Saham perbankan menjadi salah satu motor penggerak naiknya indeks di pasar modal. Kinerja fundamental dan turunnya suku bunga turut mendorong saham sektor keuangan ini menguat. Bagaimana ke depan?
Oleh : Dede Suryadi
Berdasarkan tinjauan Bank Indonesia, kondisi perbankan nasional pada kuartal I/2009 tetap terjaga baik. Rasio kecukupan modal (CAR) masih cukup tinggi yakni 17,7% dengan non-performing loan (NPL) relatif terkendali yaitu NPL gross 4,3% dan NPL net 1,6% (per Februari 2009).
Demikian pula likuiditas perbankan, termasuk aliran likuiditas di pasar uang antarbank, masih menurut BI, makin membaik seiring dengan pengurangan segmentasi dan meningkatnya dana pihak ketiga (DPK). Pertumbuhan kredit per triwulan I/2009 masih rendah, tapi diharapkan mulai meningkat di triwulan II ini. Dalam kaitan ini akan dilakukan sinkronisasi yang lebih intensif antara sumber pembiayaan fiskal dan perbankan dalam memperlancar pembiayaan proyek-proyek stimulus ekonomi.
Dengan alasan itulah, BI memutuskan untuk menurunkan BI Rate (SBI) sebesar 25 bps menjadi 7,5%. Suku bunga ini disebut-sebut terendah yang pernah terjadi di negeri ini. Tentu saja, turunya suku bunga disambut gembira oleh pelaku pasar modal khususnya. Pasalnya, suku bunga turun akan memberi stimulus yang kuat terhadap penguatan saham-saham yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga seperti saham perbankan.
Menurut Budi Ruseno, analis Bhakti Securities, secara keseluruhan perbankan kita sempat kekurangan likuiditas akibat krisis global pada 2008. Akan tetapi, karena inflasi yang terkendali di 2009 lambat laun SBI pun turun. Kendati SBI turun, tidak semua bank likuiditasnya baik. Terbukti Bank IFI dilikuidasi. Ini menunjukkan kalau likuiditas itu tidak merata. Bahkan, masih ada bank yang memberikan bunga penempatan (deposito) yang tinggi agar dana nasabahnya tidak lari. Namun, ada pula bank yang kualitasnya bagus, sudah menekan suku bunga depositonya turun.
Nah, sebagian bank yang bagus itu adalah bank BUMN yang listing di bursa, sehingga ketika terjadi penurunan suku bunga diantisipasi oleh pembelian para investor terhadap saham-saham bank tersebut. Tak heran, saham perbankan saat ini menjadi motor penggerak kenaikan indeks yang cenderung menguat, selain saham perusahaan komoditas. “Selama 2009 hingga pertengahan April, indeks naik 22,6%,” katanya. Artinya, secara keseluruhan turunnya SBI turut memperkuat ekspektasi terhadap penguatan saham perbankan, kendati fakta di lapangan bank masih berhati-hati dalam menurunkan suku bunganya.
Berdasarkan data Bhakti Securities, dari harga pembukaan Januari hingga 23 April 2009, beberapa saham bank mengalami kenaikan signifikan. Bank Rakyat Indonesia/BRI (BBRI)) naik 10,4%; Bank Mandiri (BMRI) 8,2%; Bank Central Asia/BCA (BBCA) 3,1%; Bank Danamon (BDMN) 16,5%; Bank Negara Indonesia/BNI (BBNI) 57,4%; Bank Internasional Indonesia/BII (BNII) 18,9%; dan Bank CIMB Niaga (BNGA) 31,3%. Kenaikkan saham perbankan itu juga dipengaruhi laporan kinerja keuangan masing-masing bank sepanjang 2008 yang dikeluarkan pada sekitar Maret lalu.
Seperti Bank Mandiri yang sahamnya per 24 April senilai Rp 2.450, pendapatan bunganya di 2008 naik 14,2% menjadi Rp 27,34 triliun; pendapatan bunga bersihnya naik 19,5% ke level Rp 15,52 triliun. Sementara itu, laba operasionalnya naik 27,3% menjadi Rp 7,91 triliun; laba bersihnya meningkat 22,3% menjadi Rp 5,31 triliun; dan rasio kredit macet (NPL gross) 4,7% dibanding 7,3% di 2007. Hanya saja, CAR yang memperhitungkan risiko kredit dan pasar sebesar 15,77%, lebih rendah dibanding 2007 (20,75%).
Lalu, BRI yang sahamnya Rp 4.950 (per 24 April) membukukan kenaikan pendapatan bunga 20,9% menjadi Rp 28,10 triliun; pendapatan bunga bersih naik 17,7% ke posisi Rp 19,65 triliun; dan laba operasional naik 10,5% menjadi Rp 8,35 triliun. Sementara itu, laba bersihnya naik 23,2% menjadi Rp 5,96 triliun; NPL gross 2,8% (turun dibanding 2007 yang masih 3,4%). Untuk CAR-nya, dengan memperhitungkan risiko kredit dan pasar sebesar 13,18% – juga lebih rendah dari 2007 (15,84%).
Kita lihat BCA, yang per 24 April 2009 berada di level Rp 3.350, mencetak kenaikan pendapatan bunga 18,2% menjadi Rp 19,30 triliun; pendapatan bunga bersihnya naik 29% menjadi Rp 12,36 triliun; laba operasional naik 21,1% menjadi Rp 17 triliun; dan laba bersih BCA terdongkrak 16,8% ke level Rp 5,25 triliun. Adapun CAR-nya turun dari 17,8% menjadi 15,6%.
