Klan Jopie Item, Memilih Jalur Musik Tanpa Paksaan

Gen dan lingkungan membentuk hobi yang sama. Hobi inilah yang menjadi sumber penghasilan. Inilah yang dialami keluarga Jopie Reinhard Item yang dikenal sebagai keluarga musisi — ada yang bilang, keluarga rock and roll. Jopie Item, kelahiran Manado, 24 Juni 1950, dikenal sebagai gitaris dan mulai tenar pada paruh kedua 1970-an, ketika muncul di acara Nada dan Improvisasi di TVRI bersama Jack Lesmana Combo. Sejak itu, Jopie semakin dikenal di ranah musik di Tanah Air.

Keempat anaknya pun menekuni bidang yang sama. Anak ketiga, Paulla Alodya Item — lebih dikenal dengan nama Audy — adalah penyanyi. Adapun Stevie Morley Item, anak kedua, gitaris grup musik Andra and The Backbone. Dua nama itu cukup berkibar di belantika musik Indonesia. Anak bungsunya, Rainaldy Ramadhan Item, juga bermain musik, kendati namanya belum setenar ayah dan dua kakaknya. Anak pertama Jopie, Angelina Alvareza Item, menikah dengan musisi. Istri Jopie, Evi Aquanthie Rohyana Azizz, pun seorang penyanyi. Klop sudah, keluarga ini memang keluarga musisi.

Jopie mewarisi bakat musik dari bapaknya, Lodie Item, gitaris jazz kenamaan di Indonesia. Bahkan dua adik Jopie, Danes Item dan Dolf Item, juga terjun ke dunia musik, yakni menjadi operator sound system musik. Kedua adiknya itu kini bermukim di Bali.

Jopie tidak ingat betul bagaimana bapaknya mendidik ia dan adik-adiknya di bidang musik. Yang pasti, sang ayah mengenalkan dunia musik sejak dirinya masih kecil. “Kalau beliau lagi pentas atau latihan, saya pasti diajak. Ke mana saja beliau bermain musik, pasti saya diajak. Dari situ saya semakin mengenal musik,” katanya mengenang.

Otomatis, musik selalu ada pada diri Jopie. Ia mulai menekuni musik sejak umur 8 tahun. Waktu itu di Sekolah Rakyat Katolik Surabaya, ia menjadi ketua kelompok band. Sekolah tersebut memang membimbing murid-muridnya sesuai dengan bakat masing-masing. “Bakat saya mulai terasah karena lingkungan saya mendukung untuk menjadi musisi. Jadi, secara perlahan saya mulai menekuni bidang musik,” ujar Jopie. Ia mengaku tidak pernah kursus musik, tapi lebih banyak autodidak serta belajar dari sang ayah, meski beliau mengajarinya sambil lalu. Ia sendiri menjadi gitaris karena ayahnya pemain gitar. Otomatis instrumen yang ada di rumah ya hanya gitar.

Tekad dirinya pun makin bulat di dunia musik karena di kepalanya hanya ada musik. Ia pun meninggalkan pendidikan formal. Dan, ternyata ayahnya mendukung tekadnya itu. Maka pada awal 1960-an, Jopie hijrah ke Jakarta mengikuti jejak ayahnya yang sudah pindah ke Ibu Kota terlebih dulu. Sejak itu, ia makin serius menekuni bidang musik.

Jopie pernah ikut menangani album Lilis Suryani, Titiek Puspa, Sitompul Bersaudara, Eli Kasim, Dadi Damhudi, dan orkes dangdut Tarantula (lagu Colak Colek). Bersama Rhoma Irama, ia pun sempat membuat dua album pop, tapi kurang laku. Akhirnya, Rhoma pindah ke dangdut. “Papa saya memang mengajarkan, untuk bisa hidup dengan musik harus bisa main semua aliran,” katanya. Jopie sendiri lebih dikenal sebagai musisi jazz.

Kepada anak-anaknya, Jopie tak pernah memaksa harus hidup di musik. Namun, karena gen dan lingkungan tak jauh dari musik, anak-anaknya pun mengikuti jejaknya. “Kalau mereka ingin bermusik, ya terserah mereka. Hanya saja, saya tanya, sejauh mana mereka yakin musik dapat menghidupi? Malah anak-anak balik bertanya, Papa hidup juga dari musik, berarti musik bisa menghidupi aku,” tuturnya menirukan ucapan anak-anaknya. Jopie pun mewanti-wanti, kalau mau terjun ke musik, harus serius. “Kalau kamu terjun di musik, minimal Indonesia tahu nama kamu, seperti Papa kamu,” kata Jopie memotivasi anak-anaknya.

