Memproduksi helm dengan beragam merek dan menjaring sejumlah komunitas sepeda motor sebagai duta merek menjadi jurus ampuh Tarakusuma Indah menguasai pasar helm nasional.
Merek helm INK, KYT, MDS, BMC dan HIU jelas tidaklah asing bagi pengendara sepeda motor saat ini. Maklum, helm-helm merek inilah yang sekarang terlihat berseliweran di jalan-jalan, menutup kepala para penunggang sepeda motor .
Asal tahu saja, berbagai merek helm itu ternyata diproduksi oleh satu perusahaan lokal, yaitu PT Tarakusuma Indah (TI). Bahkan, di luar merek-merek helm tersebut, TI juga memegang lisensi helm dari Italia, yakni AGV, helm yang selalu digunakan Valentino Rossi, pembalap MotoGP.
Dominasi TI di industri helm diakui Jhon Manaf, Ketua Asosiasi Industri Helm Indonesia (AIHI). Menurutnya, TI menguasai pasar helm nasional hingga sekitar 50%. Selain TI, anggota AIHI yang sudah memiliki sertifikat SNI adalah PT Danapersada Raya Motor Industry (produsen helm merek GM), PT Mega Karya Mandiri, PT Inplasco, PT Tara Kusuma Indah, UD Safety Helmet, PT Dinaheti Motor Industri, PT Helmindo Utama, CV Triona Multi Industri dan PT Makmur Aman Sentosa.
Lalu, bagaimana TI bisa merajai pasar helm? Ada dua strategi yang diusung TI. Pertama, TI sengaja membuat banyak merek helm dengan karakteristik dan positioning yang berbeda-beda. Merek INK dan KYT, umpamanya, merupakan helm premium buatan TI yang ditujukan untuk segmen pasar atas. Lebih spesifik lagi, INK, dulu awalnya bernama Inako, singkatan dari Indonesia Korea — dibuat dari hasil kerja sama dengan perusahaan Korea — disasarkan untuk pengendara motor touring, sedangkan KYT (singkatan dari Kyoto) merupakan produk hasil transfer teknologi dengan Arai Jepang, lebih fokus ke balap. Itu sebabnya, sebelum 2010, pada merek KYT semuanya dibuat full face karena memang fokusnya ke balap. Baru belakangan, demi tujuan fashion, KYT didesain dalam bentuk open face. “Hampir 99% balapan di Indonesia menggunakan KYT dan dari 2010 sampai sekarang KYT merambah juga komunitas,” kata Andri Hariadi, PR and Community Development Head TI, sambil mengungkapkan harga INK dan KYT berkisar Rp 250 ribu-1,7 juta.
Di segmen pasar menengah, TI punya merek MDS dan BMC, sedangkan di segmen pasar bawah ada merek HIU. Ketiganya merupakan produk helm yang digunakan sehari-hari.
Andri mengaku, kendati segmentasinya berbeda, TI tak membedakan kualitasnya, terutama yang menyangkut keselamatan pengguna. Variasi harga sesungguhnya terkait dengan perbedaan model, bentuk dan kenyamanan. “Dari sisi kualitas semuanya sama karena sudah menggunakan SNI dan alat pengetesan di laboratorium pabrik kami yang menggunakan standar kualitas AGV,” ujarnya sambil menambahkan, pabrik TI berada di kawasan Delta Silikon 1 dan 2, Lippo Cikarang.
Yang kedua, TI sengaja menggarap sejumlah komunitas sepeda motor untuk menjadi duta merek (brand ambasador)-nya. Untuk memasarkan produknya, TI menggandeng 11 komunitas sepeda motor. Mereka adalah Tiger Association Bandung, Bekasi Tiger Club, Honda Rider on Internet, Honda Supra X 125 Community, Yamaha Vixion Club, Mailinglist Yamaha Scorpio, Honda Beat Club, Suzuki Thunder 125, Honda Mega Pro Club, The New Tiger Revolution Cruiser, dan Ikatan Sport Harley Davidson.
