Banyak yang berpandangan bahwa sektor properti di 2009 masih lebih baik dibanding sektor lain. Benarkah tahun ini saat tepat berinvestasi di properti?
Oleh : Dede Suryadi
Sebelum krisis keuangan global menerjang, industri properti di Indonesia tergolong booming. Sejumlah proyek properti, dari hunian papan bawah hingga atas, marak dibangun. Ini didorong oleh membaiknya indikator ekonomi dan rendahnya tingkat suku bunga.
Namun, begitu krisis terjadi, perlahan tapi pasti, geraknya mulai melambat. Ketika harga-harga bahan bangunan dan tingkat suku bunga bank mulai naik, banyak proyek properti yang pembangunannya terhenti menunggu situasi lebih baik. Tak mengherankan, serah-terima produk properti dengan pihak pembeli pun jadi terlambat.
Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia mencatat, jumlah pengaduan akibat sengketa serah-terima produk properti pada 2008 meningkat hingga 15%. Itu belum termasuk yang tidak melapor. Diperkirakan, pada 2009 pengaduan ini akan terus bertambah.
Data perusahaan riset dan properti PT Procon Indah menunjukkan, tiga proyek apartemen yang sedianya diluncurkan pada akhir 2008 ternyata baru akan rampung pada kuartal I/2009. Sayang, Procon tidak menyebutkan tiga proyek apartemen itu. Procon menyatakan sebanyak 51 proyek kondominium berkapasitas 24.340 unit ditargetkan masuk pasar pada 2009-10. Dengan kondisi ekonomi sekarang, Procon memperkirakan hanya 26% yang masuk kategori mungkin rampung sesuai dengan target.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Teguh Satrio mengatakan, naiknya suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) hingga di atas 15% per tahun dan ketatnya perbankan dalam menyalurkan kredit membuat tingkat penjualan properti dalam bentuk perumahan dan apartemen anjlok hingga 40%. Penurunan itu terjadi terutama pada KPR nonsubisdi. Dengan penurunan itu, Teguh meragukan target kapitalisasi sektor properti di 2008 mencapai Rp 120 triliun atau naik dari tahun 2007 yang sebesar Rp 100 triliun.
Sejatinya, sebelum krisis betul-betul terasa di negeri ini, kucuran kredit di sektor properti terus tumbuh. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) selama periode Agustus 2007-Agustus 2008, kredit properti tumbuh 39% dari Rp 136,07 triliun menjadi Rp 190,08 triliun. Pertumbuhan kredit sektor ini di atas rata-rata pertumbuhan kredit seluruh sektor yang sebesar 32%.
Nah, bagaimana di 2009 ini? Menurut Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, penyaluran seluruh sektor kredit tahun 2009 diperkirakan mengalami penurunan dibanding tahun 2008. Namun, dari semua sektor yang ada, penurunan kredit properti paling sedikit. Penurunan kredit properti diprediksi tidak setajam kredit lain, karena kredit properti di 2008 tumbuh cukup tinggi, yaitu sekitar 34%.
Maka, menurut Muliaman, dunia perbankan tak perlu mengerem kredit properti di tahun 2009. Justru tahun ini menjadi tantangan bagi para bank dan pengembang properti agar terciptak demand yang besar. Dengan potensi yang ada, mestinya bank akan lebih agresif mengucurkan kredit propertinya.
Teguh sendiri masih melihat titik terang di 2009. Menurutnya, kapitalisasi properti di Tahun Kerbau ini diprediksi meningkat 25%. Salah satu pendorongnya, pemerintah telah menaikkan anggaran untuk perumahan bersubsidi di 2009 sebesar Rp 3,5 triliun. Anggaran ini naik empat kali lipat dibanding 2008 yang sebesar Rp 800 miliar. Anggaran sebesar itu cukup untuk merealisasi 100 ribu rusunami dan 150 ribu rumah sederhana sehat.
Sektor perumahan nonsubsidi juga akan tumbuh. Teguh menargetkan, pada 2009 bakal ada pertumbuhan 25 ribu unit rumah nonsubsidi menjadi 150 ribu unit dibanding pada 2008. Apalagi, kalau BI menurunkan suku bunga dan bank agresif kembali menggarap sektor ini, pertumbuhan properti dipastikan akan bergerak lebih cepat lagi.
Memang, saat ini bank-bank mulai terlihat mengerem pengucuran KPR, padahal likuiditas mereka sangat tinggi. “Seharusnya mereka dapat memberikan alokasi dana untuk KPR. Tetapi dengan keadaan seperti sekarang, bank-bank cenderung lebih berhati-hati,” ujar Harun Hajadi, Direktur Pengelola Grup Ciputra.
Bank wait and see karena interbank borrowing saat ini terganggu. Bank-bank tersebut takut, jika terjadi kekurangan pada waktu kliring, mereka tidak akan bisa meminjam dari bank lain. Dengan begitu, mereka menyimpan dananya terlebih dulu, misalnya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara, hingga kondisi stabil. Dan, mereka pun takut melempar dananya ke KPR.
Saat ini bunga KPR mencapai 14%-16%. Sebelum krisis terjadi, bunga KPR masih di bawah 10% atau berada di kisaran 8%-9%. Namun, besarnya bunga KPR saat ini sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan bunga KPR pada Maret 2006 yang mencapai 16%-17%. Tampaknya, semua orang lupa bahwa bunga KPR pernah lebih tinggi dari sekarang. “Saat ini dampak yang kami rasakan tidak sebesar pada awal 2006,” ujar Harun membandingkan.
