Sejumlah festival berhasil membuat industri fashion di Tanah Air bergairah. Tak sedikit perhelatan tersebut yang menjadi barometer dan agenda internasional. Tak jarang pula desainer fashion yang berkecimpung di dalamnya jadi perancang kelas dunia.
Patut dibanggakan, sejumlah perhetalan fashion yang digelar di negeri ini ternyata menjadi barometer bagi negara lain. Bali Fashion Week (BFW), umpamanya. Bagi kalangan desainer fashion di Asia, event tersebut menjadi inspirasi untuk menggelar acara serupa. Kini, setelah BFW, negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, India dan Singapura juga mengadakan acara fashion week. Begitu pula di dalam negeri sendiri, BFW juga menjadi inspirasi hadirnya Jakarta Fashion Week dan Jogja Fashion Week.
Memang, BFW yang digelar sejak tahun 2000 telah menjadi agenda internasional. Artinya, BFW bukan hanya milik masyarakat fashion di Tanah Air, melainkan juga masyarakat fashion dunia. BFW tahun lalu diikuti banyak perancang dunia, antara lain dari Rusia, Rumania, India, Malaysia, Korea, selain dari Indonesia tentunya. “Exposure internasional itu sangat luas. Misalnya, peserta dari Korea membawa 60 media. Mereka sendiri yang menerbangkan awak media itu ke Bali,” kata Mardiana Ika, penggagas BFW yang saat ini tinggal di Hong Kong.
Menyusul keberhasilan BWF adalah Jakarta Fashion Week (JFW). Perhelatan akbar ini dalam waktu dekat (12-18 November 2011) akan digelar di Pacific Place, Jakarta, lokasi yang sama seperti tahun lalu. Dibandingkan tahun sebelumnya, JFW kali ini akan lebih banyak berkolaborasi dengan institusi lain. Misalnya, tahun ini diancangkan kolaborasi dengan British Council dalam mendatangkan Jason Smith, desainer topi terkenal asal Inggris. Jason akan berkolaborasi dengan desainer Indonesia, Oscar Lawalata. “Sekitar dua minggu lalu mereka sudah hunting kain ke Kalimantan. Jadi, nanti ada sentuhan tradisional dalam karya mereka,” kata Lenni Tedja, Direktur Proyek JFW, menginformasikan.
Selain itu, JFW juga menjalin kerja sama dengan Goethe Institute yang mendatangkan lima desainer dari Berlin Fashion Week. “Mendatangkan para desainer internasional akan lebih membuka wawasan dan kesempatan bagi desainer Indonesia,” ungkapnya.
Kolaborasi semacam ini sudah pernah dilakukan dengan desainer India dan Australia. Kerja sama seperti itu bisa menjadi pintu gerbang bagi para desainer Indonesia untuk mengikuti ajang fashion week lainnya seperti Hongkong Fashion Week, Thailand Fashion Week dan London Fashion Week.
Tahun ini, menurut Lenni, tahun yang paling banyak direspons antusias oleh berbagai kalangan. Hal itu bisa dilihat dari jumlah desainer yang akan berpartisipasi. Sebanyak 170 desainer akan tampil. Ini peningkatan yang menggembirakan jika dibandingkan tahun lalu yang hanya 159 desainer. Selain mengundang media internasional, JFW juga mengundang pembeli internasional dan pastinya pembeli lokal dari Indonesia.
JFW, bagi para peritel, merupakan kesempatan bagus yang tidak boleh disia-siakan. “Di sana juga ada buyers lounge di mana pembeli akan bertemu langsung dengan desainer dan melakukan transaksi,” ujar Lenni. Pembeli lokal diperoleh salah satunya melalui kerja sama dengan BRI yang memiliki cabang terluas di Indonesia dam mempunyai anggota UKM binaan yang berasal dari industri fashion.
Berdasarkan pengalaman para peserta JFW tahun lalu, mereka dihubungi langsung oleh pembeli, baik dari dalam maupun luar negeri. JFW sendiri tidak memiliki data statistik berapa jumlah perputaran transaksi di dalamnya. “Semuanya langsung di antara desainer dan pembeli,” kata Lenni. Pembeli internasional biasanya konfirmasi datang ke JFW mendekati acara berlangsung. Kedatangan mereka ke Jakarta terjadwal setelah fashion week di New York, London dan Paris berlangsung.