Untuk menggarap komunitas tersebut, TI memberikan 100 unit helm grastis dengan merek helm sesuai dengan segmentasi mereka. Klub Tiger, misalnya, diberi helm INK, sedangkan klub Harley dibuatkan helm khusus. Helm yang dibagikan gratis itu memang dibuat customize karena ada logo mereka dan nomor ID setiap anggotanya.
Setiap komunitas juga berhak memasarkan helmnya — termasuk helm merek TI lainnya — tetapi hanya ke anggota komunitasnya. “Kami tak hanya memberikan ikan, tapi juga kailnya. Seperti ketika ada event, mereka bisa mendanai kegiatannya dari hasil penjualan helm,” ujar Andri.
Tak hanya itu, mereka juga diberi edukasi tentang selub-beluk helm dengan diajak mengunjungi pabrik TI. Setelah itu, mereka harus menyosialisasi helm kepada klub-klub lain. Mereka pun dituntut memberikan contoh melakukan safety riding yang baik dan benar kepada masyarakat. Klub-klub ini menjadi kepanjangan tangan TI yang diangkat oleh Dinas Perhubungan sebagai duta merek SNI. “Sosialisasi antarklub lebih efektif karena itu merupakan word of mouth,” kata Andri. Tak hanya itu, kalau TI jadi sponsor sebuah acara, klub-klub tersebut mendapat privilege mengikuti acara tersebut.
Dengan kedua strategi itu, tak pelak TI memang mendominasi pasar helm di Tanah Air. Meski demikian, diakui Andri, persaingan bisnis cukup berat. Saat ini TI bertarung melawan gangguan helm-helm aspal (asli tapi palsu) yang belakangan banyak bertebaran. Seperti diketahui, helm aspal ini dari segi harga pasti lebih murah karena tidak memakai standar produksi yang benar.
Sesungguhnya, strategi mengembangkan banyak merek merupakan salah satu solusi terhadap ancaman membanjirnya merek aspal. Karena, setidaknya TI telah mengakomodasi konsumen yang daya belinya bervariasi. Ibaratnya, TI menciptakan fighting brand untuk melindungi setiap mereknya.
Tentu saja, bukan hanya mengembangkan merek cara TI mengendalikan persaingan. Strategi lainnya adalah memiliki jalur distribusi tersendiri. Misalnya, ke gerai modern seperti Carrefour atau Giant, TI langsung memasok sendiri sehinga keaslian produknya terjamin. Lalu, TI juga memiliki distributor utama untuk Jakarta, yakni MotoChief dan IndoRocky di Otista. Ada juga Jakarta Helmet Galery yang baru saja dibuka yang merupakan pusat penjualan helm TI sekaligus pusat servis. Di setiap kota dibuat semacam ini, seperti di Medan, Lampung, Bandung, Surabaya, Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan), serta kota di Bali. “Semua bernama Helmet Galery yang di depannya ditambahkan nama kotanya, misalnya Surabaya Helmet Galery. Ada lagi distributor resmi di setiap provinsi dan kota di Indonesia,” ungkap Andri.
Diakui Ferdinand S. Harmin, Ketua Mailinglist Yamaha Scorpio, TI memang tergolong agresif dalam berpromosi dan memasarkan produknya. Menurut Ferdinand, TI memberikan keleluasaan kepada klubnya untuk menjual produk TI, selain mendapat 100 unit helm gratis bermerek INK. Klub ini bisa menjual INK yang sudah ada logo klub ke anggotanya yang berjumlah 850 orang. ”Dari penjualan ini, kami dapat margin Rp 100 ribu. Harganya Rp 250-600 ribu per unit,” katanya. Lalu, pihaknya juga bisa menjual merek selain INK, tetapi ada logo klubnya. Nilai lebih produk TI adalah sangat variatif dalam desain dan modelnya sehingga tidak pasaran. “Untuk pascajualnya, kami memberikan masukan agar lebih mudah dan Tarakusuma meresponsnya,” ujar Ferdinand.
Hasil yang dipetik dari jalinan kerja sama dengan sejumlah klub itu adalah TI mendapatkan banyak masukan tentang helm seperti apa yang diinginkan pelanggan, sekaligus bisa mengikuti arah dan perkembangan trennya. Tak sedikit inovasi yang dilakukan TI berkat masukan dari klub-klub asuhannya. Selain komunitas, TI juga pernah memiliki duta merek untuk helm MDS, yaitu grup musik Slank.
