Berlawanan dengan konsumsi semen domestik yang menurun tahun ini, jutru saham tiga emiten semen mengalami peningkatan signifikan. Ada apa dan bagaimana prospek saham semen ini?
Oleh : Dede Suryadi
Memang, kalau dibanding periode yang sama di tahun lalu, konsumsi semen domestik pada semester I/2009 mengalami penurunan hingga 7%. Lalu, dari Januari hingga September 2009 konsumsi semen domestik, seperti yang diungkap Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Urip Timuryono, menurun hingga 4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 28,5 juta ton. Kendati menurun 4%, pencapaian tersebut jauh lebih baik dibanding akhir semester I/2009 yang turun 7%.
Namun, kalau dilihat per bulan sejak Juli 2009, konsumsi semen domestik cukup menggembirakan. Seperti pada Juli dan Agustus 2009, masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 2,8% dan 7,5% dibanding periode yang sama di tahun lalu.
Pertumbuhan semen domestik di Juli dan Agustus 2009 itu lebih banyak disumbang oleh pertumbuhan permintaan semen di luar Pulau Jawa. Seperti di Agustus 2009, permintaan semen domestik yang sebesar 7,5% merupakan kontribusi pertumbuhan sebesar 22,3% berasal dari luar Jawa. Sementara, Jawa sendiri yang mengonsumsi sekitar 55% dari total konsumsi nasional masih mengalami pertumbuhan negatif sebesar 1,9%.
Penurunan tersebut tak lepas dari kondisi makro perekonomian yang belum pulih total. Khusus pada September lalu, ada libur Lebaran hingga 10 hari sehingga membuat proses distribusi berkurang. Hasilnya, sepanjang September penjualan semen hanya 2,5 juta ton. Sementara, dari Januari hingga September 2009, penjualan produk ini mencapai 27,2 juta ton.
Namun, harapan akan membaiknya industri semen tetap ada. Dan, tanda-tanda itu sudah terlihat memasuki semester II tahun ini, kendati konsumsi semen tahun ini diprediksi akan lebih rendah dibanding pencapaian tahun 2008. Konsumsi semen dalam negeri pada tahun lalu mencapai 38,08 juta ton, sedangkan pada tahun 2007 hanya 34,17 juta ton. Secara total penjualan semen untuk domestik dan ekspor pada 2008 menembus 43,02 juta ton, atau naik dari tahun 2007 yang mencapai 41,95 juta ton.
Nah, tahun ini Asosiasi memperkirakan konsumsi domestik sekitar 36 juta ton, dan tahun depan diprediksi akan lebih besar lagi, yaitu 38-39 juta ton. Inilah yang membuat ekpektasi terhadap saham semen meningkat sejalan dengan mulai menggeliatnya proyek pembangunan properti dan infrastruktur yang sempat tertunda akibat krisis. Belum lagi pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan akibat bencana gempa seperti di Sumatera dan Jawa Barat.
Tengok saja, harga saham tiga perusahaan semen yang sudah listing di bursa. Saham PT Semen Gresik Tbk. (berkode SMGR) per 31 Januari hingga per 15 September 2009 naik 88,5% dari Rp 3.475 menjadi Rp 6.550. Lalu, saham PT Holcim Indonesia Tbk. (SMCB) naik 124% dari Rp 580 menjadi Rp 1.300. Dan, yang paling tinggi kenaikannya, yakni 122,22%, adalah saham PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) dari Rp 4.500 menjadi Rp 10 ribu.
Agung Wiharto, Manajer Hubungan Investor Semen Gresik (SG), mengungkapkan, upaya perusahaannya meningkatkan kinerja sahamnya adalah dengan dua cara, yaitu fokus pada sinergi grup dan melakukan efisiensi. Seperti kita ketahui, SG memiliki dua anak perusahaan: PT Semen Padang di Sumatera Barat dan PT Semen Tonasa di Sulawesi Selatan. Salah satu upaya melakukan efisiensi adalah dengan efisiensi energi penunjang produksi semen dan transportasi.
“Untuk pabrik semen, energi batu bara mencapai 24%, listrik 16% dan transportasi 14%,” katanya sambil menambahkan, selain menggunakan batu bara rendah kalori yang lebih murah, perusahaan ini juga mengembangkan energi alternatif dari komoditas pertanian. Hal lainnya yang dilakukan adalah berupaya menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dengan baik. “Ini upaya kami sebagai perusahaan publik untuk melakukan transparansi,” ia mengungkapkan.
