Nama Grup Indika (GI) di jagad bisnis makin diperhitungkan dan dikenal. Terlebih setelah unit bisnis pertambangannya lewat bendera PT Indika Energy Tbk. yang jadi andalannya go public tahun lalu. Nama Indika pun makin menjulang ke atas dan setiap langkahnya menjadi incaran pelaku bisnis.
Sukses GI mengepakkan sayap bisnisnya di negeri ini tak lepas dari kepiawaian sang pendiri, yaitu Agus Lasmono, putra bungsu pengusaha tenar di zaman orde baru, Sudwikatmono. Kepiawaian anak muda berusia 35 tahunan ini seolah mewarisi bakat sang ayah dalam mengembangkan imperium bisnisnya. Bahkan disebut-sebut, Agus merupakan nakoda baru bisnis keluarga Sudwikatmono yang dulu bernama Grup Subentra.
Memang, GI berkembang sangat pesat. Padahal pada saat awal didirikan tahun 1998, garapan bisnis utamannya adalah bidang enternaiment. Konon, nama Indika pun merupakan singkatan dari Industri Informasi dan Telekomunikasi. Bisnis awal ini seolah mencerminkan jiwa Agus yang menyukai di bidang seni karena alumni Pepperdine University, California dan West Coast University Los Angeles AS ini adalah seorang disk jockey. Dulu, nama Indika Enternaiment sering muncul di TV dan bioskop sebagai produser tayangan infotainment, sinetron dan film.
Sekarang, garapan bisnis GI makin meluas, meliputi berbagai jenis usaha. Di bisnis multimedia, ia mengibarkan bendera i Indika FM, Indika Telemedia, Indika Production dan kepemilikan saham di SCTV. Lalu, di bisnis hiburan, Indika mengelola beberapa franchise, salah satunya Planet Hollywood. Di bisang properti, kelompok usaha ini membangun properti komersial dan industri. Sementara, di bisnis petrokimia Agus memiliki PT Petrokimia Nusantara Interindo (PENI), dan Indika Energy di di pertambangan. Dari sejumlah perusahaan itu, banyak juga yang dimiliki Agus melalui pola akusisi, di antaranya Indika FM, PENI ataupun Indika Energy.
Diakui Norico Gaman, Head of Research BNI Securities, Agus adalah sosok yang cermat memanfaatkan momentum bisnis. Plus adanya dukungan finansial yang kuat, tak heran sejumlah bisnis yang dianggap bakal menguntungkan ke depan dirambah Agus. Dulu, saat GI masuk ke bidang petrokimia dan pertambangan, banyak yang terheran-heran. Pasalnya, GI sudah identik dengan pembesut bisnis hiburan. Namun, kecermatan Agus dalam memilih bisnis membuahkan hasil. Seperti Indika Energy. sekarang disebut-sebut sebagai tulang punggung GI dalam mencetak keuntungan.
Wajar, Indika Energy seperti itu karena perusahaan ini memiliki unit bisnis yang menghasilkan batu bara sangat besar, yaitu PT Kideco Jaya Agung yang diakuisisi sejak tahun 2004. Kideco ini mampu memroduksi 20-22 juta ton per tahun. Dengan memroduksi batu bara sebesar itu, menempatkan Indika Energy dalam jajaran 5 besar perusahaan tambang batu bara terbesar di negeri ini. Sebagai perbandingan, produsen batu bara nomor wahid, yaitu Bumi Resources, produksinya sebesar 60 juta ton per tahun, dan Adaro 40 juta ton.
Kini, Indika Energy telah berkembang menjadi kelompok usaha energi terintegrasi, dengan lini usaha pertambangan batu bara, proyek pembangkit listrik dan jasa teknik, serta pengadaan dan konstruksi (engineering, procurement & construction). Usaha produksi batu baranya melalui kepemilikan 46% saham di PT Kideco Jaya Agung. Bisnis pembangkit listriknya lewat kepemilikan 20% saham di PT Cirebon Electric Power; sedangkan bidang engineering, pengadaan dan kontruksi digarap melalui PT Tripatra Engineering dan PT Tripatra Engineers & Constructors.
