Utut Adianto, Maestro Catur dari Keluarga Pas-pasan

Dibesarkan dari keluarga sederhana tak mengurungkan niat Utut Adianto menjadi pecatur yang reputasinya diakui dunia. Bahkan saat usianya belum 16 tahun ia sudah menyandang juara II dunia. Lalu gelar super grand master pun telah diraihnya.

Dede Suryadi dan Siti Ruslina

Karena kepiawaiannya bermain catur, Utut Adianto dijuluki ‘anak ajaib’ dan ‘syaraf baja’. Sejumlah prestasi di bidang olah raga ini telah ia raih, mulai dari juara yang terbaik di tingkat nasional hingga dunia. Tak heran, kalau mengutip Malcolm Gladwell, orang-orang seperti Utut ini bisa disebut outliers, yakni orang-orang dengan pencapaian prestasi luar biasa di atas kebanyakan orang normal.

Nah, bagaimana Utut bisa meraih segudang prestasi sebanyak itu? Latar belakang keluarga dan lingkungan bisa jadi menjadi pendorong Utut menjadi maestro catur di negeri ini dengan reputasinya yang mendunia. Utut lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Ngatijo Adiprabowo menjabat Kakanwil Departemen Perindustrian dan Perdagangan di kisaran tahun 1976. Diakui putera keempat dari 5 bersaudara ini, di tahun 70-an hidup keluarganya pas-pasan.

Di masa kecilnya, lingkungan tempat tinggalnya mengajarkan banyak ragam permainan tradisional seperti bermain kelereng, bermain layangan, tapi diakuinya ia selalu tak pandai dalam berbagai permainan tradisional. Utut lebih tertarik dengan permainan yang mengandalkan kekuatan berpikir seperti main kartu. Utut pun mulai mengenal catur pada usia 6 tahun, dan saat berusia 8 tahun ayahnya mengajak dia dan kedua kakaknya ke klub catur yang saat itu mulai hidup di Indonesia. Persisnya tahun 1973, ia mulai latihan di klub catur Kencana Chess Club. Di tahun itu pula, untuk pertama kali ia ikut kejuaraan catur yunior se-DKI Jakarta di bawah usia 20 tahun.”Saat itu menang catur gak ada uangnya,” kata pria kelahiran 16 Maret 1965 ini mengenang.

Begitu menariknya catur di mata Utut, sampai-sampai di usianya yang terbilang muda –di bangku Sekolah Dasar (SD), ia sudah turun naik bus sepulang dari latihan bermain catur di daerah Ir. Juanda Jakarta sampai larut malam. Karena tak punya kendaraan, untuk berlatihan ia rela berjalan kaki bersama ayahnya dari Ir Juanda sampai Monas. Keesokan paginya ia sudah harus berangkat sekolah lagi.

Semangatnya terus terpacu. la makin giat berlatih. Apalagi kala ayahnya menghadiahi buku My 60 Memorable Games karangan pecatur dunia Bobby Fisher. Dari situlah teori dan teknik memainkan bidak dari berbagai kitab catur dilahap Utut. “Saya ingat gaji ayah saya waktu itu Rp 32 ribu. Sementara saya pernah pingin buku Bobby Fisher yang harganya Rp 50 ribu. Ayah saya kasih konsekuensinya, bisa membelikan buku tersebut tapi saya tak jadi beli celana jeans yang saya idam-idamkan,” kata penggila sepak bola ini. Bisa dibilang, Utut termasuk generasi pertama pecatur Indonesia yang mempelajari catur bukan sekedar melalui kejuaraan.

Setelah itu, sejumlah kejuaraan ia ikuti. Tahun 1978, ketika masih berumur 13 tahun, ia merebut posisi Juara Junior Jakarta, dan pada 1979 meraih Juara Junior Nasional dan Juara II Dunia (di bawah usia 16 tahun) di Puerto Rico. Pada 1982, Utut mulai mencuri perhatian publik dengan meraih gelar master nasional. Setahun kemudian ia menyandang FIDE (Federation Internationale des Echecs) Master. Gelar master internasional diraihnya pada 1985. Setahun kemudian Utut meraih grand master (sebutan pecatur dengan peringkat tertinggi) internasional termuda se-Asia Tenggara, saat masih 21 tahun.

Kemudian, tahun 1995, ia menjuarai Zona Asia Pasifik di Genting Island, Malaysia dan menyandang predikat Super Grand Master dengan peringkat Elo 2.600. Ia mencapai prestasi terbaiknya dengan menduduki peringkat 39 dunia dengan Elo rating 2615. Hasilnya, dari 45 peserta Utut masuk peringkat ke-15. Kejuaraan dunia ia ikuti 5 kali dan terbaik lolos di babak kedua pada tahun 1997, 2000 dan 2004. ”Pada waktu itu saya bergerak di level Top 20 smapai Top 40 in the world. Sekali memenangkan pertandingan, dapat fee US$ 1,000 , bahkan sehari bisa sampai US$ 100 ribu,” ujarnya menginformasikan.

