Gerakan Filantropi dan Bisnis Sosial Konglomerat

Di Indonesia, bermunculan yayasan yang dikelola oleh para konglomerat untuk melakukan aksi filantropi atau corporate social responsibility. Seperti apa kiprah dan motifnya?

Dede Suryadi

 

Gerakan filantropi yang dilakukan para konglomerat melalui yayasan makin marak. Tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di tingkat global. Contohnya, yang dilakukan salah satu orang terkaya di jagat raya ini, Bill Gates, yang mendirikan Bill & Melinda Gates Foundation bersama istrinya tahun 2000. Yayasan milik pendiri Microsoft ini rajin memberikan derma kepada badan amal dan lembaga pendidikan di seluruh dunia. Tahun lalu, misalnya, yayasan ini menyumbangkan US$ 10 miliar atau Rp 93,4 triliun untuk penelitian vaksin baru dan membawanya ke negara-negara termiskin di dunia.

 

Gates juga berupaya menularkan gerakan filantropi ini kepada para konglomerat dunia lainnya. Bersama investor saham kenamaan Warren Buffett, ia melancarkan aksi amal melalui program The Giving Pledge. Majalah Forbes memperkirakan aksi amal itu mencapai lebih dari US$ 150 miliar, atau setara Rp 1.380 triliun. Dalam hitungan Wall Street Journal, dana amal yang terkumpul tersebut bisa mencapai US$ 600 miliar, atau setara Rp 5.451 triliun.

Miliuner lain yang juga dermawan adalah Michael Bloomberg, Wali Kota New York. Ia pernah menyumbangkan US$ 254 juta atau setara Rp 2,3 triliun kepada 1.400 lembaga nirlaba di seluruh dunia.

 

Di negeri ini, cerita kedermawanan konglomerat sering kita dengar. Bahkan dulu, Presiden Soeharto pernah menyerukan gerakan filantropi kepada para konglomerat agar mereka berkomitmen menghapus kemiskinan di negeri ini. Tahun 1994, sedikitnya 96 konglomerat menandatangani Deklarasi Jimbaran yang berisi komitmen mereka untuk menyisihkan 2% dari keuntungan bisnisnya untuk pelaksanaan program penghapusan kemiskinan.

 

Di era Orde Baru itu, tumbuh pula yayasan yang mengikuti model yayasan yang dikembangkan Soeharto. Namun, kala itu banyak yayasan yang dananya tidak jelas dari mana sumbernya dan pengelolaannya pun kurang baik. Akhirnya, sejalan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, yayasan-yayasan Soeharto banyak yang diperkarakan karena dianggap tidak transparan dan jadi sarang penyelewengan dana sosial.

 

Nah, setelah itu, banyak yayasan yang melakukan perubahan. Apalagi, undang-undang tentang pengelolaan yayasan pun berubah. UU No. 28/2004 tentang Yayasan (perubahan dari UU No. 16/2001) mewajibkan pengelolaan yayasan dengan good corporate governance (GCG). Jadi, yayasan dikelola secara transparan dan akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan. Pengelolanya — seperti badan pendiri, badan pengurus dan badan pengawas — serta fungsi dan tugasnya dijelaskan dalam UU tersebut. Dalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa yayasan itu tidak boleh profit. Kalau profit, harus diganti menjadi perseroan terbatas (PT).


Sekarang, jumlah yayasan banyak sekali, termasuk yang didirikan para konglomerat. Bahkan, h
ampir semua konglomerasi memiliki yayasan sebagai wadah untuk berbagi dengan masyarakat. Bagaimana peta yayasan para konglomerat saat ini?

 

Kalau ditelusuri, memang cukup banyak yayasan yang didirikan para konglomerat, baik yang sudah lama berdiri maupun yang baru saja muncul. Nama yayasannya pun beragam. Ada yang menggunakan nama pendirinya, seperti Putra Sampoerna Foundation, Eka Tjipta Foundation, Yayasan Tahija, Chairul Tanjung Foundation dan Ciputra Foundation.

