Berawal dari Kearifan Lokal

Indonesia memiliki segudang kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal ini ada yang bisa dikembangkan menjadi social enterprise. Seperti apa local wisdom yang berkembang jadi social enterprise?.

oleh : Dede Suryadi

Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira (toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia, tetapi juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Pencipta.

Kearifan lokal inilah yang mendorong manusia berkelompok dan membentuk entitas. Bagi Francis Fukuyama, penulis buku Trust the Social Virtues and the Creation of Prosperity, kearifan lokal merupakan modal sosial yang dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Fukuyama menunjukkan hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi, dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang lebih luas tumbuh di antara sesama pelaku ekonomi.

Dengan bahasa lain, modal sosial ini mampu ditingkatkan menjadi social enterprise (SE). Maria R. Nindita Radyati mendefinisikan SE sebagai entitas bisnis, tetapi tujuan utamanya adalah benefit sosial. Profit yang dihasilkan diinvestasikan kembali ke bisnisnya untuk pengembangan (keuntungan) komunitas. “Profit tidak dibagi-bagikan sebagai dividen kepada pemilik perusahaan,” ujar Koordinator Program MM-CSR (Corporate Social Responsibility) Universitas Trisakti itu.

Maria mencontohkan Koperasi Wanita Setia Bhakti (KWSB) di Jawa Timur yang mengusung konsep tanggung renteng. Koperasi ini dirintis Mursia Zaafril Ilyas, tokoh koperasi dan pencetus tanggung renteng, pada 1977. Hadirnya koperasi ini didorong nilai kearifan lokal, yaitu gotong royong dan tepa selira. Kini, koperasi tersebut telah berkembang dengan jumlah anggota ribuan dan omset miliaran rupiah.

Menurut Maria, terkadang munculnya SE seperti KWSB akibat adanya masalah sosial. Koperasi tersebut didirikan karena banyaknya masyarakat miskin, terutama di Malang, Ja-Tim. Warga di wilayah ini tidak bisa menyekolahkan anak mereka. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja sulit. Jangan heran, kalau membutuhkan uang, mereka (terutama para ibu) datang ke lintah darat.

Melihat kondisi ini, “Diajaklah para ibu ini untuk kumpul-kumpul. Memanfaatkan local wisdom di daerah tersebut sebagai modal sosial untuk mengembangkan social enterprise,” ujar Maria. Jadi, awalnya bisa dari social problem lalu menimbulkan social benefit dan pada akhirnya menumbuhkan economic benefit sehingga berdirilah SE. Semua itu yang melandasi adalah kearifan lokal, yaitu gotong royong dan tepa selira. “Local wisdom gotong royong itu tidak ada di negara-negara Barat,” katanya yakin.

Adanya kearifan lokal itu membuat tingginya rasa peduli pada orang lain. Seperti di KWSB, kearifan lokal tepa selira diterapkan. “Dalam memilih siapa yang menggunakan uang pinjaman di koperasi ini harus ada toleransi antaranggota,” ujar Maria mencontohkan.

Basuswasta, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menjelaskan bahwa kearifan lokal berkaitan dengan nilai-nilai yang dipegang dalam kultur lokal. Yang dimaksud lokal itu bisa mencakup wilayah kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional. Apabila konteksnya global, kearifan lokal yang dimaksud adalah kultur Indonesia atau nasional. Kultur Indonesia itu sendiri terdiri dari banyak subkultur.

Subkultur, Basuswasta menjelaskan, bisa didasarkan pada suku, bisa pula didasarkan pada lingkup yang lebih luas, yaitu generasi. “Jika dikembangkan, terkait dengan bisnis, memang akan memberikan kekuatan, sebab akan membentuk keunikan bisnis itu sendiri yang tidak ada di tempat lain.”

Kearifan lokal yang bisa menghasilkan SE pada level provinsi, misalnya, berbeda-beda. Contohnya, di Daerah Istimewa Yogyakarta, nilai-nilai yang dipegang masyarakatnya berasal dari keraton sebab keraton menjadi cikal bakal berdirinya provinsi ini. Kultur itu bisa terkait dengan kesenian dan kerajinan. Maka dalam membangun bisnis, jika ingin menunjukkan keunikan, itu terkait dengan kultur di Yogya, seperti kerajinan tangan dan jasa (bisa terkait dengan pariwisata).

Lalu, kearifan lokal di Minang (Sumatera Barat). Di sana sistem kemasyarakatannya matriakal, yaitu ibu punya power yang lebih dibanding bapak. Anak-anak menurut kepada ibunya. Ini berbeda dari nilai-nilai di tempat lain. Demikian pula dengan bisnis, maka akan terkait dengan apa yang dikuasai ibu mereka seperti rumah makan. Nilai-nilai di dalam kultur itu digunakan dalam mengembangkan bisnis tersebut. Lalu di Bali, yang menonjol adalah nilai-nilai religius — sehingga pulau tersebut disebut Pulau Dewata. Makanya, ada nilai-nilai bisnis yang bisa diangkat dari sana, seperti perlengkapan untuk mendukung kegiatan upacara.

