Rasa tidak puas menjadi sorang eksekutif mengantarkan Garbriel Sudaman untuk berinvestasi bersama teman-temannya di berbagai jenis bisnis. Investasi yang ia benamkan di sektor ril bersama sejumlah partnernya pun membuahkan hasil
Dede Suryadi dan Eddy Dwinanto Iskandar
Gabriel Sudarman yang lahir di Jakarta tahun 1961 ini adalah mantan eksekutif yang sudah malang melintang di berbagai perusahaan. Setelah memutuskan diri berhenti bekerja pada 2004, ia mulai membenamkan dananya ke berbagai usaha, seperti pertambangan pasir silika, bijh besi dan batu bara. Bisnis lainnya: pabrik baja dan restoran. Dalam memutar dananya di sektor usaha itu, ia banyak bermitra dengan kawan-kawannya.
Diakuinya, rasa bosan menjadi pegawailah yang mendorong dirinya untuk terjun langsung berinvestasi di berbagai sektor usaha. “Akhirnya di satu titik saya harus memutuskan to start my own business. Karena dalam hidup ini harus punya 4 kebebasan,” katanya sambil menjelasakan keempat kebebasan itu adalah kebebasan berkarya, kebebasan waktu, kebebasan finansial, dan kebebasan mengambil keputusan. “Mungkin yang lain saya sudah punya, tapi yang terakhir tidak. Namanya pegawai, setinggi apapun juga, tetap saja tidak leluasa memutuskan sendiri dan harus terima perintah orang,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini.
Ia mulai berkarier di Grup Salim, dan tahun 1995 dirinya diminta membantu Indomobil karena kelompok perusahaan ini menjalin kerjasama dengan Bimantara. Hingga akhirnya ia pun bergabung di Grup Bimantara. Sejumlah posisi pernah dijalani, bahkan ada yang rangkap jabatan antara lain di Bimantara Citra sebagai senior manager, di Bimantara Cakra Nusa-anak usaha Bimantara di bidang otomotif sebagai General Manager. Di PT Jaguar Indonesia Gabriel menjabat sebagai direktur, di PT Hyundai Indonesia sebagai deputy director comercial. Di PT Senantiasa Makmur-perusahaan joint venture asing dengan Astra International yang bergerak di bidang suku cadang dan body component, ia menjabat sebagai direktur. Di Cakra Transport Utama, anak usaha Bimantara di bidang transportasi, dirinya juga menjabat sebagai direktur, di PT Cakra Kalimas, anak usaha Bimantara juga, dirinya menjabat sebagai direktur. “ Saya resign dari Bimantara Group tahun 2004,” ujar pehobi golf ini.
Menurutnya, ia punya prinsip dalam membesarkan perusahaan seperti menanam pohon. Kalau pohon itu dirawat baik, disirami, dipupuki pasti besar. “Kalau itu pohon jadi besar tapi bukan milik kita, kita kan tetap saja jadi tukang kebun. Tapi kalau milik sendiri, meski hanya pohon kecil, bukan pohon durian, tapi tetap saja milik kita,” ujar Gabriel memberi alasan dirinya pensiun jadi karyawan dan menekuni bisnis sendiri.
Dirinya pertama kali berbinsis dengan mendirikan perusahaan teknologi informasi (TI) bernama PT Widya Prakoso dan sempat menelurkan produk SMS 1717 untuk tempat keluhan masyarakat ke Polda Metro Jaya. Sayang usahanya tersebut karam di tahun 2006. Sambil jalan, dirinya juga dihubungi Tim McKay, mantan Presdir Holcim yang meninggal saat bom Kuningan beberapa waktu lalu. “Di tahun 2005, dia menawari saya memasok pasir silika ke Holcim. Katanya bisnis ini di luar core Holcim. Selain itu, terlalu kecil bagi Holcim. Jadi ditawarkan ke saya,” ia mengenang.
Gabriel pun mendirikan perusahaan bernama Tulang Bawang yang berlokasi di Tulang Bawang, Lampung yang mulai berproduksi sejak 2006. Perusahaannya ini mampu menghasilkan 17 tongkang per bulan (per tongkang 1700 ton pasir silika). Kalau dirata-rata, produksinya dulu bisa mencapai rata-rata 20 ribu ton/bulan dengan harga jual Rp 140 ribu/ton. Menurut Gabriel, 100% hasil produksinya dibeli oleh Holcim Indonesia.
Perusahaan ini didirikan berdua bersama temannya dengan modal investasi Rp 3-4 miliar. “Saya selalu berpartner, untuk bagi rejeki dan risiko,” ujarnya memberi alasan sekaligus mengungkap strategi investasinya. Sayang, bisnis pasir silikanya hanya berjaya selama dua tahun, karena pada 2008, ketika krisis menerpa, permintaannya anjlok. Meski demikian, Gabriel yakin, seiring perbaikan ekonomi pada 2010 maka bisnisnya itu akan kembali berjaya.
