Dari Kelas Rumahan, Kini Merajai Pasar Knalpot OEM

Hampir semua ATPM besar menjadi pelanggan PT Cipta Saksama Indonesia yang memproduksi knalpot. Perusahaan ini pun mulai merambah pasar ekspor. Apa kiat sukses perusahaan yang awalnya hanyalah home industry ini?

Oleh : Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho

Sejatinya cukup banyak pemain di industri knalpot, apalagi untuk pasar bebas (after market) di negeri ini. Mungkin, bila dihitung bisa mencapai 200-an pemain di pasar bebas. Belum termasuk home industry dan bengkel kecil-kecil yang ada di pinggiran jalan. Maklum, potensi pasarnya sangat besar.

Kalau diasumsikan populasi mobil di Indonesia ada 5 juta (realitasnya bisa di atas angka itu), dan setiap 5 tahun mobil harus diganti/diperbaiki knalpotnya, maka ada lebih dari 80 ribu mobil per bulan yang memerlukan perawatan atau penggantian knalpot. Taruhlah 60% dari 80 ribu itu hanya menambal (repair) knalpot, maka ada sekitar 30 ribu knalpot baru yang dibutuhkan setiap bulan.

Sayangnya, PT Cipta Saksama Indonesia (CSI), salah satu produsen knalpot di Indonesia, belum banyak bermain di after market. Perusahaan yang rata-rata menjual 10-12 ribu knalpot/bulan ini lebih banyak mengisi pasar original equipment manufacture (OEM), yakni para Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM). Sebanyak 85% produk CSI memang diserap oleh pasar OEM. Bahkan, di pasar ini, posisi CSI cukup dominan. Hanya saja, ke depan CSI akan memperbesar porsinya di after market, yang saat ini baru menyerap 10% produknya. Sementara itu, 5% untuk pasar ekspor, seperti ke Australia, Jepang dan Oman. Adapun beberapa merek knalpot CSI yang sudah dilempar ke after market adalah Vincitore, Jitsugen, Million EG, dan Hot Dog, untuk beragam mobil. “Kami punya 250-an item knalpot untuk replacement market untuk mobil sedan, pikap, truk dan niaga,” ujar Bing Trisnadi Selomulyo, Direktur CSI

Pelanggan OEM-nya, antara lain, PT Astra Internatioal – Daihatsu (sejak 1981), PT Indomobil Suzuki International/Suzuki (1982), PT Garmak Motor/Chevrolet (1983), PT Imora Motor Inc./Honda (1988), PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors/Mitsubishi (1991), PT Multi France Motor/Peugeot (1997), dan PT KIA Motors Indonesia/KIA (2004). Bing menerangkan, sejak tahun 1980-an ada beberapa pemain knalpot di pasar OEM, yakni Lonuda (sekarang berubah menjadi Futaba), Sagitarius Sahari, dan Selamat Sempurna. Namun, Sagitarius Sahari (grupnya Probo Sutedjo) sudah tidak berproduksi. Jadi, kini tinggal tiga pemain yang memasok ke pasar OEM, yakni: CSI, Futaba dan PT Selamat Sempurna Tbk. (sekarang hanya memasok Isuzu).

Menurut Bing, pihaknya bisa mendominasi pasar OEM karena CSI tergolong pabrikan knalpot yang paling lama. Di samping itu, ia mengklaim, secara kualitas CSI sedikit di atas para kompetitor. “Mereka (kompetitor) masih bermain di kualitas mainsteel biasa. Sementara kamilah yang pertama kali menggunakan lapisan aluminium (aluminize steel shit),” ujar Bing membandingkan. Selain itu, CSI juga sudah membuat knalpot untuk mobil sedan. Menurutnya, kalau baru bisa memproduksi knalpot untuk utility vehicle atau pikap, itu biasa. Nah, kalau sudah bisa memproduksi sedan, itu baru bagus.

CSI dipercaya oleh beberapa ATPM sekaligus, menurut Aurelius B.S., Direktur Pengelola CSI, karena perusahaan ini bisa menjaga kerahasiaan teknologi mereka masing-masing. Istilahnya, CSI menerapkan ilmu poligami dalam bisnis knalpot. “Di sini kami harus bisa memastikan teknologi ATPM tidak bocor ke pihak lain, apalagi pesaingnya. Sekali saja pesaing ATPM melihat proses produksi, kemungkinan besar teknologi itu bakal dia pelajari,” ujarnya.