Hingga saat ini, menurut Agung, SG merupakan pemimpin pasar di industrinya dengan penguasaan pasar 45%. Dalam setahun, SG mampu memproduksi 18 juta ton semen: dari Semen Gresik 8,6 juta ton, Semen Padang 5,9 juta ton dan Semen Tonasa 3,5 juta ton.
Untuk meningkatkan kapasitas produknya, SG sedang membuat pabrik baru, yaitu pabrik Tuban IV yang telah dicanangkan oleh Menneg BUMN pada 20 Agustus 2009. Pabrik tersebut berkapasitas 2,5 juta ton/tahun yang dibangun dengan biaya Rp 3,5 triliun, menggunakan teknologi terkini yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Lokasi pabrik baru yang berada di antara pabrik milik SG ini direncanakan dapat beroperasi penuh pada awal 2012. Kehadiran pabrik baru ini memberikan harapan kepada investor di pasar modal bahwa saham perusahaan yang berkode SMGR ini akan lebih prospektif.
Apalagi, kalau menengok kinerjanya yang tambah kinclong. Lihat saja, hingga semester I/2009, di tengah permintaan semen yang mengalami penurunan hingga 8,4%, perusahaan ini hanya mengalami penurunan 5,7%, bahkan mencatat kenaikan laba bersih yang cukup signifikan: 33,2%. Kenaikan tersebut diperoleh karena keberhasilan menekan biaya produksi dan efisiensi segala lini, di antaranya melalui sinergi antar-anak perusahan.
Pada semester I /2009 itu, pendapatan (revenue) SG mencapai Rp 6,77 triliun, atau meningkat 18,8% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2008 sebesar Rp 5,7 triliun. Selama 6 bulan pertama 2009, perusahaan ini mampu menjual semen sebesar 19,49 juta ton untuk konsumsi pasar domestik dan ekspor. Sementara, laba usahanya mencapai Rp 1,91 triliun, naik 25,5% dibandingkan tahun 2008 sebesar Rp 1,52 triliun. Laba bersih SG dalam semester I/2009 tercatat Rp 1,51 triliun, naik 33,2 % dibandingkan periode yang sama pada 2008 sebesar Rp 1,14 triliun, dan EBITDA mencapai Rp 2,13 triliun (naik 19,4%).
Aksi korporasi yang baru saja dilakukan emiten ini, yaitu penjualan 68,03 juta saham, memberikan keuntungan Rp 215,99 miliar. Saham-saham tersebut merupakan hasil buy back SG sejak tahun lalu. Hasil penjualan saham ini memang tidak masuk ke laba-rugi, tetapi tetap akan menambah kas perseroan. Ditambah menguatnya rupiah terhadap dolar AS yang mencapai 10%, kemampuan SG membiayai pabrik menjadi semakin kuat. SG tahun ini memang banyak membutuhkan dana terutama untuk ekspansi. Selain itu, gempa Padang beberapa waktu lalu juga membuat SG harus mengeluarkan dana Rp 9,3 miliar untuk perbaikan. “Buy back kami pada tahun lalu seharga Rp 2.900 per saham dan pada awal Oktober ini dijual pada harga Rp 6.100,” ujar Agung.
Beralih ke Indocement, pada semester I/2009 perusahaan ini juga membukukan kinerja positif. Laba bersih perseroan melejit 52,84% yaitu menjadi Rp 1,18 triliun dibanding semester I/2008 Rp 772 miliar. Pada semester I/2009, Indocement membukukan penjualan sebesar Rp 4,8 triliun, naik 6,67% dibanding semester I/2008 sebesar Rp 4,5 triliun. Biaya produksi menurun 3,41% menjadi Rp 2,55 triliun dari sebelumnya Rp 2,64 triliun.
Beban bunga juga mengalami penurunan signifikan sebesar 60,06% menjadi Rp 30,45 miliar dari sebelumnya Rp 76,24 miliar. Beban bersih pun menurun signifikan sebesar 65,81% menjadi Rp 9,28 miliar dari sebelumnya, Rp 27,16 miliar. Dengan berbagai penurunan pada pos beban tersebut, Indocement berhasil membukukan laba bersih yang melonjak 52,84%. Laba per saham pun otomatis ikut naik sebesar 51,81% menjadi Rp 318,5 per saham (dari sebelumnya Rp 209,8 per saham).
