Grup Sinar Mas: Lebih Fokus pada Empat Pilar Bisnis

Kelompok bisnis Sinar Mas yang didirikan Eka Tjipta Widjaja merupakan salah satu konglomerasi di Indonesia yang eksis kembali setelah dihantam badai krisis ekonomi yang superdahsyat pada 1997/1998. Kala itu, kapal bisnis Grup Sinar Mas (GSM) oleng dan hampir tenggelam. Namun, setelah melakukan restrukturisasi dan transformasi bisnis, GSM sekarang bisa berjalan ajek dan tak tertatih-tatih lagi.

Gandi Sulistiyanto, Direktur Pengelola GSM, menjelaskan perkembangan terakhir grup bisnis yang didirikan sejak 1959 ini. Sekarang, GSM memiliki empat bidang usaha utama, yaitu bubur kertas dan kertas, agribisnis dan makanan, pengembang dan real estate, serta jasa keuangan.

Bandingkan dengan sebelum krisis ekonomi, GSM memiliki holding usaha yang membuat mereka membiakkan bisnis. Satu holding beranak pinak, hingga beberapa ratus anak perusahaan. “Kala itu kami tumbuh sebagai konglomerasi di bawah satu chairman, yaitu Pak Eka. Namun sejak 2003, kami restrukturisasi organisasi bisnis Sinar Mas,” Sulis – sapaan Gandi Sulistiyanto – menuturkan. Memang, efek krisis memaksa GSM memecah bisnisnya di dalam holding menjadi per unit usaha. “Tidak ada lagi divisi, tapi satu unit bisnis sendiri yang merupakan pecahan holding tadi.”

Nah, masing-masing unit bisnis ada CEO-nya, yang dipegang oleh anak-anak lelaki Eka. Seperti industri bubur kertas dan kertas dipegang oleh Teguh Ganda Widjaja; agribisnis dipegang Franky Osman Widjaja; real estate dipegang Muktar Widjaja; dan jasa keuangan dipegang Indra Widjaja.

Diakui Sulis, sekarang pihaknya memiliki pola pandang berbeda pascatransformasi bisnis. Dulu konglomerasi, tetapi kini visi grup terangkum menjadi 3P, yaitu people, planet dan profit. “Untuk menjaga keberlanjutan usaha harus dengan 3P, harus care terhadap people, planet, selain mencapai profit,” ujarnya menjelaskan. Kini, pihaknya berpikir bukan semata menggemukkan diri dengan profit sebesar-besarnya. Melainkan, yang lebih penting adalah keberlanjutan. “Pemegang saham yang mengontrol adalah keluarga Widjaja, dengan landasan filosofi Pak Eka sebagai pendiri,” katanya.

Setelah restrukturisasi bisnis, GSM tidak lagi memiliki holding, melainkan ada president office yang dipimpin oleh Gandi Sulistiyanto sebagai direktur pengelola. “Bukan berarti president office adalah holding baru. Itu berbeda. Masing-masing unit tidak bertanggung jawab pada saya. Saya hanya yang memfasilitasi dan komunikasi di antara unit-unit usaha,” tutur pria yang mengawali kariernya di Grup Astra ini. Maksudnya, ia tidak bertanggung jawab terhadap profit and loss masing-masing unit, tetapi dalam setiap keputusan ia ikut terlibat karena dibicarakan di president office.

Bagaimana hasil restrukturisasi dan transformasi GSM sekarang? Mari kita bahas satu per satu dari empat garapan bisnis utamanya. Pertama, bisnis bubur kertas dan kertas yang sumber bahan bakunya adalah hutan tanaman industri (HTI). Bisnis ini di bawah PT Indah Kiat Pulp and Paper dan PT Tjiwi Kimia. Per Juni 2009, Indah Kiat – go public pada 1990 – memiliki aset sebesar Rp 59,97 triliun, sedangkan aset Tjiwi Kimia Rp 23,28 triliun.

Unit bisnis tersebut menghasilkan bubur kertas dengan total kapasitas 3,2 juta ton/tahun, tisu 132 ribu ton/tahun, dan kertas 2,9 juta ton/tahun. Ada pula produk dalam bentuk stationery yang kapasitas produksinya 320 ribu ton/tahun. Kertas kemasan kapasitas produksinya 1,4 juta ton/tahun. Selain Indah Kiat dan Tjiwi Kimia, dalam unit ini ada beberapa perusahaan yang belum go public seperti Pindo Deli dan Lontar Papyrus.

Kedua, di agribisnis, GSM memiliki PT SMART Tbk. – go public tahun 1992. Asetnya per 30 September 2009 tercatat Rp 10,45 triliun, sedangkan laba bersihnya selama semester I/2009 senilai Rp 537 miliar. Perusahaan ini memproduksi minyak sawit atau CPO dan produk turunannya. Total produksi CPO 1,7 juta ton/tahun. Lahan sawitnya mayoritas di Sumatera, selebihnya di Kalimantan, dan di Papua (13 ribu ha). SMART memiliki 129 perkebunan inti dan plasma, serta 33 pabrik CPO, lima pabrik penghancur (sawit), dan tiga pabrik pengolahan.

Merek yang dihasilkan SMART adalah minyak goreng Filma dan Kunci Mas. Total kapasitas produksi pabrik 8,6 juta ton/tahun, kapasitas produksi pengolahannya 1,1 juta ton/tahun. Saat ini Filma dan Kunci Mas menempati posisi nomor satu di pasar modern minyak goreng dengan pangsa pasar 29%. “Kami membuat merek untuk kelas atas, Kunci Mas yang kemasannya cokelat gold,” Sulis menambahkan.