Tak ketinggalan BNI, yang kenaikan sahamnya tertinggi, yakni 57,4%; peningkatan pendapatan bunga bersih 31,7% menjadi Rp 9,71 triliun; laba operasional naik 47,9% ke posisi Rp 1,87 triliun; dan laba bersihnya naik 36% menjadi Rp 1,22 triliun. Sementara itu, CAR terjaga di level 13,5% (setelah memperhitungkan risiko kredit dan pasar).
Kenaikan saham sektor perbankan ini dirasakan Soeratman Durahman, trader saham. Menurutnya, penurunan suku bunga sudah direspons pasar dengan harga saham yang ada sekarang, sehingga kenaikan indeksnya relatif tinggi. Di bulan-bulan sebelumnya pun, saham sektor finansial ini termasuk yang paling tinggi kenaikannya dibanding sektor lain, termasuk sektor pertambangan. “Kalau saham perbankan ini mau naik lagi harus ada insentif lainnya seperti suku bunga diturunkan lagi,” ujarnya. Memang, biasanya dalam masa pemulihan di masa krisis, sektor finansial paling tinggi kenaikannya.
Ia sendiri biasanya melakukan aksi jual-beli pada saham BCA, Mandiri dan BRI. “Saya hanya invest di saham bank-bank itu,” kata Soeratman. Ia memilih saham BCA dan BRI, karena keduanya adalah bank ritel yang jaringannya luas dan basis nasabahnya besar. BRI misalnya, jaringannya sampai ke kecamatan; sedangkan saham Mandiri masuk dalam buruannya karena bank ini memiliki aset terbesar dan basisnya korporat.
Hanya saja, ia mewanti-wanti, saat ini jangan coba-coba mengambil posisi (jual atau beli saham) karena situasi politik sedang memanas. “Tunggu sampai ada koreksi,” katanya memberi masukan. Kalau pun secara fundamental emiten perbankan cukup baik, tetap saja akan terpengaruh dengan gonjang-ganjing politik yang negatif. “Sebaiknya, sekarang wait and see sampai kelihatan siapa saja yang jadi capres dan cawapres,” ia menyarankan.
Memang, menutup kuartal pertama tahun ini, beberapa bank mengalami penurunan kinerja di tengah turunnya SBI dan ekspektasi yang postif terhadap sektor perbankan. Ini terjadi pada saham Danamon yang terkoreksi tipis. Per 24 April sahamnya turun Rp 50 menjadi Rp 2.725. Ini dipengaruhi oleh laporan keuangan kuartal pertama yang baru saja dikeluarkan, menunjukkan bahwa laba bersihnya turun 30% menjadi Rp 393 miliar dari Rp 563 miliar (kuartal I/2007).
Penurunan laba tersebut dipicu oleh masalah likuiditas dan pelunasan subdebt yang jatuh tempo. Tentu saja masalah ketidakpastiaan politik di Indonesia juga turut memengaruhi. “Laporan keuangan kuartal I/2009 Danamon keluar, sahamnya langsung terkoreksi,” kata Budi. Nasib yang sama akan dialami bank lain yang rawan koreksi apabila laporan keuangan kuartalan diterbitkan, jika kinerjanya tidak seperti yang diharapkan sebelumnya.
Kalau dibandingkan dengan saat krisis 1997, kondisi perbankan sekarang relatif lebih baik. Bandingkan pada 1997 bank-bank sudah telanjur mengucurkan kredit yang besar kepada para nasabahnya. Sementara itu, tahun lalu bank-bank sedang dalam proses mengucurkan kredit sehingga dananya aman. Apalagi pada 2008 itu bank masih bisa mendapatkan bunga dari surat utang yang diterbitkan pemerintah dengan imbal hasil cukup tinggi. Jadi intinya, jika dibandingkan, kondisi perbankan di 2008 jauh lebih bagus ketimbang saat krisis tahun 1997. Bahkan, dibandingkan dengan negara lain, termasuk sekarang, kondisi perbankan kita masih relatif lebih bagus dibanding perbankan di negara lain.
Nah, agar saham perbankan terus mencorong, Budi memberi masukan untuk bank. Pertama, perbankan harus melakuan efisiensi dan memperbesar pengembangan kredit UKM, serta proyek infrastruktur yang ditangani pemerintah. Kedua, melakukan pengembangan jaringan, inovasi dan terus memperbaiki sistem pelayanan, sehingga nasabah semakin nyaman. Apalagi sekarang ini jaminan yang diberikan Lembaga Penjamin Simpanan semakin rendah. Maka, nasabah akan semakin selektif memilih bank yang benar-benar sehat, termasuk fungsi intermediasinya jalan atau tidak.
Sementara itu bagi investor, saham perbankan khususnya bank BUMN cukup menarik. Alasannya, bank BUMN memiliki likuiditas yang tinggi di pasar sehingga untuk investasi, selain long-term, short-term pun bisa dilakukan. “Ini yang membuat saham-saham khususnya saham BUMN menjadi pendorong naiknya indeks,” Budi menerangkan.
Kendati saat ini dibayang-bayangi kekhawatiran karena memanasnya suhu politik, minimal sampai penentuan siapa capres dan cawapres akan sedikit menepis ketidakpastian. Berita batalnya koalisi antara Partai Golkar dan Partai Demokrat memang sempat membuat sebagian investor melakukan aksi profit taking. Akan tetapi, setelah itu investor akan melihat fundamental emitennya. Yang jelas, baik Budi maupun Soeratman sepakat bahwa saham perbankan ke depan memiliki prospek yang bagus.
Riset: Rohmat Purnadi