Terlebih, jika mengingat tahun 1997-98. Saat itu banyak proyek properti yang berhenti total. Tak ada yang mau membeli properti pada saat itu. “Jadi, jika dibandingkan dengan tahun 1997-98, kondisi saat ini masih tergolong cukup baik,” kata Harun optimistis.
Karena itu, ia memproyeksikan, total penjualan Grup Ciputra pada 2008 lebih tinggi 25% dibandingkan dengan tahun 2007. Adapun pada 2009, total penjualannya akan seperti 2007. Penjualan total Ciputra pada 2007 adalah Rp 1,6 triliun. “Tahun 2009, kami juga tengah merencanakan pembangunan empat proyek baru, yang terdiri atas tiga proyek landed residential atau landed house dan satu office building,” ujar Harun menginformasikan.
Lalu, bagaimana pandangan para investor? Roy Sembel yang cukup rajin berinvestasi di sektor properti berpendapat, pada 2009 suplai produk properti akan mengalir karena banyak yang selesai dibangun, memasuki pasar dan mencari pembeli. Namun, permintaan menurun karena daya beli melemah dan suku bunga tinggi sehingga pasokan akan lebih besar.
Efeknya, harga properti bakal turun dan posisi tawar pembeli akan tinggi. “Paling tidak pada kuartal I dan II, pasar properti akan melemah,” kata Roy. Masa ini disebut oleh Chief Research Officer Capital Price itu sebagai masa sulit. Memasuki kuartal III dan IV, suku bunga bank diramalkan turun sehingga mulai ada titik terang. Ini disebut Roy sebagai masa konsolidasi. Kendati belum pulih sepenuhnya, pasokan properti mulai berkurang.
Nah, Roy, sebagai investor properti, melihat kuartal II dan III adalah saat berbelanja properti karena saat itu diprediksikan banyak diskon harga properti, akibat sulitnya mencari pembeli. Diskon ini bisa mencapai 20%-30% — bagi investor, itu sudah cukup menggiurkan. Investor yang memiliki uang lebih baik membelinya dengan cara tunai karena suku bunga masih kurang kondusif bila dibeli dengan cara kredit.
Namun, meski banyak diskon, Roy akan tetap memilih barang yang bagus dengan lokasi yang bagus juga, serta pengembangnya punya reputasi baik. “Pengembang yang bagus adalah yang memiliki track record yang baik, berkomitmen pada kualitas perawatan, dan memiliki kekuatan financial yang baik,” kata Roy memberikan tip.
Melalui beberapa perusahaan miliknya yang membidangi riset dan informasi, agrobisnis, serta infomasi dan teknologi, Roy akan berekspansi tahun ini dengan membeli lahan yang akan dibangun sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Selain produk properti baru, ia juga meramalkan bakal banyak properti second yang dilepas pemiliknya dengan harga murah karena mereka butuh likuiditas.
Investor properti lainnya, Haryanto, melihat bahwa prospek industri properti tahun ini masih kurang bagus, apalagi kalau suku bunga tetap tinggi. “Lebih baik saya menyimpan uang di deposito daripada di properti. Apalagi, suku bunga deposito juga cukup tinggi,” ungkap pemilik sejumlah apartemen dan kondotel di Jakarta dan Bali itu. Menurutnya, suku bunga KPR yang ideal adalah 12%. Syukur-syukur kalau di bawah 10%.
Haryanto berpandangan, dunia investasi saat ini belum mencapai bottom (titik terendah)-nya, termasuk di dunia porperti. Baru enam bulan kemudian akan masuk ke titik nadir. Maka, ia memprediksi tahun 2009 ini kondisi memburuknya akan lebih membesar lagi. Jadi, tahun ini ia masih menyimpan banyak kekhawatiran untuk berinvestasi, termasuk di properti. “Namun kalau ada produk yang harganya murah-murah, saya bisa masuk lagi ke properti,“ tutur Haryanto.
Menurutnya, properti yang ia miliki saat ini lebih baik dipertahankan saja. Pasalnya, kalau dijual, selain susah mencari pembeli, harganya juga tak akan menarik. “Yang penting, saat ini tak terbelit utang dan mending ditahan saja karena investasi properti untuk long term,” kata Haryanto mengungkap kiat investasinya.
Justru yang ia khawatirkan sekarang adalah banyak pengembang yang telanjur membangun, tapi tak bisa menyelesaikan proyeknya. Alasannya, kredit perbankan yang jadi sumber pendanaan mereka tak bisa dicairkan. Contohnya, sebuah pengembang di Bali — Haryanto jadi salah satu pembelinya – sedang dirundung masalah. Proyek tersebut sempat terhenti dan membuat dirinya was-was karena telanjur membeli. Untunglah, meski awalnya terkesan menghindar, pengembangnya akhirnya memberikan jaminan bahwa pembangunan properti tersebut akan dilanjutkan tahun ini.
Yang jelas, bagi Haryanto maupun Roy, tahun 2009 masih diliputi ketidakpastian, meskipun titik terang mulai ada. Keduanya yakin, pada 2010 industri properti akan membaik dan menjadi pilihan investasi yang kembali menguntungkan.
Reportase: Kristiana Anissa/Riset: Reza Rahman
Published on Majalah SWA, 8 Januari 2009