Bidang properti di Singapura menjadi incaran empuk untuk investasi. Tak heran, banyak orang Indonesia berbondong-bondong memiliki properti di sana. Semenarik apa investasi properti di negeri jiran itu?
Oleh : Dede Suryadi
Kesibukan itu terlihat di satu ruangan di Hotel Hyatt Jakarta. Di sana tengah digelar pameran properti Singapura. Nampak para awak pemasar dari PT CB Richard Ellis Indonesia – agen properti – sedang sibuk melayani para pengunjung yang tertarik pada ST Regis Residences. Apartemen mewah ini berada di Cuscaden Road tak jauh dari Orchard Road sebagai pusat bisnis di Singapura.
Pameran seperti itu sangatlah sering digelar di hotel-hotel bintang lima di sini. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia menjadi pasar penting bagi para pengembang dari negeri jiran itu. Jones Lang LaSalle merilis data yang memperlihatkan, dari waktu ke waktu orang Indonesia yang memiliki properti di Singapura terus meningkat.
Seperti pada kuartal keempat 2005, dari total 1.076 orang asing perorangan yang membeli properti di Singapura, 245 orang adalah dari Indonesia. Bandingkan dengan kuartal ketiga tahun yang sama, dari total 959 orang asing pemilik properti di sana, 224 orang dari Indonesia. Artinya, terjadi kenaikan 9,4% orang Indonesia yang memiliki properti di sana dalam satu periode empat bulanan itu.
Meningkatnya angka tersebut tak lepas dari industri properti di Singapura yang tetap bergairah. Menurut data Colliers International Singapore Research, nilai investasi dan pengembangan lahan properti di negeri itu pada kuartal kedua 2006 mencapai Sin$ 6,6 miliar, atau naik 8,2% dibanding periode yang sama tahun lalu yang senilai Sin$ 6,1 miliar. Sejumlah proyek properti pun saat ini tengah dibangun, seperti Sentosa Cove, St Regis. Bahkan Grup Lippo pun berinvestasi besar-besaran di Singapura di bawah kendali Stephen Riady dengan proyeknya, Newton One.
Salah satu pemicu industri properti di sana makin menarik karena pemerintahan Negeri Singa itu akan mengembangkan resor terpadu (integrated resort) dan pusat rekresasi di daerah Sentosa dan Marina yang diperkirakan rampung 3-6 tahun mendatang. Di samping itu, Pemerintah Singapura sepertinya membuka pintu selebar-lebarnya dan memberikan kemudahan orang asing untuk memiliki properti di negara bekas jajahan Inggris itu.
Bagi investor Indonesia, jenis properti yang jadi incaran di Singapura adalah apartemen dan kondominium yang berada di distrik 9 dan 10 atau sekitar Orchard Road. “Sekitar 60% investor Indonesia membeli properti di prime location di Singapura dengan kisaran harga Sin$ 1.100-1.500 per square feet,” kata Anton Sitorus, Manajer Riset Senior PT Jones Lang LaSalle.
Adapun pengembang yang agresif memasarkan properti Singapura di Indonesia, antara lain: Far East Organization, Capital Land, dan City Development Land. Dan kota yang menjadi target incaran mereka adalah Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang dan Semarang.
Lin Che Wei, Presiden Direktur PT Danareksa, adalah salah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang memiliki properti di sana. Bahkan keluarganya tinggal di negara berpenduduk sekitar 4,4 juta orang itu. Menurutnya, saat ini ia memiliki sebuah apartemen di bilangan Bukit Timah – kawasan kelas menengah-atas. “Saya membeli apartemen saat sedang tugas di sana tahun 1998,” ujar Che Wei. Sayang ia tidak merinci berapa harga propertinya itu.
Yang pasti, mendapatkan properti di sana tidaklah sulit karena banyak agen atau broker yang akan membantu mencarikannya. Bahkan, para agen juga bersedia membantu bilamana properti itu hendak dijadikan investasi seperti untuk disewakan atau diperjual-belikan. “Return investasinya 3%-4% per tahun. Kalau ekonomi lagi bagus bisa mencapai 5%-6%. Itu sudah untung,” kata Suriati Liusman, Wakil Direktur Dennis Wee Realty Pte. Ltd., agen properti di Singapura yang juga sering membantu para investor asing, termasuk investor Indonesia, mencarikan tenant yang hendak menyewa asetnya.
Selain apartemen dan kondominium, yang lagi tren saat ini adalah rumah dengan kantor yang disebut Soho. Harganya bisa lebih mahal dari apartemen kendati tergantung pada lokasinya. Soho ini pun bisa untuk investasi dengan cara disewakan, dan return investasinya bisa mencapai 6% per tahun.
Return investasi itu tergolong tinggi karena di atas bunga bank di negara tersebut yang relatif rendah. “Saat ini bunga kredit berkisar 3,25%-3,45% per tahun,” ucapnya seraya membandingkan dengan tahun 2003 yang lebih rendah, yaitu 0,8% per tahun. Konsekuensinya bunga simpanan pun kecil, yakni di bawah 1%. Makanya properti menjadi incaran investasi yang menguntungkan dibanding deposito.
