Liku-liku Branding Sunpride

Martin Widjaja, Presdir PT Sewu Segar Nusantara

Sewu Segar Nusantara sukses mengangkat citra buah lokal dengan label Sunpride. Bagaimana proses branding Sunpride di tengah gengsi buah impor?

Banyak warga kelas menengah yang memersepsikan Sunpride sebagai buah impor berkualitas yang mahal. Persepsi itu sesungguhnya tidak benar, saudara-saudara. Sunpride adalah murni produk buah lokal Indonesia yang dipasarkan oleh perusahaan Indonesia.

Adalah PT Sewu Segar Nusantara (SSN) dari Grup Gunung Sewu yang memasarkan, mempromosikan, dan sekaligus mendistribusikan Sunpride ke seluruh wilayah di Tanah Air. Demi keberhasilan pemasarannya itu pula, SNN melakukan proses branding Sunpride sehingga seperti terlihat saat ini: Sunpride berhasil dipersepsi masyarakat sebagai buah berkualitas; dan bahkan mengesankan sebagai produk buah impor .

Komitmen SSN melakukan branding Sunpride sudah lama, sejak awal 2000-an. Mula-mula belum menggunakan aktivitas promosi above the line (ATL) dan below the line (BTL) karena langkah pertama yang dijalankan adalah menyiapkan pasokan bahan baku dan edukasi pasar. SSN menyiapkan lahan untuk menanam buah seperti pisang, nanas dan jambu agar terjamin kelangsungan pasokannya. Untuk keperluan tersebut, Grup Gunung Sewu memercayakan pengelolaannya kepada PT Nusantara Tropical Fruit.

Setelah itu, Martin Widjaja, Presdir SSN, memikirkan branding sekaligus edukasi pasar. Martin menyadari, masyarakat Indonesia sudah memiliki persepsi tertentu terhadap perbuahan. Mereka selalu berpikir, buah yang bagus (berkualitas) pasti buah dari luar negeri. Itu sebabnya, guna meningkatkan citra buah lokal, yang pertama-tama dilakukannya adalah memberi nama, Sunpride. Nama berbau asing ini sengaja diberikan karena hendak menyasar kelas A dan B. Agar tidak terjadi komoditasasi, Martin juga memasarkan merek buah lainnya, yaitu Sweety dan Sunfresh. Kedua merek tersebut diposisikan sebagai second brand atau fighting brand dengan harga lebih murah. Sweety adalah second brand khusus untuk pasar modern, sedangkan Sunfresh untuk pasar becek.

Menurut Martin, produk hortikultura, apa pun itu, secara alami akan ada tingkatannya yang dapat diklasifikasikan dalam kelas A, B dan C karena buah memang bukan berasal dari mesin. Dalam dunia perbuahan, ada buah yang kecil ukurannya, ada yang kulitnya lebih kotor, dan sebagainya. “Pokoknya, ada grade– nya. Kami harus posisikan kualitas buah yang berbeda itu, disesuaikan dengan positioning konsumennya masing-masing,” katanya menjelaskan.

Diakui Martin, melakukan branding untuk produk buah merupakan hal baru di negeri ini. Kendati demikian, dari apa yang dijalankan selama ini, proses branding untuk buah tidak beda jauh dengan branding produk lain. Ketika produk sudah mantap kualitasnya dan distribusi juga mulai tertata, tahun 2005 SSN mulai serius melakukan branding. “Kami mulai lebih banyak aktivitas BTL dengan menyediakan potongan buah untuk dicicipi di beberapa modern market,” katanya. Promosi seperti itu dianggap cukup ampuh untuk membangun kepercayaan konsumen.

SSN sengaja bekerja sama dengan sejumlah pasar modern, menurunkan sales promotion girls untuk menawarkan contoh produknya agar konsumen bisa merasakan potongan buah yang dijajakan SSN. “Kalau selama sebulan itu diadakan product sampling, dipastikan penjualannya naik dua kali lipat. Itu bisa dipastikan,” ujar Martin.