Ketiga, bisnis pengembang dan real estate (properti). Ada dua yang sudah go public, yaitu PT Duta Pertiwi Tbk. dan PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSD). Per September 2009, aset BSD sebesar Rp 4,4 triliun, sedangkan Duta Pertiwi Rp 4,5 triliun. Lalu, laba bersih BSD selama semester I/2009 tercatat Rp 203 miliar dan Duta Pertiwi Rp 93 miliar. BSD baru seperempat saja yang dikembangkan dari 6 ribu ha luas total lahan yang dimiliki grup ini. “Jadi baru 1.500 ha yang dikembangkan saat ini, masih luas potensi yang bisa dikembangkan di BSD,” kata Sulis. BSD merupakan kota mandiri yang berhasil dibangun GSM.

Bisnis real estate lainnya adalah kawasan industri milik GSM yang sudah jadi, yaitu BSD Techno Park dan Karawang Indah Industrial City. GSM kini sedang mengembangkan kota mandiri lagi di Bekasi (seperti BSD), yaitu Delta Mas (luas 3 ribu ha). Delta Mas dikembangkan GSM dengan investor Jepang. “BSD City sudah matang, karena sudah seperempatnya dikembangkan. Sementara Delta Mas baru mulai dikembangkan ke industrial estate dan perumahan,” ujarnya.

Di samping itu, GSM juga memiliki Hotel Le Grandeur Jakarta (dulu: Dusit Mangga Dua), Le Grandeur Balikpapan, dan gedung Hotel Grand Hyatt. “Le Grandeur dulu dikelola Dusit Tan, manajemen hotel dari Thailand. Sekarang berubah nama dan kami kelola sendiri,” katanya. Sementara Grand Hyatt, GSM hanya pemilik gedung, pengelolaan hotel diserahkan ke Grand Hyatt. Adapun ITC seluruhnya milik GSM dengan perincian ada yang gedungnya milik GSM, dan ada yang milik investor lain tetapi manajemen gedungnya dipegang GSM.

GSM juga mengelola 8 gedung perkantoran, yaitu Mal Ambasador Kuningan, ITC Cempaka Mas, Plaza BII, Wisma BII Jakarta, Wisma BII Medan, Wisma BII Surabaya, dan Wisma Eka Jiwa di Mangga Dua. Ada pula lima resor yaitu Kota Bunga di Puncak, Lombong Siri, Pecatu di Bali, Senggigi di Lombok, dan Palm Spring di Batam (seluas 273 ha).

Keempat, bisnis jasa keuangan, antara lain Sinar Mas Multiartha yang go public pada 1996. Asetnya per 31 Desember 2008 US$ 1,4 miliar, laba bersih US$ 24 juta, dan kepemilikan saham publik 20,2%. Lalu ada Asuransi Sinar Mas, Asuransi Jiwa Sinar Mas, Asuransi Jiwa Mega Life (join ventura dengan Bank Mega), dan LIG Insurance (join ventura dengan LG Korea). “Asuransi Jiwa Sinar Mas sekarang posisinya nomor tiga nasional, setelah Asuransi Prudential dan Manulife,” ujar Sulis mengklaim. Sementara itu, Asuransi Sinar Mas (kerugian) kini nomor satu dalam perolehan premi, lebih besar dari Jasindo (milik pemerintah).

Masih di bisnis keuangan, GSM yang kehilangan Bank Internasional Indonesia, tahun 2005 membeli Bank Shinta. Asetnya saat baru dibeli Rp 400 miliar. Diakui Sulis, bank ini menjadi pengganti BII yang lepas dari pelukan pada saat restrukturisasi. “Saat ini Bank Shinta total asetnya Rp 10 triliun data tahun 2009,” katanya. Namanya pun telah berganti menjadi Bank Sinarmas, dan memiliki 100 cabang. “Kami akan tambah 25 cabang lagi,” tambahnya. Menurut Sulis, bank ini masih kategori bank menengah.

Sejumlah perusahaan lainnya yang masuk dalam GSM: Cisco, Jobstreet, Super Wahana Techno (penghasil AMDK), dan bengkel mobil (body repair melengkapi jasa asuransi). Ada juga Smart Telcom (telekomunikasi) dan PT Dian Swastatika Sentosa yang membidangi pertambangan. Juga, perusahaan pengelola base transceiver station guna mendukung bisnis telko GSM.

Sekarang, GSM mempekerjakan pegawai tetap sebanyak 300 ribu karyawan, melibatkan 2 ribu pemasok yang meliputi pembibitan, land clearing perkebunan dan sebagainya. Tahun 2008, ekspor GSM dari pulp, kertas, minyak goreng mencapai US$ 4,8 miliar. “Waktu itu total ekspor Indonesia US$ 35 miliar. Artinya kontribusi dari Sinar Mas sekitar 11,5%,” kata Sulis. “Kalau ada apa-apa pada Sinar Mas, pasti goyang ekonomi Indonesia,” ungkapnya yakin. Ke depan, GSM tidak ada rencana akuisisi dalam mengembangkan bisnis. “Kami sempat melirik Bank Century tahun 2008, tapi tidak jadi, dilihat bisnisnya. Hanya saja, kami kan tidak tahu, kalau ada peluang, ya tidak menolak (akuisisi).”

Thomas Wibisono, pengamat bisnis konglomerasi, menilai, GSM bisa dikatakan sebagai konglomerat yang masih sangat eksis di Indonesia dewasa ini. GSM bisa eksis kembali karena sekarang lebih fokus pada empat garapan bisnis utamanya. Sepertinya, kelompok bisnis ini hendak membesarkan Bank Sinarmas untuk menggantikan BII.

Dede Suryadi, Herning Banirestu dan Rias Andriati

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.