Tidak heran, tak hanya orang Indonesia dan orang asing lainnya yang berinvestasi di properti, warga Singapura sendiri berlomba-lomba memiliki apartemen dan kondominium untuk tujuan investasi akibat bunga simpanan kecil. “Makanya, ketika dapat 5% itu mereka sudah senang,” ujar Suriati yang sudah 10 tahun menjadi agen properti di Singapura.
Malah bagi warga asing, jika propertinya disewakan bakal memperoleh kredit properti lainnya hingga 80% dari harga jual. Biasanya hanya 70%. Pasalnya, mereka yang menyewakan propertinya dikategorikan memiliki income dalam bentuk dolar sehingga dianggap akan mampu untuk mencicil kredit pinjaman properti yang baru.
Suriati memberikan simulasi sistem pembiayaan properti di Singapura, karena tidak selamanya investor mampu membelinya dengan cash. Menurutnya, ada dua jenis pembiayaan: untuk properti second; dan properti yang langsung dibeli dari pengembang atau properti baru.
Pertama, untuk properti second, dimulai dengan pembayaraan 1% dari harga jual sebagai tanda jadi. Dua minggu kemudian (14 hari) bayar lagi 4% — dahulu 9%, tapi sekarang lebih kecil. Delapan minggu ke depan baru membayar sisanya. Nah, sisanya itu bisa dibayar lewat pembiayaan bank yang besarnya tergantung hasil valuasi bank. Kalau bank mengucurkan 70%, berarti tinggal 15% sisanya lagi yang harus dibayar cash oleh calon pembeli.
Jalan keluarnya untuk membayar 15% lagi itu, khusus bagi orang Singapura atau orang asing yang bekerja di negara itu, bisa mengambil dana dari Central Pension Fund (CPF), semacam dana pensiun yang dikelola lembaga khusus di Singapura. “Kalau di Indonesia semacam dana Jamsostek,” kata Suwandi Leo, Manajer Pemasaran Senior Parkway Group Singapura, yang sudah dua tahun memiliki rumah di sana.
Dana CPF itu sebenarnya dana sendiri yang dipotong 20% dari gaji para karyawan dan perusahaan setiap bulannya. “Bagi orang Indonesia yang bukan jadi pegawai di sana untuk menutupi 15% itu harus bayar cash karena tidak punya CPF,” tambah Suriati.
Kedua, pembiayaan rumah baru dari developer. Pembayaran pertama adalah 5% sebagai tanda jadi. Dua bulan kemudian bayar 15%. Sisanya tinggal 80%. Kalau bank hanya mengucurkan 70%, berarti yang 10% sisanya lagi harus dibayar cash oleh calon pembeli, atau bisa diambil dari CPF. Nah, untuk melunasi pembayaran 70% itu bisa dilakukan dengan dua cara: deferred payment dan progressive payment
Yang dimaksud deferred payment, membayar sisanya itu kalau propertinya sudah jadi. Adapun progressive payment adalah pembayaraan sisanya berdasarkan progres dari bangunannya. Kalau tiang pancang sudah dipasang, misalnya, pembeli membayar 5%. Demikian pula, kalau atap sudah jadi, bayar lagi 5% sampai pada akhirnya mencapai 70%. “Sistem jual-beli dan pembayaran di Singapura harus melalui lawyer kecuali down payment (DP) bisa langsung dibayar ke pengembang,” kata Suriati sambil menjelaskan untuk jenis kepemilikan properti di sana bisa free hold (selamanya) atau selama 99 tahun.
Soal masa cicilan atas pinjaman kredit bank, sangat tergantung pada keinginan si pembeli. Hanya saja, dibatasi maksimum sampai usia 65 tahun. Besarnya cicilan berdasarkan income, yaitu tidak boleh lebih dari 40% gaji nasabah. Di Singapura pun berlaku bunga fixed rate dan floating rate. Hanya saja, fixed rate berlangsung selama tiga tahun baru kemudian floating rate. Berbeda dengan di Indonesia, fixed rate hanya selama satu tahun.
Contohnya, harga satu unit apartemen dengan tiga kamar di One Jervois seharga Sin$ 1,29 juta. Maka untuk masa cicilan 20 tahun adalah Sin$ 2.500 per bulan. Belum temasuk DP dan fee lainnya.
Handoko Wignjowargo, pengamat properti, mengatakan bagaimanapun serbuan properti asing termasuk Singapura ke negeri ini akan membawa dampak bagi pemain properti lokal. Paling ringan kalau melakukan investasi properti di luar negeri adalah bersifat komplementer terhadap investasi properti di Indonesia. Artinya, mereka tetap melakukan investasi di Indonesia meskipun berinvestasi juga di negara lain.
Yang paling berat bila investasi properti di negara lain itu sebagai substitusi dari melakukan investasi properti di Indonesia, yang berarti mereka hanya memiliki properti yang mereka gunakan seperlunya, selebihnya mereka menanamkan investasinya di luar negeri. “Banyak di antaranya nama-nama orang Indonesia yang memiliki properti di Singapura itu adalah pebisnis, pejabat, ataupun selebriti,” tutur mantan Direktur Eksekutif Century 21 ini tanpa mau menyebut nama.
Published on Majalah SWA, 16 November 2006