Di 2007, SSN menggelar kontes displai terbaik bagi gerai pasar modern yang menjual produknya. “Kontes ini setiap tahun kami gelar sampai sekarang,“ katanya  Yang dinilai dalam lomba antar-hypermarket ini adalah bagaimana mereka menata buah Sunpride. Selama sebulan, mereka mendisplai buah Sunpride sekreatif nungkin di pintu masuk gerai.

Sejalan dengan gencarnya aktivitas BTL, di 2005 SSN juga merambah promosi ATL dengan beriklan di televisi (TVC). Waktu itu iklannya masih umum, menceritakan manfaat pisang Sunpride dan vitamin di dalamnya. “Buah yang beriklan hanya kami saat itu dan impact-nya sangat besar. Walaupun tidak langsung ke volume penjualan, brand awareness mulai tinggi,” ungkapnya.

Iklan televisi tidak lama, hanya setahun. Itu pun sporadis. “ATL kami lihat tidak terlalu penting. Kami lalu fokus ke BTL. Dengan memberi sampel untuk dicoba oleh konsumen. Kami sediakan booth di pasar modern,” ia menuturkan.

Hingga 2011, semua aktivitas pemasaran SSN dilakukan dengan cara alih daya menggunakan agensi. Namun mulai 2012, perusahaan ini sudah mempunyai tim sendiri yang mengelola aktivitas pemasaran produknya.

Dan, pada 2011 juga, SSN menggarap media digital dengan memiliki website dan memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Twitter kendati belum terlalu gencar. Baru pada 2012, SSN mulai gencar menggarap media ini sejalan dengan dimilikinya tim pemasaran sendiri. “Kami masuk ke media sosial bukan untuk berjualan, tetapi lebih pada memberi tip dan informasi,” kata Martin. Media digital ini oleh SSN dijadikan sebagai media sharing dengan pelanggan, bukan sebagai wahana untuk melakukan hard selling. Contohnya, menginformasikan manfaat jambu biji.

Ditambahkan Luthfiany Azwawie, Manajer Pemasaran dan Komunikasi SSN, melalui media digital dan sosial, pihaknya ingin mengajak konsumen menjadikan makan buah sebagai gaya hidup, bukan hanya pelengkap makan sehari-hari. “Jadi melalui media sosial ini, (kami) mengajak konsumen bergaya hidup sehat. Bahwa gaya hidup sehat adalah dengan makan makanan yang seimbang, dilengkapi dengan buah, bukan sekadar olah raga saja.”

Selain itu, pihaknya juga memberikan kuis ke follower di media sosial sekaligus sebagai uji awareness tentang merek buah apa yang mereka ketahui. “Nah, dari situ kami bisa tahu bagaimana merek Sunpride. Ternyata, Sunpride juga disebut, walaupun merek Sunpride masih identik dengan banana,” ungkap Luthfiany. Sehingga, SSN terus gencar mengomunikasikan bahwa Sunpride bukan hanya pisang.

Untuk menjadikan makan buah sebagai gaya hidup, pihaknya mengandeng sejumlah komunitas seperti Indo Runners dan Indonesia Berkebun. Selain itu, Sunpride juga menjadi sponsor event olah raga, seperti Maserati 5K (lomba lari) dan Adidas Marathon. Dalam acara ini, Sunpride menyediakan potongan buah, sehingga para pelari bisa makan buah untuk menyegarkan tubuh mereka. “Ini juga kesempatan buat kami mempromosikan produk kami,” tambahnya.

Branding yang kuat memang bisa menciptakan loyalitas terhadap merek. Loyalitas pelanggan akan terlihat ketika ada kompetisi dengan merek sejenis, terutama dari luar negeri. Makanya, awareness produk haruslah selalu dijaga agar makin dikenal. “Kami tiap tahun lakukan riset, merek Sunpride awareness-nya di atas 90% dan top of mind di atas 50%. Jadi, tanpa dikasih tahu, merek buah yang ada di benak konsumen dan tercetus pertama kali adalah Sunpride, terutama untuk pisang cavendis-nya. Walau Sunpride memiliki jenis buah lainnya.”