Menurut Lenni, JFW tidak hanya memikirkan saat pergelaran busana berlangsung, tetapi juga respons pasar setelah acara tersebut selesai. ”Seperti tahun lalu, 29 negara men-download 10 ribu images yang berasal dari Brasil, negara-negara Timur Tengah, AS, Meksiko dan negara lain. Kami tidak tahu seberapa besar transaksi di antara mereka,” kata Dalyanta Sembiring, Ketua Humas JFW. Bahkan, ia pernah mendengar dari salah satu desainer, produk busana muslimnya diminati orang Vietnam dan Thailand. “Mereka bilang, produk busana muslim di Indonesia luar biasa,” imbuh Dalyanta.
Ajang JFW sudah banyak menelurkan desainer kondang. Artinya, karya mereka mulai dikenal di pasar dunia. Sebut saja, Tex Saverio, Dian Pelangi dan Dee Ong. Tex Saverio adalah desainer yang rancangannya dipakai oleh Lady Gaga untuk pemotretan Majalah Harper’s Bazaar America Edisi Mei 2011.
Adapun Dian Pelangi, sejak ikut JFW, karyanya sampai ke Dubai. Pada akhir tahun, Dian juga diundang berpameran di Paris. Dian pernah bercerita kepada Lenni, ketika ia berpameran di Bangkok, karyanya pernah dikira sebagai produk Malaysia. Pembelinya tidak ada yang percaya bahwa busana muslimnya buatan Indonesia.
Kolaborasi juga tidak berhenti di situ. Pihak JFW yang diwakili Lenni membawa empat desainer ke Hongkong Fashion Week. Mereka adalah Ali Charisma, Anastasia Hoeng, Biyan dengan mereknya X,S,M,L, serta Oka Diputra. Namun, di sana bukan untuk berpameran, melainkan lebih untuk mempertemukan dengan pembeli di sana. “Buyer di sana banyak sekali dari Amerika, Timur Tengah, Korea, Australia, dan lain-lain,” ucap Lenni menginformasikan. .
Selain BFW dan JFW, masih ada perhelatan bergengsi lain yang turut mengangkat citra fashion di negeri ini. Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) dan Solo Batik Carnival (SBC) adalah contohnya. Anwar A. Salim, Ketua Pelaksana JFFF, menerangkan, tahun ini ada sekitar 100 desainer yang berpartisipasi di JFFF, tetapi karena keterbatasan lokasi, hanya 20 desainer yang membuka booth. Adapun tahun lalu ada sekitar 80 desainer. “Tahun ini JFFF juga mengundang instansi pendidikan seperti Universitas Negeri Jakarta, Institut Kesenian Jakarta dan Institut Teknologi Bandung. Alasannya karena lahirnya desainer-desainer muda nantinya dari sekolah-sekolah ini,” kata Anwar.
Sementara itu, SBC telah menjadi event tahunan yang menyedot perhatian masyarakat. Festival yang belum lama digelar ini ternyata efektif sebagai salah satu alat untuk menggerakkan industri batik di Solo. Bahkan tak hanya batik, SBC pun telah turut menggerakkan industri pariwisata secara keseluruhan. Tingkat hunian hotel meningkat, kuliner ramai, para pengemudi taksi dan tukang becak juga ikut menikmati rezeki dari event ini. ”Yang pasti, hampir semua butik batik mengalami peningkatan omset penjualan,” kata Heru Prasetyo, Ketua Panitia SBC.
Melihat fenomena ini, sesungguhnya Indonesia memiliki banyak desainer yang kreatif dan punya keunikan tersendiri dibandingkan dengan desainer dari negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia, bahkan dari kawasan Amerika dan Eropa. Tak sedikit pula perhelatan di negeri ini yang jadi barometer di dunia.
Penulis: Dede Suryadi
Rep: Darandono, Gigin W. Utomo, Herning Banirestu dan Rias Andriati