. Kalau dari toko-toko antik seperti di Ciputat, Tangerang, ia kadang meragukan keasliannya, apakah hasil reproduksi atau bukan.
Seperti kursi Cirebon yang berumur sekitar 200 tahun itu, awalnya kepunyaan temannya yang juga kolektor benda seni. Setiap kali Suli bertandang ke rumah sang teman, selalu diceritakan sejarah tempat duduk itu. Sampai-sampai Suli kepincut untuk mengambil alih. “Saya sampai memaksa teman untuk menjualnya,” ujarnya seraya tertawa lebar. Suli menyebutkan, kursi itu ia beli seharga US$ 3 ribu di tahun 1980-an.
Malah ia pernah menginginkan sebuah kursi antik Jawa berusia 100 tahun dari temannya, tapi dijual kepada orang lain karena ia lupa kalau Suli sudah memesannya. “Saya sampai nangis-nangis saking ingin memiliki,” kata Suli mengenang. Sehingga kemudian, lanjut Suli, karena tak tega maka si pembeli yang baru saja mendapatkan benda itu menjualnya lagi kepada Suli.
Semua mebel antik yang dimiliki Suli dipajang, dan sebagian dipakai di rumahnya di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, manakala Suli merasa sudah tidak memerlukan lagi atau kelebihan, biasanya ia akan menawarkan kepada temannya. Sebaliknya, ada kalanya ada benda yang dimiliki Suli setengah dipaksa oleh peminat supaya Suli melepaskannya.
Pernah ia melepas sebuah lemari Cina berumur 200 tahun yang berasal dari Palembang seharga Rp 25 juta. Padahal ia belum lama memilikinya dari penjual seharga Rp 7 juta. “Saya melepasnya karena merasa kelebihan punya lemari yang sama. Waktu itu saya membeli sekaligus tiga,” ujar wanita yang pernah punya galeri lukisan ini. Malah belum lama ini seorang kolektor memaksa Suli agar mau melepaskan sebuah lemari antik miliknya yang ditawar US$ 10 ribu atau sekitar Rp 92 juta (kurs Rp 9.200/US$). “Sayang, kalau saya lepas,” ucapnya enteng.
Lain lagi dengan Handoko. Di samping mengolekasi mebel antik, ia juga membisniskannya. Makanya ia memiliki koleksi lebih dari 500 mebel antik. “Saya ini hobi benda antik, tapi saya juga bisniskan,” katanya blak-blakan. Sebagian koleksi mebelnya itu ia pajang di rumah dan sebagian lagi disimpan di gudangnya di Jl. M.T. Haryono Ligu Tengah, Semarang. Sampai-sampai ada salah satu kusen rumahnya dari kayu jati, yang tertera angka 1818, menunjukkan tahun pembuatannya.
Di gudang yang berukuran 3 ribu m2 itu terdapat setumpuk benda koleksi. Tidak hanya mebel, tapi ada pula yang lainnya, hasil perburuannya sejak tahun 1970-an. Di antara koleksi Handoko, ada kain kuno, lukisan, keris dan patung. “Untuk mendapatkan benda antik termasuk mebel saya harus hunting ke pelosok-pelosok daerah, termasuk Bali,” ungkap Handoko, yang masih melakukannya hingga sekarang. Handoko menekuni hobinya ini, sebab orang tuanya dulu juga melakoninya seperti dirinya kini.
Mebel antik yang ia gemari adalah model Semarangan, atau orang Belanda bilang gaya art deco. Alasannya, mebel jenis itu cukup unik dan punya kekhasan tersendiri dengan lenturan kayunya yang bagus dan halus. Meski Handoko membisniskan benda antiknya, ia tak memasarkannya. Memang ia punya galeri bernama Handoko Art, tapi hanya untuk menjajakan lukisan. Sementara untuk mebel antiknya ia simpan di gudang. Kalau toh ada yang mau, bisa datang ke gudangnya. “Silakan datang ke gudang saya. Mau beli monggo, tak beli tak apa-apa,” ucapnya.
Kendati caranya seperti itu, banyak saja orang yang datang untuk membeli koleksi mebelnya. Itu karena memang Handoko sudah punya nama. Malah, bagi pedagang benda antik seperti di Jl. Surabaya, Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang, nama Handoko sudah tak asing lagi. Dan, ia sangat meyakini keampuhan berpromosi dari mulut ke mulut.