Selain kedisiplinan, untuk mengasah kemampuannya bermain catur tak jarang Utut mengundang jawara-jawara catur dunia seperti Anatoly Karpov (Rusia) dan Nigel Short (Inggris). Memang kendalanya adalah modal untuk mengundangnya. Namun, beberapa kali Utut berhasil memperjuangkan keinginannya dengan mencari sponsor yang mau membiayainya untuk meningkatkan kualitas diri.

Dalam perjalanan menggapai cita-citanya tak selamanya mulus. Tahun 1986, Utut meneruskan studinya mengambil jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Saat itu, hatinya mulai bimbang, memilih catur sebagai profesi atau melanjutkan kuliahnya. Ia kemudian memberanikan diri menghadap Ketua Umum Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi), yang juga menteri luar negeri sekaligus guru besar Unpad, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja untuk berhenti kuliah dan berkonsentrasi bermain catur.

Ia juga berharap Mochtar mau membiayai beberapa kejuaraan catur di luar negeri yang akan ia ikuti. Permintaan Utut itu ditolak. Mochtar tetap menyarankannya melanjutkan kuliah. Akhimya, Utut menyelesaikan kuliahnya pada 1989. Setelah itu, ia bekerja di salah satu perusahaan pengembang terkemuka. Selama bekerja, Elo rating-nya perlahan-lahan menurun dari 2.525 menjadi 2.470 dalam waktu setahun terhitung sejak ia bekerja.

Maka, pada1991, Utut mengundurkan diri dari perusahaan itu, dan terjun sepenuhnya sebagai pecatur profesional. Dampak keputusannya ini pada awalnya sangat sulit sebab ia harus pandai menghemat dan menabung. Apalagi sebulan kemudian, Utut mempersunting Tri Hatmanti, dokter yang kini bertugas di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Untunglah, ia mendapat dukungan dari calon isteri dan mertua yang tidak berkeberatan punya mantu pecatur. Kendati belum jelas masa depannya dibandingkan dengan profesi lain yang lebih gemerlap. Ia percaya bahwa di mana ada usaha, pasti ada jalan.

Keputusan Utut rupanya tidak salah. Mimpinya mulai terwujud sejalan dengan bertambahnya jam terbang mengikuti berbagai turnamen catur nasional dan internasional. Kesempatan bertanding itu tak lepas dari dua bersaudara Santoso Wirya dan Eka Putra Wirya yang menanggung seluruh biaya. Pada awal Juni 1994, pertama kali ia ke AS mengikuti pertandingan New York Terbuka dan Kejuaraan Dunia Terbuka di Philadelphia. Terus melanglang ke beberapa negara Eropa, mengikuti Grand Prix PCA di London. Hasilnya, ia menjuarai Biel Open, juara II di Luzern, dan juara III Biel Master.

Kini, Utut tercatat sudah 89 kali mewakili tim nasional Indonesia. Prestasi yang diukir sejak 1981-2000 adalah menjadi juara pada 15 turnamen internasional. Dari 7 kali berjuang di ajang Olimpiade sejak 1982, Utut mencatat prestasi dengan meraih perak di Dubai, UEA pada 1986, dan medali emas di Istambul, Turki, tahun 2000. MURI mencatat pesta catur terbesar ketika Utut Adianto bertanding sendirian melawan 833 orang dalam simultan catur di Surabaya tahun 1998.

Akhir Januari 2004, Utut kembali tercatat dalam MURI ketika bertarung melawan 9.122 peserta di Gelegar Mega Catur 12 ribu yang diselenggarakan di Hal A-B Pekan Raya Jakarta, tapi gagal melampaui rekor sebelumnya yang diselenggarakan di Havana, Kuba, 7 Desember 2002, tercatat 11.320 orang. Kebanggaan lainnya adalah berhasil membuka Sekolah Catur Utut Adianto di Bekasi, Jawa Barat, pada 1993. Dari sekolah ini, lahir Susanto Megaranto, pecatur cilik yang meraih master internasional pada usia 17 tahun.

Sebagai seorang Grand Master, hingga saat ini Utut tak memiliki pelatih tetap. Ia hanya berlatih menghadapi komputer catur dan menambah ilmu dengan mempelajari buku catur yang jumlahnya seabrek. Ia mengaku jika sedang berada di Tanah Air, jadwal latihannya suka kacau. Ada saja kesibukannya, teman-teman pada datang atau dia harus ngantor dan mengajar catur di sekolah catur Enerpac, di mana ia sebagai ketua dewan pelatih. Namun, sesekali Utut mengundang The Best Trainer dunia untuk melatihnya bermain catur. “Saya bayar dia US$ 2 ribu untuk melatih saya selama 2 minggu. Karena waktu itu saya akan bertarung dengan Judit Polgar (Hungaria),” katanya.