Sementara itu kinerja Holcim — berkode SMCB — pada semester I/2009 tidak terlalu menggembirakan. Pada periode tersebut laba bersih Holcim mencapai Rp 280 miliar atau turun 21,78% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yaitu Rp 341 miliar. Penurunan ini didorong oleh tingginya beban bunga pinjaman hingga US$ 195 juta. Rusli Setiawan, Direktur Relationship Management Holcim, mengatakan, dampak tingginya suku bunga pinjaman dalam negeri dan pelemahan nulai tukar rupiah terhadap dolar AS pada awal 2009 juga turut berkontribusi terhadap melorotnya kinerja laba bersih itu. Meski demikian, Holcim membukukan peningkatan penjualan sebesar 15% menjadi Rp 2,35 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Aksi korporasi yang segera dilakukan Holcim, kabarnya, adalah merealisasi pinjaman senilai US$ 40 juta paling lambat Oktober tahun ini. Dana hasil pinjaman tersebut rencananya akan digunakan untuk membiayai akuisisi 100% saham Holcim Sdn. Bhd. (Malaysia). Nilai akuisisi Holcim Malaysia kabarnya mencapai US$ 50 juta, di mana Holcim akan menggunakan sekitar US$ 40 juta dari pinjaman domestik, sedangkan sisanya yang US$ 10 juta berasal dari kas internal. Selain dari pinjaman bank, Holcim juga tidak menutup kemungkinan emisi obligasi untuk memenuhi target pinjaman.
Holcim Malaysia sendiri memiliki kapasitas penggilingan sebanyak 1,2 juta ton semen/tahun dan pabrik pencampuran sebanyak 65 ton per jam. Menyangkut kinerja keuangan semester II, Rusli memperkirakan pendapatan Holcim bisa meningkat sekitar 20% seiring dengan membaiknya konsumsi semen. Dengan rencana akuisisi ini, diperkirakan kinerja Holcim bisa semakin baik, terutama untuk memenuhi kemungkinan lonjakan permintaan atas semen yang sempat surut. Holcim juga berencana membangun pabrik baru di Tuban, Jawa Timur, yang berkapasitas 2 juta ton semen untuk memenuhi kebutuhan konsumsi semen Ja-Tim yang mencapai 4-5 juta ton/tahun.
Prospek emiten semen sendiri diperkirakan semakin cerah, terkait masih banyak tersisanya anggaran stimulus infrastruktur yang bernilai total Rp 11,549 triliun. Maxi Leisyaputra, analis dari BNI Securities, menganalisis, saham-saham ketiga emiten semen itu sangat menarik. Pasalnya, semua harga sahamnya meningkat, padahal dari awal tahun penjualan semen domestik menurun. Dalam catatan Maxi, dari awal tahun hingga 7 Oktober 2009, saham Indocement naik 154% dari Rp 5.050 menjadi Rp 11.700, saham SG naik 58% dari Rp 4.200 menjadi Rp 6.600, saham Holcim naik 148% dari Rp 660 menjadi Rp 1.560.
Meningkatnya kinerja emiten semen itu lebih didorong oleh internal perusahaan seperti pengendalian biaya produksi, sehingga prospek sahamnya membaik, plus ekspektasi permintaan semen ke depan akan meningkat. Hanya saja, Maxi menggarisbawahi bahwa kenaikan saham ketiga emiten itu sudah terlalu tinggi. “Dengan demikian, saham-saham semen ini jadi kurang menarik, kecuali SG yang belum menyentuh harga tertingginya,” katanya menegaskan. Namun, saham emiten ini akan menarik kembali kalau ada aksi korporasi yang berpengaruh secara siginifikan.
Sejalan dengan Maxi, seorang investor, sebut saja Andi, melihat bahwa saham SG masih menarik untuk dikoleksi. Alasannya, kinerja perusahaan tersebut cukup bagus dan ke depan pun akan tetap tumbuh. Memang, kenaikan saham perusahaan ini selama 2009 cenderung sudah terlalu tajam, tetapi pada 2010-11 diperkirakan SG bisa tampil lebih baik mengingat banyaknya belanja infrastruktur pemerintah dan properti yang akan banyak mengonsumsi semen. “Prospek inilah yang jadi pertimbangan sehingga saya masih memegang saham SG,” ujarnya tanpa mau merinci lebih jauh. Dengan alasan Andi itu pulalah, saham Indocement dan Holcim masih layak dicermati untuk investasi jangka panjang.
Riset: Sarah Ratna Herni