Sewindu sudah Gorontalo menjadi provinsi, lepas dari Sulawesi Utara. Pengusung konsep agropolitan ini merupakan pemekaran daerah yang bisa dijadikan contoh. Pasalnya, setelah jadi provinsi pada 2001 melalui Undang-Undang No. 38 Tahun 2000, wilayah yang sejak dulu disebut Serambi Madinah ini berkembang pesat.
Tengok saja, indikator perekonomiannya berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo. Saat baru lepas dari Sul-Ut, pertumbuhan ekonomi provinsi yang luasnya 1.221.544 ha di 2002 itu sebesar 6,45%, dan pada 2008 naik menjadi 7,76%. Pertumbuhan ekonomi Gorontalo ini berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Lalu, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita provinsi yang berpenduduk 917.949 jiwa ini meningkat tajam dari Rp 2,5 juta pada 2002 menjadi Rp 6,1 juta. Angka kemiskinan turun dari 32% tahun 2001 menjadi 24% pada 2008. “Kami memang fokus pada penurunan angka kemiskinan di mana target 2009 ini menjadi 21%,” ujar Prof. Winarni Monoarfa, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo. Memang, kemiskinan merupakan persoalan serius di daerah ini. Pada 2004, Gorontalo tercatat sebagai provinsi termiskin ketiga setelah Papua dan Maluku.
Sementara indeks pembangunan manusia (IPM) Gorontalo pada 2007 sebesar 68,83, sedangkan tingkat nasional 70,59. Bandingkan dengan tahun 2002, IPM Gorontalo masih 64,1 – jauh di bawah IPM Sul-Ut (71,3). Saat itu, kabupaten/kota di Gorontalo relatif terbelakang.
Demikian pula nilai investasi yang masuk ke wilayah ini selalu meningkat. “Pada 2002, nilai investasi Gorontalo baru Rp 533 miliar dan tahun 2008 melonjak menjadi Rp 2,15 triliun,” ujar Rustamrin H. Akuba, Kepala Badan Investasi Daerah Provinsi Gorontalo. Nilai investasi 2008 itu terdiri dari investasi masyarakat Rp 1,2 triliun; swasta murni Rp 190,9 miliar; PMDN dan PMA Rp 753,5 miliar.
Kontribusi terbesar terhadap PDRB di 2008 adalah pertanian sebesar 31,32%, kemudian diikuti oleh sektor jasa 26,57%, dan sektor lainnya seperti perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, real estate, jasa perusahaan, pengangkutan, dan komunikasi. Adalah jagung yang jadi komoditas penggerak perekonomian di provinsi yang memiliki visi Gorontalo Provinsi Inovatif ini. Meminjam istilah Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, jagung adalah prime mover ekonominya. Tak heran, Gorontalo sudah identik dengan jagung sehingga provinsi yang terdiri dari empat kabupten dan satu kota ini ditetapkan menjadi pusat informasi jagung nasional dengan berdirinya Badan Pusat Informasi Jagung Nasional.
Reporter SWA pun sempat menyaksikan di sebuah gudang milik PT Mitra Mandiri Agrimakmur, ribuan ton jagung yang baru dikeringkan dan disimpan bak gunung yang tinggi menjulang. Jagung itu siap diekspor ke Filipina, Malaysia dan Korea melalui Pelabuhan Angrek (pelabuhan alam) di Gorontalo Utara yang tak jauh dari lokasi gudang berkapasitas 12 ribu ton itu. Nampak di belakang gudang ada corn dryer berukuran besar yang menjulang tinggi. Di tempat inilah jagung basah dikeringkan, sehingga memiliki nilai jual untuk ekspor.
Produksi jagung di daerah ini, menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, mencapai 752.727 ton pada 2008, atau meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 572.785 ribu ton. Bandingkan dengan tahun 2002, baru 136.251 ton.
Sementara itu, ekspor jagung Gorontalo pada 2007 mencapai 83.448 ton dan sisanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal, tahun 2002, ekspor jagung baru 6.700 ton. Sayang, data Dinas Pertanian ini tidak menyebutkan berapa ekspor jagung pada 2008. Sebuah sumber menyebutkan, ekspor jagung pada 2008 sebanyak 42 ribu ton. Berarti ada penurunan sekitar 49,4% dibanding tahun 2007.
Pasar ekspor yang dirambah Gorontalo adalah Malaysia, Filipina dan Korea Selatan. Kalau dilihat peluangnya, Malaysia memerlukan hingga 500 ribu ton. Lalu Filipina peluang ekspornya hingga 100 ribu ton dan Kor-Sel sebanyak 1 juta ton. Artinya, ekspor dari Gorontalo belum memenuhi total kebutuhan ekspor ketiga negara tersebut, sehingga ini menjadi peluang besar Gorontalo untuk meningkatkan kapasitas ekspornya.
Bagaimana Gorontalo bisa berkembang seperti itu? Sejak memisahkan diri dari provinsi induknya, Gorontalo berupaya mengejar ketertinggalan. Provinsi yang dipimpin Fadel Muhammad sebagai gubernur pertamanya ini menerapkan konsep agropolitan atau kota pertanian dengan jagung sebagai andalannya.
Kenapa jagung yang dipilih? Fadel mengungkapkan alasannya. “Orang di sini memang suka makan jagung dan jagung itu merupakan komoditas yang pendek usianya,” katanya. Sehingga, hasilnya dapat dirasakan pada masa kepemimpinannya. Selain itu, peluang pasar untuk jagung sangatlah besar, tidak hanya di luar negeri. Di dalam negeri pun kebutuhannya cukup tinggi. Bahkan pada 2002, Pemerintah RI mengimpor jagung hingga 650 ribu ton.