Di antara sederet pelanggannya ada artis Krisna Mukti, seniman Butet Kertaredjasa dan musisi Jaduk Ferianto. “Saya pernah menjual lemari Cina berusia 200 tahun seharga Rp 175 juta,” ia menerangkan. Padahal ia membelinya jauh di bawah Rp 100 juta, tiga-empat tahun sebelumnya. Saat ini pun ia memiliki lemari Eropa build-up berukuran besar yang dibanderol Rp 300 juta.
Sebenarnya, ia tidak ambil pusing dengan keuntungan, seperti berapa margin yang harus ditentukan dari setiap benda yang dilepasnya. Untuk menentukan harga ia punya ukuran yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya tentang benda antik. Karena itu, ia lebih suka menjualnya kepada kolektor yang paham seni. “Kadang orang nggak tahu barang mahal ditawar murah, atau sebaliknya barang murah dibeli mahal,” Handoko menuturkan pengalamannya.
Setiap keuntungan yang diperoleh Handoko biasanya untuk membeli lagi benda-benda antik lainnya. Menurutnya, keuntungan dalam bisnis seni seperti ini sangatlah relatif. “Kalau saya beli mebel Rp 50 juta lalu saya jual Rp 100 juta. Itu belum tentu mencukupi kalau saya ingin beli lagi jenis mebel seperti yang sudah saya jual itu. Ini repotnya bisnis mebel antik,” ia membeberkan pengalamannya. Maka, tak jarang setelah melepaskan benda koleksinya, Handoko kadang merasa menyesal. Kendati demikian, ia punya berprinsip, “Bisnis barang seni itu adalah bisnis kepercayaan dan kejujuran. Kalau tidak, ya tidak akan sukses,” ucapnya mewanti-wanti.
Sementara itu, Hauw Ming mengoleksi sekitar 100 unit mebel antik bukan untuk bisnis, melainkan lebih pada konservasi warisan leluhur. Selain itu, juga karena ia menyukai gaya-gaya masa lampau. Ia akan memperoleh kebanggaan tersendiri ketika bisa memilki benda-benda antik itu. “Bagi saya mengoleksi mebel antik untuk menyelamatkan warisan bangsa ini,” ia menegaskan.
Kalau pun harus melepaskan koleksinya, ia akan pilih-pilih. “Saya pernah menjual kepada orang yang akan membuat museum budaya di Bali,” katanya mengenang. Soal harga tak ada masalah. Malah kalau dihitung-hitung ia tidak untung. Di samping mebel, ia mengoleksi pula benda-benda kuno lainnya seperti buku, iklan, kain dan pernik-pernik lain. Semuanya itu ia pajang di tempat kerjanya, perusahaan yang membidangi asuransi.
Saking hobinya, Hauw Ming rela berburu benda antik hingga ke Amsterdam, Belanda, selain pula saling tukar-menukar dengan sesama kolektor. Memang mebel yang jadi incarannya adalah yang berbau kolonial tapi dibuat di Indonesia seperti berbagai lemari – lemari hias, lemari pajang, lemari pakaian – dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Hobinya itu sudah dilakoni Hauw Ming sejak tahun 1999.
Menurutnya, di Amterdam sering digelar berbagai lelang termasuk mebel antik dari Indonesia. Biasanya mebel yang dilelang itu berasal dari keturunan orang-orang Indonesia yang dahulu hijrah ke Belanda. “Saya selalu mencari mebel dari kayu jati, karena tumbuhan ini hanya hidup di Indonesia,” kata Hauw Ming. Soal harga ia mengatakan tidak masalah. Yang penting, barang yang ia incar itu otentik alias asli. Dan, sebenarnya membeli barang antik di luar negeri itu lebih murah, alasannya, banyak barang yang dilelang itu biasanya barang yang mau dibuang atau yang penting terjual sebab pemiliknya sudah tak berminat lagi.
Terlepas dari berbagai tujuannya memiliki mebel antik, itu semua merupakan sebuah investasi. “Ada yang memiliki benda antik sebagai investasi untuk mendapatkan kepuasan, dan ada juga yang investasi untuk mencari keuntungan materi,” kata Amir menganalisis. Malah Suli memandang, mengoleksi mebel antik itu ibarat investasi tanah. “Semakin lama harganya akan naik,” ia menandaskan. Bedanya, kalau tanah nilainya jadi tinggi karena lokasinya, sedangkan mebel antik tergantung pada model, kualitas dan otentitasnya.
Published on Majalah SWA, 01 Februari 2007