Memang, keempat anak Jopie terbentuk secara alami di dunia musik, karena lingkungan mereka memang musik. Sejak kecil, anak-anaknya sudah ia ajak ke studio rekaman, diperkenalkan dengan peralatan musik dan alat-alat rekaman. Di rumah juga ada peralatan musik. Apa yang ditularkan kepada anak-anaknya sama persis seperti ayah Jopie mengenalkan dunia musik pada dirinya.

Jopie sendiri punya kiat dalam mendidik anak-anaknya. Bila dari kecil anaknya kelihatan bakatnya, ia akan fokuskan. Misalnya, Audy berbakat menjadi penyanyi, ia tunjukkan pada anaknya itu beberapa vokalis yang bagus, termasuk dari luar negeri. Akan tetapi, lama-kelamaan malah anaknya tahu lebih banyak daripada dirinya. Sebab, anak-anaknya juga mendapatkan banyak informasi dari mana pun. Jadi, tidak perlu diarah-arahkan. Yang diperlukan adalah memotivasi mereka agar mampu mendapatkan sesuatu yang lebih dibanding dirinya dulu.

Sementara itu, Audy mengakui bahwa seabrek prestasi yang diraihnya tak bisa dilepaskan dari cara orang tuanya mendidik dan lingkungan musik di rumahnya, yang turut membentuk karakternya. Sejak kecil ia sudah dibuat akrab dengan musik. Saat ayahnya rekaman atau manggung, Audy pun diajak. Belum lagi, ia dikenalkan pula dengan teman-teman ayahnya yang juga musisi.

Audy menilai, kedua orang tuanya justru tidak keras dalam mendidik. Ia diberi kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Orang tuanya tidak pernah memaksakan apa pun padanya. Audy mengaku orang tuanya tidak pernah menentukan cita-citanya. “Kalau orang-orang mengharuskan anaknya untuk jadi dokter atau bidang yang diinginkan orang tuanya, orang tua aku tidak begitu,” ujarnya menegaskan. Termasuk dalam berkarier di dunia musik, Audy merasa orang tuanya tidak pernah mengarahkannya. Ia mencontohkan, di albumnya yang pertama, Jopie sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan lagu. “Papa hanya mengenalkan aku dengan Om Jan. Selebihnya adalah hasil kerja keras sendiri,” katanya. Yang dimaksud Om Jan adalah Jan Juhana, A & R Director Sony Music Entertainment Indonesia. “Sepertinya Papa ingin membuktikan anaknya bisa besar tanpa nama dia,” Audy menambahkan.

Di jagat musik, prestasi lajang kelahiran Jakarta, 23 April 1983, ini cukup membanggakan. Tahun 2003, ia mendapatkan penghargaan MTV Indonesia 2003 untuk kategori Most Favorite Female serta Dolce & Gabbana Awards sebagai The Most Promising & Outstanding Young Diva. Selain itu, gelar sebagai penyanyi Solo Wanita Rock Terbaik dan Solo Wanita Pop Terbaik dari Anugerah Musik Indonesia pun pernah disandangnya.

Masih di 2003, Audy mendapat penghargaan sebagai Funkiest Female dan Fabulous Album dalam ajang Clear Top 10 Award 2003. Tahun 2004 ia dinobatkan sebagai Favorite Artist Indonesia di ajang MTV Asia Award 2004. Bahkan, ia mencatatkan namanya di Museum Rekor Indonesia (Muri) karena berhasil menorehkan seribu tanda tangan hanya dalam dua jam saat merilis album keduanya, 20-02, di Surabaya tahun 2003.

Lagu yang dirilis Audy, antara lain, Pergi Cinta, Kini Ku Bahagia, Kan Berbinar, Cinta Sejatiku, Kekasih Sahabatku, Tak Kan Menyesal, Biarkanku, Sayang, Terlalu Lama, Untuk Sahabat (duet dengan Nindi), Itu Saja dan Without You (duet dengan Same Same). Lagu-lagu tersebut ada dalam tiga albumnya, yang masing-masing memiliki judul yang cukup unik. Album pertamanya diberi label -18, yang dirilis saat dirinya masih berusia 18 tahun; album keduanya bertajuk 20-02, sesuai dengan tanggal rilisnya; dan album ketiganya, 23-03, dirillis 23 Maret 2006. Kini, Audy tengah merampungkan rekaman album keempatnya.

Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho

Published on Majalah SWA, 22 Januari 2009

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.