Prinsipnya, ATPM tidak pernah menuntut pabriknya harus didukung mesin khusus. Mereka lebih mengejar hasil produk (output) yang harus memenuhi kriteria mereka, misalnyai tes durabilitas, uji karat, uji aliran, dan suara. Beberapa standar uji ini mesti dipenuhi oleh CSI supaya dapat masuk ke ATPM.

Bagi CSI, pasar OEM masih cukup menjanjikan karena pelanggannya jelas dan ada standar aturan mainnya. Namun kelemahannya, seperti diakui Bing, pihaknya hanya mengikuti pergerakan industri ATPM itu sendiri. Bisa dibilang, bisnis di sektor ini sangat fluktuatif. Artinya, jika ATPM memproduksi mobil, CSI juga ikut produksi knalpot. “Ibaratnya, kami ini seperti ikan tuna yang mengekor hiu. Kami sangat tergantung pada ATPM,” ungkap Bing. Malah, jika pihaknya memproduksi knalpot ATPM, produk itu jadi milik ATPM sehingga pihaknya tak boleh menjual ke pihak lain atau ke pasar bebas. Jika memakai drawing knalpot milik ATPM, bisa dikenai royalti hingga ratusan juta rupiah.

CSI bisa mendominasi pasar OEM tidaklah diraih dalam sekejap. Perusahaan ini berangkat dari industri rumahan produk knalpot yang dikembangkan oleh Leo Kosasih. Home industry yang diberi nama Nanyang ini dimulai tahun 1968, di Taman Sari Kebon Jeruk, Sawah Besar, Jakarta. Munculnya ide usaha memproduksi knalpot, karena Leo melihat impor mobil mulai berdatangan ke Indonesia. Di sisi lain, belum banyak perusahaan yang memproduksi knalpot. Ini bisa terlihat dari banyaknya permintaan knalpot di toko suku cadang milik orang tua Leo.

Akhirnya, Leo memutuskan untuk memulai bisnis knalpot. Saat itu, pengerjaan knalpot masih menggunakan mesin manual. Pada tahap awal, knalpot dipasarkan melalui toko suku cadang orang tuanya. Tokonya juga menggunakan nama Nanyang. Karena daerah Asem Reges, Kebon Jeruk itu memang dikenal sebagai pusat suku cadang, konsumen dari kota-kota lain banyak yang berbelanja suku cadang, termasuk knalpot, di daerah ini. Ini yang membuat kenalan Leo pun semakin banyak.

Banyaknya kenalan itu akhirnya membuat pemesanan knalpot ke Leo pun terus bertambah. Permintaan tidak hanya datang dari Pulau Jawa, tapi juga dari luar Jawa, seperti Irian, Pontianak, Pare-Pare dan Medan. Saat itu, Nanyang belum memiliki jaringan distribusi sehingga pengiriman barang melalui jasa ekspedisi. Bing menambahkan, pesaingnya di bisnis knalpot belum banyak. “Waktu itu, kami bisa menguasai 60% pangsa pasar. Setiap bulan kami kirim ke luar kota hingga ribuan unit. Ini belum termasuk konsumsi di Jakarta,” katanya.

Karena permintaan makin banyak, CSI pun membutuhkan tempat yang layak untuk produksi dengan kapasitas yang lebih besar. Pada akhir 1970-an, pihaknya bisa memproduksi hingga 40 ribuan knalpot per tahun. Karenanya, memasuki tahun 1978, perusahaan ini memutuskan untuk pindah ke Jl. Raya Bekasi Km 23 Cakung, Jakarta Timur, yang ditempati hingga sekarang. “Waktu itu kami masih menggunakan nama lama, Nanyang. Baru setahun kemudian menggunakan nama PT Cipta Saksama Indonesia,” Bing menerangkan. Pabrik baru dengan luas tanah 18 ribu m2 dan luas bangunan 9.880 m2 itu menelan investasi awal mencapai Rp 2 miliar (dengan asumsi kurs US$ masih di bawah Rp 600). Investasi ini tidak termasuk pembelian mesin-mesin standar.

Waktu itu, memang belum banyak pemain yang menyentuh pasar OEM. Mereka lebih fokus menggarap pasar replacement. Baru pada 1981, ada keinginan dari Astra International untuk membina perusahaan lokal. Artinya, Astra ingin ada satu perusahaan lokal yang menjadi pemasok kenalpot, dan akhirnya CSI yang terpilih. Setelah itu, mulai banyak permintaan dari ATPM lain. “Untuk ATPM, kami bisa produksi 10-12 ribu knalpot per bulan,” kata Bing.