Diakui Iwan, pedagang buah, selama ini memang yang paling dikenal dari Sunpride adalah pisangnya, dan buah inilah yang paling banyak dicari konsumen. “Pisang Sunpride cukup diminati pembeli meski harganya 2-3 kali lipat dari pisang biasa,” tuturnya. Iwan menjual setengah sisir pisang Sunpride (sekitar 6 biji pisang) seharga Rp 20 ribu dan kalau satu karton dengan isi 110 biji pisang, harganya bisa mencapai Rp 200 ribuan. “Marginnya lumayan menjual Sunpride,” ujarnya. Konsumen kadang tidak mempermasalahkan harga karena mereka menganggap Sunpride adalah buah impor. “Padahal, Sunpride buah lokal yang sudah sejak 10 tahun lalu dipasarkan.”

Selain branding, distribusi juga menjadi perhatian SSN. Saat ini Sunpride sudah hampir masuk ke semua wilayah di Indonesia kendati masih ada beberapa wilayah yang belum digarap lebih intens. SSN pun telah memiliki kantor cabang di Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang dan punya jaringan sekitar 2.000 gerai di seluruh Indonesia. “Kami ini pemain buah lokal yang infrastruktur channel distribusinya sangat lengkap dan luas. Kami punya cold chain yang bagus,” kata Martin sambil menjelaskan, setiap buah mendapatkan perlakuan yang berbeda. Suhu udaranya khusus. Semua itu sangat dipahami SSN.

“Yang benar-benar mengerti buah tidak banyak di Indonesia. Kami ini sangat paham sejak awal mengeluarkan Sunpride,” kata Martin mengklaim. Buah yang akan dijual selalu dicek dengan menekankan food safety sebagai yang utama. Di laboratorium, buah dicek kadar pestisidanya.

Dengan semua aktivitas pemasarannya itu, Martin mengungkapkan, bisnisnya tumbuh rata-rata di atas 35% per tahun. “Sangat bagus perkembangannya. Ini sejak tiga tahun lalu. Kami sangat optimistis akan lebih tinggi lagi ke depannya,” ujarnya. Terlebih dengan terus tumbuhnya middle income di Indonesia. Ini yang akan menjadi target pasar Sunpride yang potensial digarap. Sayang, Martin keberatan menyebutkan berapa omsetnya. “Kami belum bisa sebutkan, kami masih di bawah Rp 1 triliun deh,” ujarnya tanpa merinci.

Ke depan, melihat pasarnya yang potensial, SSN pun berencana memasarkan Sunpride di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara Timur Tengah. Kendati ini masih menjadi target bisnisnya ke depan, SSN sudah melakukan registrasi merek Sunpride di sembilan negara mulai tahun lalu.

Dalam pandangan Daniel Surya, pengamat branding, apa yang dilakukan SSN dalam melakukan branding buah bukan hal baru di negara lain. Namun, yang dilakukan pada Sunpride memang hal baru. “Semua produk itu sebenarnya komoditas. Semestinya buah bisa di-branding dengan suntikan emosional. Dan, konsumennya diberi informasi dan edukasi yang baik. Kalau tidak, masyarakat Indonesia akan kurang makan buah,” ujar Daniel.

Branding itu tidak boleh sekadar bicara: makan buah itu sehat. “Itu bukanlah branding,” katanya. Seharusnya diangkat sisi emosionalnya. Makanya, SSN harus melihat bagaimana negara seperti Amerika Serikat mem-branding-kan buah-buahnya. Namun, Daniel yakin, SSN telah melakukan branding yang benar.