Dia terus melatih taktik, penilaian posisi, dan menciptakan langkah baru, jelas Utut, karena dunia catur juga terus berkembang, kendati tidak revolusioner. Dalam pengembangan langkah ini, Utut dikenal sebagai jago varian Caro-Kann. Kemampuannya hanya bisa ditandingi oleh Anatoly Karpov.

Diakui Kristianus Liem, Direktur Sekolah Catur Utut Adianto, Utut adalah seorang yang genius, mempunyai kemampuan lebih di bidang catur. Liem sudah mengenal Utut sejak usia belasan tahun ketika sang Grand Master baru menapaki karirnya sebagai pecatur. “Dia punya prestasi lengkap untuk Indonesia. Pemecah rekor nasional juga di Sea Games dan 5 kali ikut kejuaraan dunia,” tutur mantan wartawan Majalah Olahraga Sportif (1981-1993) ini.

Untuk memperdalam kualitas dirinya, Utut banyak bergaul berbagai orang di belahan dunia. “Wawasannya luas, jadi banyak orang senang berteman dengannya. Dia punya banyak kawan di setiap negara. Dia lain, dia tak hanya menguasai bidang catur, tapi juga wawasan pengetahuan yang cukup. Makanya sekarang dia bisa masuk DPR, karena dia memang pecatur yang beda,” kata pria 51 tahun ini memuji.

Satu keunggulan Utut yang, menurut Liem, tak dimiliki pecatur kebanyakan adalah, memorinya yang sangat kuat. Seorang Utut mampu menjalankan ‘catur buta’. Dalam satu kesempatan, Utut main catur tanpa melihat papan. Dalam sebuah pameran ia bermain catur dengan seorang master catur nasional, tapi Utut tidak melihat papan catur. Ia bisa hafal detail setiap langkah lawannya tanpa melihat papan catur. Lalu ketika ada turnamen internasional, di mana secara simultan ia melawan 40 – 50 orang. “Ketika pertarungan selesai, ia bisa hafal lho setiap langkah dari ke-50 lawannya itu. Ia luar biasa, ia spesial, ia beda. Daya ingatnya sangat kuat. Sulit dicari orang seperti dia,” ungkap Liem yang sejak tahun 1993 bergabung dengan Utut dan Eka Putera mendirikan Sekolah Catur Utut Adianto.

Sementara itu, Mekar Melati Mewangi, puteri tunggal Utut, mengaku, meski tak berminat di bidang catur, ia bisa rasakan kebanggaannya sebagai anak pecatur tangguh sehebat Utut. Baginya, sang ayah yang saat ini merupakan satu dari 5 mahaguru FIDE (Federation Internationale des Echecs) Trainer adalah orang pintar yang pintar, tegas, tenang dan gigih. Kegigihan ini setidaknya yang menurun kepadanya. “Bapak orangnya gigih. Kalau dia ingin sesuatu, dia akan memperjuangkan sesuatu itu sampai dapat. Saya rasa kegigihan ini yang menurun ke saya,” ujar gadis 16 tahun yang saat ini duduk di bangku Kelas 1 SMA 6 Bulungan ini.

Menurut Melati, sesuai dengan karakternya sebagai pecatur, sang ayah memiliki sikap yang tenang, sabar, di rumah tak banyak bicara dan kalau di rumah bisa berjam-jam membaca buku. Tak seperti kebanyakan orang saat ini yang menghabiskan liburan akhir minggunya ke mal atau tempat rekreasi lainnya, Utut lebih sering mengajak keluarganya silaturahmi ke sanak keluarga. Paling tidak pergi makan bersama di restoran. “Tapi lebih sering main ke rumah saudara. Bapak gak suka menghabiskan waktu libur ke tempat-tempat seperti mal,” tutur Melati yang lebih tertarik ke bidang seni ini.

Utut sendiri bersyukur bisa mendapatkan kelebihan seperti yang dicapai saat ini. Anggota DPR terpilih periode 2009 – 2014 ini mengatakan, untuk menjadi jagoan di bidang catur, menurutnya, ada 3 siklus yang tak boleh dilupakan, yakni latihan, bertanding dengan lawan yang kuat dan evaluasi hasil pertandingan. “Sudah seperti riset ilmiah,” ujar Utut, yang berharap ada “Utut-Utut” yang lain. Yang terpenting, catur ini adalah kerja serius. Tantangan pertama, sampai sejauhmana seseorang mau menekuni bidang ini. Kedua, ketika mencapai keberhasilan, bagaimana dia agar tidak berhenti. Yang jelas, proses untuk mencapai prestasi seperti Utut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kegigihan sekuat baja.

Riset: Siti Sumaryati

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.