Tak sampai di situ, Indika Energy juga terus menguatkan bisnis di bidang tambang dengan baru saja mengakuisisi 77,90% saham PT Petrosea Tbk., perusahaan kontraktor pertambangan berskala besar. Dengan memiliki kontraktor tambang sendiri, Indika Energy akan semakin memaksimalkan keuntungan bisnisnya. Apalagi, dua tahun lalu telah melakukan merger dengan perusahaan mapan seperti Tripatra. Ini menunjukkan bahwa Agus dengan kelompok bisnisnya makin fokus mengembangkan bisnis pertambangan untuk jangka panjang, sehingga fondasi Indika Energy makin kokoh.
Meski bisnisnya sedang menggurita, Agus sepertinya bermain di belakang layar. Menurut Norico, Agus berperan seperti itu karena, bagaimanapun, ia memiliki kaitan dengan rezim oder baru. Seperti kita ketahui, Sudwikatmono adalah ipar dari Presiden Soeharto. “Sang pemilik lebih banyak di belakang layar karena semua bisnisnya dijalankan oleh para profesional. Namun demikian, pemilik tetap menjaga konsistensi pertumbuhan bisnisnya ke depan,” katanya menganalisa.
Dukungan finansial yang kuat juga karena kemampuan sang pemilik untuk menjalin hubungan dengan pemodal baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tentunya, Agus sebagai anak mantan pengusaha kakap juga turut berpengaruh atas modal yang didapatnya.
Hal ini pun dibenarkan oleh Adi Wijaya, mantan GM Indika Production. Namun, di balik itu semua, selain dukungan finansial, Agus juga mau terjun memantau bisnisnya. “Dulu waktu saya masih di Indika Production, rapat dengan Pak Agus seminggu sekali,” katanya mengenang. Menurutnya, Agus pun tak segan-segan memberikan dukungan dan kepercayaan penuh kepada karyawannya sehingga mereka percaya diri untuk mengembangkan bisnis yang diembankan pada karyawan. “Pak Agus mau dekat dengan karyawannya,” katanya memuji.
Dengan gaya Agus memimpin itu, Indika Production pun maju pesat. Bahkan sampai sekarang masih beroperasi. “Saat awal berdiri tahun 2000, Indika Production bermodalkan Rp 200 juta dan tahun 2007 billing-nya sudah mencapai Rp 32 miliar,” ujar Adi yang sekarang menjadi Presdir Redline –perusahaan yang dibangunnya sendiri.
Visi Agus yang Adi ketahui adalah tidak ingin terlalu banyak bisnis kalau tidak besar dan berprestasi biasa-basa saja. Artinya, Agus lebih baik memilih perusahaannya sedikit, tapi punya prestasi dan menguasai di bidangnya. Dan, setiap unit bisnis di grupnya harus saling mendukung agar sama-sama tumbuh besar. “Pak Agus inginnya semua bisnisnya itu maju bersama-sama,” ujar Adi.
Yang pasti, baik Adi maupun Norico melihat, bisnis GI tetap berprospek di bidangnya masing-masing, terutama bidang pertambangan lewat Indika Energy. “Indika akan maju selama sang pemilik konsisten menjaga pertumbuhan bisnisnya,” kata Norico. Kemudian, Indika Energy pun harus lebih transparan dalam melakukan aksi korporasinya dengan menjalankan tata kelola perusahaan atau GCG (good corporate governance) yang lebih baik, sehingga Indika Energy akan menjadi pilihan investor publik.
Demikian juga dalam ekspansi, sebaiknya tidak terlalu agresif dengan menggunakan pendanaan dari luar perusahaan. “Jangan terlalu agresif yang ditopang dengan utang, sehingga akan terjadi blunder di masa datang. Pokoknya harus proporsional,” Norico menyarankan. Komitmen dari pemilik seperti Agus untuk menjalankan semua itu sangatlah diperlukan, sehingga GI tetap bisa tumbuh lebih besar lagi ke depan, di samping tetap jeli memanfaatkan momentum bisnis yang sedang berkembang.
Dede Suryadi
Riset: Ratu Nurul Hanafiah