Adanya sistem Subak di Bali juga terkait dengan nilai-nilai keagamaan di wilayah itu. Sistem Subak menjaga keseimbangan: di satu sisi masyarakat menghendaki pangan untuk berproduksi, tetapi di sisi lain tidak mau merusak alam. Lalu, bagaimana caranya agar alam tetap terjaga, tetapi jangan sampai merusak. Maka, diterapkanlah sistem Subak, sehingga bibit yang tidak menghasilkan itu pun bisa dibuat sawah. Juga, ada kerja sama dalam masyarakat: siapa yang dapat lahan di atas, siapa yang dapat di bawah, lalu airnya mengalir ke mana. “Hal ini,” kata Basuswasta, “memerlukan manajemen yang bagus.”

Bagaimana kearifan lokal bisa di-leverage menjadi SE? Menurutnya, SE bisa dibangun dalam dua bentuk lembaga: formal atau informal. “Masyarakat bisa dikatakan social enterprise apabila mereka menjaga tatanan hidup dan alam yang ada sehingga hasilnya akan dinikmati kita semua,” ujarnya seraya menambahkan, UGM berusaha menjadi universitas yang berkaliber internasional, tetapi kearifan lokal tak dilupakan. Maka, ciri UGM-nya tidak akan hilang, yakni sebagai universitas kerakyatan.

Sri Murni, dosen Antropologi Universitas Indonesia, menambahkan, kearifan lokal di Ambon ada yang disebut Pela, yaitu suatu tatanan kebersamaan mirip dengan gotong royong di Jawa. Pela ini bisa menembus batasan agama, marga, ataupun suku. Ketika Pela ini terkait dengan mata pencarian, maka bila suatu kelompok nelayan akan melaut, mereka akan mengajak anggota satu Pelanya untuk bahu-membahu menghasilkan ikan yang lebih banyak daripada jika menangkap sendiri.

Ada pula Pela kelompok petani. Jika Pela kelompok nelayan melakukan barter dengan Pela kelompok petani, akan hadir Pela yang lebih besar, yaitu konsolidasi nelayan-petani. Ketika sudah membentuk satu Pela, mereka menjadi satu ikatan seperti saudara sekandung. “Kalau nelayan sedang paceklik karena cuaca buruk, petani ini akan membantu,” tutur Sri Murni. Apabila ini dipupuk, kelaparan di Indonesia tidak akan terjadi. Ini bisa dijadikan sebuah SE di masyarakat.

Maria menambahkan, ada 12 karakteristik SE di Indonesia. Pertama, tujuan utamanya memberikan benefit untuk orang lain. Kedua, keuntungan bisnis diinvestasikan lagi untuk pengembangan usaha. Pendiri hanya dapat gaji atau upah (jadi, dia tidak dapat dividen). Organisasinya bisa berbentuk koperasi atau PT. Ketiga, ada yang mendirikan third sector organization, bentuknya yayasan, perkumpulan, koperasi, serikat buruh (serikat pekerja), organisasi massa atau badan hukum pendidikan.

Di Indonesia belum ada badan hukum khusus SE. Adapun di Inggris ada badan hukum khusus untuk SE, yaitu community interest company, karena ada perlakuan khusus dalam hal pajak dan sebagainya. Di Indonesia biasanya dalam bentuk PT, tetapi kemudian juga dibentuk yayasan. Tujuan membentuk third sector organization dalam bentuk yayasan, koperasi atau perkumpulan adalah agar perusahaan bisa mengembangkan programnya. Contohnya, Grup Astra membuat Yayasan Dharma Bakti Astra dan PT Unilever Indonesia membentuk Yayasan Peduli.

Karakterisktik keempat, membentuk komunitas sosial. Tujuannya, untuk memelihara sumber daya masusianya dan mereplikasi model bisnisnya. Kelima, memiliki pertautan yang kuat dengan komunitas. Keenam, biasanya berorientasi pasar mancanegara dengan menjual produk/jasa ke sana. Ketujuh, dimulai dari menciptakan social benefit (seni, kreativitas, aspek moral, pola pikir, film, dan sebagainya) atau enviromental benefit yang akhirnya menjadi economic benefit.

Kedelapan, punya kepemimpinan yang kuat. Kesembilan, jiwa kewirausahaannya kuat. Kesepuluh, punya kemampuan mengubah pola pikir komunitas. “Koperasi tanggung renteng mengajak masyarakat menjadi suka menabung,” ujar Maria. Kesebelas, ada kontribusi yang voluntary. Dan, keduabelas, ada modal intelektual yang berkembang.

Selain kearifan lokal yang telah diungkapkan di atas, masih banyak kearifan lokal lain yang bisa digali untuk membangun SE. Sungguh, jika kita bisa me-leverage-nya, itu akan mendorong terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran di negeri tercinta ini.

Riset: Rachmanto Aris D.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.