Di tahun 2006 juga ia mendapat tawaran untuk membuka pabrik baja di Tangerang. Lagi-lagi ia mengajak 7 orang temannya, dan ternyata mereka setuju berinvestasi. Perusahaan bernama PT Power Steel Indonesia ini dibangun dengan modal Rp 400 miliar yang berasal dari modal patungan. Adapun Rp 100 miliar di antaranya berasal dari pinjaman Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Setelah dibangun selama dua tahun jadilah di bulan Oktober 2008 Power Steel mulai berproduksi dengan kapasitas 20 ribu ton per bulan. “Kami sudah prediksi saat itu kalau keadaan sekarang pasti krisis. Makanya kami masuk saat pasar at the bottom. Ada beberapa keuntungan yang kami dapat, pertama beroperasi dengan harga beli bahan baku yang rendah. Kedua saat harga rendah justru peluang muncul. semisal kami bisa merebut pasar dengan menawarkan servis yang lain,” ujar Gabriel mengungkap strategi investasinya yang lain.
Sekarang, satu perusahaan terbaru yang sedang dirintisnya, yaitu PT Tawang Mineral. Perusahaan dengan investasi senilai Rp 5 miliar. Perusahaan yang didirikan pada tahun 2007 ini akan digunakan untuk menaungi bisnis pertambangan batu bara di Penajam, Kalimantan Timur di atas lahan seluas 1500 hektar serta tambang bijih besi di Aceh di atas lahan seluas 500 hektar. “Saya tahu bisnis batu bara sedang turun, tapi saya memang selalu masuk ke bisnis saat bisnis sedang turun, karena nanti kita akan menikmati hasilnya saat harganya naik. Ilmu ini saya dapat dari Om Liem,” ujarnya menegaskan strategi investasinya. PT Tawang Mineral ini juga dibiayainya berdua dengan temannya.
Nah, bisnis terkininya yang baru buka pada 15 Juli lalu adalah Lumbung Padi, casual fine dine restoran Indonesia yang didominasi atmosfir Nusantara. “Ini adalah langkah awal dari soft business saya,” ia menerangkan. Gabriel menyebut bisnisnya ada dua kategori, pertama hard business yang terdiri dari pertambangan dan produksi baja. Kedua adalah soft business yang bergerak dibidang hospitality yang diawali dengan berdirinya Lumbung Padi (LP). “Selanjutnya saya akan dirikan hotel dengan nama yang sama,” katanya mengungkap rencana investasi ke depan.
Dan, Gabriel nampaknya serius membesarkan bisnis restonya itu. Saking seriusnya, dirinya mau merogoh koceknya sedalam Rp 2,5 miliar untuk menyewa sekaligus merenovasi sebuah bangunan berasitektur Belanda di atas lahan 1000 meter persegi di Jakarta dan sisanya untuk membangun infrastruktur TI. Resto ini merupakan satu-satunya bisnis yang modalnya dari koceknya sendiri. “Kalau Lumbung Padi ini berpartner dengan istri,” katanya suami Nurhandayani ini sambil tertawa. Dalam waktu dekat ia juga akan membuka LP di kawasan Mega Kuningan karena ada temannya yang mau sediakan tempatnya.
Gabriel juga mempunyai strategi khusus dalam berinvestasi. “Saya selalu berusaha deep dive dalam setiap bisnis yang saya geluti. Jadi saya berusaha ketahui dengan detil dari biaya-biaya yang timbul,” katanya. Termasuk sekarang, i saat memiliki total 600 lebih karyawan dari berbagai bisnisnya. Rinciannya 500 orang di PT Power Steel, 40 di PT Tulang Bawang, 40 di PT Tawang Mineral, dan 50 di restoran. Sisanya 20 orang di kantor pusatnya di Gedung Bimantara, Jakarta.
Namun ke depan ia ingin pensiun dalam waktu 10 tahun lagi. Makanya, target 5 tahun ke depan ia akan mulai melepaskan hard business, yaitu bisnis pertambangan dan hanya akan duduk sebagai pemilik dan presiden komisaris. Setelah itu, ia akan fokus pada soft business, yaitu bisnis hospitality dengan membangun hotel bintang 4 dan memperbanyak jaringan restonya namun tanpa dana dari pinjaman bank. “Selanjutnya saya akan menikmati hidup, menghabiskan waktu untuk keluarga. Jadi tinggal menyambut tamu hotel restoran, tamunya berapa tanpa diuber-uber bank,” katanya mengungkap obesisinya.
Tabel. Ladang Pengembangbiakan Dana Gabriel
Nama Perusahaan Jenis Usaha Investasi
PT Widya Prakoso SMS 1717 —
PT Tulang Bawang Pasir Silika Rp 3-4 miliar
PT Power Steel Indonesia Pabrik Baja Rp 500 miliar
PT Tawang Mineral Pertambangan Rp 5 miliar
PT Lumbung Padi Restoran Rp 2,5 miliar
1 comment for “Gabriel Sudarman, Berbagi Risiko dengan Cara Berpartner dalam Berinvestasi”