Dari jagung ini, tumbuhlah, selain para petaninya, juga perdagangan dan industri pengolahannya, kendati industri pengolahannya belum sampai tingkat siap saji. “Ke depan kami berharap mampu mengolah jagung minimum 50% sudah jadi, tidak hanya mentahnya. Sehingga ada nilai tambah dan ada lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi pengangguran,” Rusli Habibie, Ketua Kadin Provinsi Gorontalo, mengungkapkan.
Melalui jagung sebagai produk andalan pertaniannya itulah Gorontalo menjadi sebuah provinsi yang diperhitungkan. Bahkan menjadi daya tarik bagi para investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu investor kakap yang ikut menggarap industri jagung di provinsi ini adalah Harim Group, Korea. Menurut Rustamrin, perusahaan pakan ternak dan makanan terbesar di Korea ini akan menggarap penanaman dan perdagangan jagung, serta peternakan ayam. “Investai awal senilai US$ 500 ribu dari rencana total investasi Rp 1 triliun,” katanya.
Investor lain adalah dari Malaysia, seperti National Feedlot Corporation (berinvestasi di penggemukan sapi) dan Duta Siera Development Bhd. (pertanian jagung dan ekspor sapi). Adapun investor dalam negeri pun cukup banyak terutama dari Jakarta dengan bidang yang digarap, antara lain perkebunan kelapa, jagung, perternakan, pembangkit listrik hingga pembangunan dermaga dan galangan kapal.
Investor luar negeri lainnya yang dalam proses, di antaranya Miwon dan STX (Korea) untuk perdagangan jagung, serta KBEC (Korea) untuk pabrik kertas dan pupuk organik dari limbah jagung. Ada juga Singapore Corporation untuk pengembangan Taman Laut Olele dan Pulau Saronde (pariwisata), serta General Santos (Filipina) untuk bidang pertanian, pendidikan, perikanan dan perdagangan.
Hadirnya sejumlah investor juga dipengaruhi oleh adanya peraturan daerah tentang kemudahan investasi di Gorontalo (Perda No. 2 Tahun 2004). “Nggak ada daerah yang menerapkan perda seperti itu,” Fadel menegaskan. Inti perda itu adalah memberi kemudahan, keringanan dan jaminan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di daerah ini.
Ramli Anwar, pengusaha emas dan furnitur aluminium merasakan adanya dukungan pemerintah daerahnya bagi pebisnis. “Pemerintah sangat men-support pebisnis,” ujar putra asli Gorontalo ini sambil mencontohkan kemudahan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan, restribusi tak memberatkan. Malah, menurutnya, Walikota Gorontalo sendiri membuka hotline pengaduan bagi pengusaha yang mendapat kesulitan.
Namun, bagi Yusdin Abdullah (Haji Pulu) – pengusaha perikanan dan penyewaan sound system musik terbesar di daerah ini – memandang, “Kebijakan pemerintah ya biasa-biasa saja. Pemerintah lebih berkonsentrasi pada pengusaha jagung, ” tuturnya blak-blakan.
Rusli memetakan para pebisnis di Gorontalo menjadi dua bagian besar. Pertama, para kontraktor yang mengharapkan proyek pemerintah dengan sumber dana dari APBD provinsi dan kabupaten. Saat Gorontalo jadi provinsi, jumlah kontraktor menjamur hingga mencapai ribuan. Namun, sekarang hanya ada empat kontraktor besar yang tetap eksis di samping kontraktor-kontraktor kecil. Keempat kontraktor itu adalah PT Sinar Karya, PT Cahaya Nusa Sulutarindo, PT Jayakarya dan PT Cahaya Mandiri Persada milik Rusli. “Omset kami bisa mencapai Rp 100 miliar untuk pembuatan jalan dan jembatan,” ujar Rusli.
Kedua, bisnis yang membenamkan investasi baik perusahaan lokal maupun dari luar Gorontalo. Bisnisnya pun beragam dari sektor pertanian, perikanan, pariwisata hingga ritel. Menurutnya, untuk bisnis ritel punya peluang besar karena masyarakat Gorontalo sudah meningkat pendapatannya, sehingga memerlukan tempat belanja yang representatif seperti di Jawa, tapi sekarang belum ada di daerah ini. “Kami sudah ada pembicaraan dengan pihak Hero,” ungkap Rusli yang juga menjabat Bupati Gorontalo Utara.
Sebagai Ketua Kadin, ia juga sudah berupaya mengajak para putra asli Gorontalo yang menjadi pengusaha nasional seperti Ciputra, Rahmat Gobel, Sandiaga Uno untuk berinvestasi di tanah leluhurnya. Kendati sudah ada yang berinvestasi seperti Sandiaga untuk pembangkit listrik, selebihnya masih sebatas memberi bantuan sosial. “Mungkin karena mereka sudah berpandangan global dan internasional sehingga belum tergerak untuk masuk ke kampung halamannya,” kata Rusli menduga-duga.
Sekarang, program yang sedang digencarkan Pemprov Gorontalo adalah mempromosikan sektor pariwisata. Seperti Taman Laut Olele yang kata orang Gorontalo lebih bagus dari Taman Nasional Bahari Bunaken Sul-Ut. Pemprov Gorontalo sedang berupaya mencari investor di bidang ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tak semuanya program Pemprov Gorontalo berhasil. Sebut saja progam pengoperasian 120 kapal armada semut kepada para nelayan di Gorontalo bernilai miliaran rupiah, hasilnya kurang menggembirakan. Program yang diresmikan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI Alimarwan Hanan pada 2004 itu dianggap kurang tepat sasaran.
Terlepas dari itu, Gorontalo sekarang sudah banyak berubah. Denyut bisnis di provinsi ini kian terasa.
Dede Suryadi
Published on Majalah SWA