Untuk memperbesar kue bisnisnya, TI pun menjadi rekanan beberapa pabrikan motor. Seperti dengan Yamaha, TI dipercaya memproduksi helmnya. Namun, belakangan ini tidak lagi karena Yamaha memproduksi sendiri. Demikian juga Honda ketika mereka sedang promo motor Mega Pro. Yang lain, Kawasaki untuk motor Ninjanya. “Kalau dipersentase, pasar ritel masih menjadi andalan kami, mencapai 90% lebih dibanding pasar OEM (original equipment manufacturer),” ucap Andri.
TI juga agresif dalam beriklan. Misalnya, tahun ini iklan TI gencar nongol di televisi, seperti sedang bersaing dengan kompetitor terdekatnya, helm merek GM, yang juga gencar beriklan di teve. “Iklan di teve hanya sebagai brand awareness bahawa produk kami masih eksis,” Andri memberi alasan. Sejatinya, TI lebih agresif beriklan di media otomotif. Ia tak mengungkap anggaran iklannya. Namun, menurut data Nielsen, belanja iklan TI hingga kuartal I/2011 sebesar Rp 4,8 miliar. Adapun di tahun 2010 sebesar Rp 12,8 miliar dan di 2009 sebesar Rp 3,6 miliar.
Lalu, mana merek TI yang jadi andalannya? “Masing-masing merek memiliki segmen pasarnya, bahkan disukai masing-masing daerah,” ujar Andri. Seperti Bali, Jawa timur (Surabaya) dan Jawa Barat merek INK sangat disukai, tetapi tipenya berbeda-beda. Di Yogyakarta merek MDS Vento yang paling disukai. Kondisi ini sangat dipengaruhi karakteristik setiap daerah. Sayang, Andri tak bersedia mengungkap besaran dan pertumbuhan bisnis perusahaan yang berdiri sejak awal 1990-an dan masih segrup dengan PT Dinaheti Motor Industri, salah satu perusahaan helm tertua di negeri ini yang memasarkan helm merek DMI, ini.
Memang pertumbuhan bisnis industri helm tergolong pesat sejalan dengan pesatnya bisnis sepeda motor di negeri ini. Seperti pada 2010 saat penjualan roda dua tembus angka 7 juta unit, jumlah total produksi helm menurut data AIHI mencapai 18 juta unit atau meningkat dari 2009 sebesar 14,8 juta unit, 2008 sebanyak 10,5 juta, dan 2007 sebanyak 7,5 juta unit.
“Sampai semester I/2011 baru sebesar 7,8 juta unit dari seluruh kapasitas produksi yang terpasang, sebesar 24 juta unit,” tutur Andri. Angka tersebut akan terus meningkat kalau pemerintah lebih serius memberantas helm-helm yang tak berstandar SNI serta helm palsu berharga murah yang dari hari ke hari makin meningkat penetrasinya.
DEDE SURYADI
Riset: Adinda Khalil Arrahman
=================================
INFOGRAFIS
Bisnis Helm Tarakusuma Indah
PT Tarakusuma Indah (TI) berdiri sejak awal 1990-an dan masih segrup dengan PT Dinaheti Motor Industri, salah satu perusahaan helm tertua di negeri ini yang memasarkan helm merek DMI.
TI memasarkan enam merek helm sendiri, yaitu INK, KYT, MDS, BMC, HIU, dan satu merek impor, AGV, helm asal Italia, yang sering dipakai Valentino Rossi, pembalap MotoGP. Seluruh kualitas helm yang diproduksi TI menggunakan standar pengujian AGV.
TI mampu menguasai pasar helm sekitar 50% karena strategi memiliki banyak merek dan menggarap 11 komunitas sepeda motor sebagai duta merek. Setiap komunitas berhak memasarkan helm TI ke anggota klub dan boleh mencari margin.
TI memberikan edukasi tentang helm kepada mereka yang harus ditularkan lagi ke komunitas motor lainnya.
TI rajin berpromosi melalui sejumlah event dan beriklan di berbagai media.
2 comments for “Jurus Tarakusuma Merajai Pasar Helm”