“Apa yang mereka lakukan itu sama kok seperti yang telah dilakukan brand besar buah-buahan di luar negeri. Mereka melakukan pemisahan brand karena tidak semua buah sama kondisinya,” kata Daniel. Buah kelas atas adalah buah yang sangat bagus kondisi dan ukurannya. Buah datang dengan berbagai kelas. Inilah yang menurut Daniel lumrah dilakukan. Namun, dia mengingatkan agar brand buah itu jangan sampai membingungkan masyarakat. Kedua, harus jelas target pasarnya, jangan terlalu banyak merek, karena kalau kebanyakan merek, investasi di promosi dan pemasarannya juga besar.

“Pasar itu memang tidak bisa dicampur aduk. Ketiga merek itu harus dijaga penampilannya,” ujarnya. Apalagi, mereka sudah mulai aktif di media sosial sehingga penampilan produknya harus diperhatikan. “Saya perhatikan antara merek level atas, bawah dan menengah itu masih kurang mendukung,” ujarnya lagi. Ini harus dijaga, jangan sampai apa yang ada di atas kertas tidak sama dengan apa yang diterima pasar. “Sunpride itu perusahaan yang sudah maju, mereka sudah memikirkan teknologi pertanian yang baik. Mereka harus melihat ke Thailand,” ia memberi saran. SSN pun disarankan oleh Daniel untuk mengelola distribusi dan manajemen produksinya.

Lalu, apa yang harus digarisbawahi dalam melakukan branding? Dalam ATL dan BTL untuk produk buah, menurut Daniel, harus jelas akan dibawa ke mana merek itu sehingga akan jelas pula positioning dan pengembangannya. Kalau tidak jelas, antarmerek akan saling bunuh. Berjualan buah itu yang paling kuat adalah pada respons konsumen, bukan pada promosi di iklannya. Konsumen harus merasakan jelas produknya. Jangan terlalu mengumbar promosi yang tidak perlu, yang tidak mengena langsung pada konsumen. Karena, buah itu dirasa, bukan dilihat iklannya.(*)

Dede Suryadi dan Herning Banirestu

Riset: Armiadi Murdiansah

 

Langkah Sunpride Mem-Branding-kan Buah Segar

  • Spesifik hanya memasarkan pisang cavendis, golden melon dan honey melon.
  • Menamai produknya agar tidak terjadi komoditasasi. Ada Sunpride untuk masyarakat kelas menengah A dan B, ada Sweety dan Sunfresh sebagai second brand atau fighting brand . Sweety adalah second brand khusus untuk pasar modern, sedangkan Sunfresh untuk pasar becek.
  • Di tahun 2005, SSN membuat promosi above the line dengan membuat iklan di televisi. Waktu itu iklannya masih umum, menceritakan manfaat pisang Sunpride dan vitamin di dalamnya.
  • Gencar melakukan aktivitas below the line (BTL) dengan menyediakan sampel produk untuk dicicipi pelanggan di beberapa pasar modern atau mensponsori berbagai kegiatan. Aktivitas ini yang paling banyak dilakukan Sunpride hingga kini.
  • Menggelar kontes kreativitas mendisplai buah bagi gerai pasar modern yang menjual Sunpride. Kontes ini digelar setiap tahun.
  • Sejak 2012, SSN mempunyai tim pemasaran sendiri. Sebelumnya, hingga 2011, semua aktivitas pemasarannya dilakukan dengan cara alih daya menggunakan agensi.
  • Mulai 2011, SSN menggarap media digital dengan memiliki website dan akun media sosial seperti Facebook dan Twitter. Media ini digunakan SSN untuk mengedukasi pasar tentang manfaat buah-buahan segar.
  • Untuk menjadikan makan buah sebagai gaya hidup, SSN mengandeng sejumlah komunitas seperti Indo Runners dan Indonesia Berkebun.

Tulisan ini menjadi Pemenang Utama dalam Sunpride Media Writing Competition 2013

 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.