Sekarang, dengan jumlah karyawan sekitar 244 orang, CSI memiliki kapasitas produksi sebesar 22.000 unit/bulan/shift. Kendati sedang krisis, sepertinya CSI tak tergoyahkan. “Kami menargetkan tahun 2009 bakal terjadi pertumbuhan 200%,” kata Bing sambil mengungkap omset perusahaannya dari semua produksi itu sekitar Rp 55 miliar/tahun.

Dengan target setinggi itu, tentunya CSI sudah memperhitungkan. Seperti diungkapkan Aurelius, selain peluang dari pasar sektor after market yang akan diperbesar porsinya, pasar OEM juga akan terus digenjot. Saat ini, CSI memasok 100% kebutuhan knalpot Honda Jazz. Selain itu, CSI sudah dilamar oleh Bosal dari Eropa karena mobil Renault akan diproduksi di Indonesia. Rencananya, mobil Renault yang diproduksi di Indonesia itu didistribusikan ke negara-negara ASEAN. Selain itu, General Motors yang ditarik ke Thailand rencananya hendak mengajak CSI bila di 2009 ini membuka lagi pabriknya di Indonesia. Satu lagi, mobil Korea saat ini semakin diterima pasar. Tentu saja, sebagai penyuplai knalpot bagi KIA dan Hyundai, CSI bakal ketiban untung.

Jonfis Fandy, Direktur Pemasaran dan Layanan Purnajual PT Honda Prospect Motor (HPM) – ATPM mobil Honda – mengatakan, CSI telah lama bekerja sama dengan Honda. Bahkan, semenjak Honda belum ditangani HPM. “Kalau tidak salah, sejak Honda dipegang Imora Motor, CSI sudah menyuplai knalpot untuk produk Honda,” katanya.

Menurut Jonfis, CSI mampu memenuhi syarat teknologi yang dipatok oleh Honda. Namun, ia menambahkan, CSI tidak mutlak mengerjakan semua tahap pembuatan knalpot. Proses drawing tetap dipegang Honda. Selama menjalin kerja sama dengan CSI, Honda belum pernah komplain. “Buktinya, sampai saat ini kerja samanya terus berlanjut,” paparnya. Ini membuktikan bahwa kualitas CSI mampu memenuhi requirement ATPM Honda. Selain itu, kepercayaan Honda juga berdasarkan adanya pihak Sankei Giken Kogyo yang memberi bantuan teknis kepada CSI. Saat ini, Honda menyerahkan sepenuhnya pada CSI pasokan knalpot Honda Jazz. Sepanjang 2008, setiap bulan Honda mengeluarkan 2.500 unit Honda Jazz.

Sementara itu, Kusnadi Sugiarto, GM Procurement PT Indomobil Suzuki, mengatakan, kerja sama dengan CSI sudah berlangsung sejak 1980-an. Bahkan, CSI memasok hampir semua tipe mobil yang diproduksi Suzuki. Beberapa produk Suzuki yang menggunakan knalpot CSI antara lain, Baleno, Katana, Futura, Carry, Aerio dan terakhir Karimun. Dalam sebulan, lanjut Kusnadi, CSI bisa mengirim hingga 5 ribu unit untuk mencukupi kebutuhan Suzuki.

Hanya saja, saat ini pasokan knalpot dari CSI terpaksa dihentikan. Pasalnya, pihak Suzuki Jepang mensyaratkan, pemasok harus berafiliasi langsung dengan mereka. Selain itu, pemutusan kerja sama itu dilakukan karena alasan efisiensi. Pasalnya, bila tetap menggunakan CSI, pihaknya harus merogoh kocek untuk riset dan pengembangan (R&D) lagi. Produksi terakhir yang menggunakan CSI adalah Karimun, tepatnya tahun 2007. “Kami sekarang menggunakan Futaba,” katanya. Alasannya, Futaba telah memasok secara global, sehingga tidak perlu melakukan R&D baru lagi.

Dengan tergantung pada pasar OEM, bisnis CSI mengikuti pergerakan ATPM. “Nilainya sebanding dengan penjualan mobil,” kata Yulian, Redaktur Tabloid Otomotif. Kalau penjualan mobil nilainya kali satu, bisnis OEM juga akan kali satu nilainya. Yang menarik di after market, tapi pasar ini lebih banyak dikuasai oleh HKS, Remus, 5 Zigen, dan AMG. Namun, menurut Yulian, di afer market nama CSI pun cukup familier, sehingga tak heran perusahaan ini tengah berupaya memperbesar cengkeramannya di pasar bebas.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.