 

Ada juga yayasan konglo yang menggunakan nama perusahaannya, seperti Yayasan Dharma Bakti Astra yang cikal bakalnya didirikan taipan William Suryadjaja, Yayasan Rajawali (Grup Rajawali milik Peter Sondakh), Djarum Foundation, Bakrie Center Foundation (Grup Bakrie), Bosowa Foundation (keluarga Aksa Mahmud) dan Medco Foundation (didirikan Arifin Panigoro). Tak ketinggalan, ada pula yayasan yang didirikan para pebisnis kakap melalui komunitas seperti Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan Yayasan Lions Club.

 

Fokus setiap yayasan para konglomerat ini berbeda-beda. Putra Sampoerna Foundation fokus pada bidang pendidikan, Darma Bakti Astra pada pengembangan UKM, Eka Tjipta Foundation pada pendidikan dan lingkungan hidup, Chairul Tanjung Foundation pada upaya memerangi buta huruf dan menghapus kemiskinan di Indonesia, serta Rajawali Foundation pada riset & pengembangan dalam ilmu pendidikan, khususnya pada pemahaman dan penerapan kebijakan publik yang baik, benar, kredibel dan akuntabel.

 

Sofjan Wanandi, pendiri Grup Gemala, menilai, saat ini sedang menjadi tren perusahaan besar yang sudah sukses mengembalikan apa yang mereka dapat kepada masyarakat melalui yayasan yang bergerak di berbagai bidang atau prioritas yang mereka sukai. Pria berusia 70 tahun ini melihat banyak yayasan yang didirikan oleh grup bisnis besar lebih fokus pada bidang pendidikan, lalu juga melirik rumah sakit. “Di samping mereka berfilantropi dengan mendirikan rumah sakit, sebenarnya jadi bisnis juga,” tutur ayah tiga putra ini.

 

Sofjan mengakui, sebagian yayasan memang bisa menjadi profit oriented. Ia mencontohkan yayasan Grup Lippo. Mochtar Ryadi yang memimpin sendiri yayasan tersebut memiliki perhatian pada bidang pendidikan dan rumah sakit yang sekaligus menjadi ladang untuk mencetak profit.

 

Sofjan membandingkannya dengan di Amerika Serikat, di mana kegiatan filantropi atau corporate social responsibility (CSR) bisa membebaskan sebagian kewajiban pebisnis untuk membayar pajak. Sebagai contoh, Gates atau Buffett membangun sekolah, bisa mengurangi pajak sebesar dana yang disumbangkan untuk kegiatan sosial itu. Di Indonesia memang sudah ada wacana ke sana, tetapi Sofjan melihat implementasinya belum clear. Sebab, ada hubungannya dengan keputusan menteri yang belum jelas perhitungannya. Namun, “Kami tidak mengharapkan keistimewaan atau cari nama dengan yayasan. Itu tidak ada, yang kami lakukan hanya untuk membantu masyarakat,” kata pendiri yayasan yang fokus pada bidang pendidikan ini.

 

Timotius Lesmana, pengamat yayasan dan filantropi, menilai kalau didirikan atas nama korporat, biasanya yayasan digunakan untuk menyalurkan CSR perusahaan tersebut. Yayasan Darma Bakti Astra, misalnya, digunakan Grup Astra untuk membantu membangun UKM yang terkait dengan bisnisnya. Salah satunya dengan penyaluran kredit mikro. Timo melihat, yayasan ini bagus karena ada program yang berkelanjutan, dana bergulir dan pembinaan para mitra. Kemudian, kalau para mitra itu menjadi besar, akan menjadi rekanan Astra yang lebih besar pula.

 

Yayasan yang terkait dengan keluarga atau dengan nama taipan lebih banyak bersifat filantropi. Pada 2007, Timo ikut membentuk Perhimpunan Filantropi Indonesia yang bertujuan melembagakan yayasan-yayasan yang didirikan para taipan dan juga mengajak mereka agar lebih transparan. “Kami berikan capacity building pada mereka,” ungkapnya.

 

Di organisasi ini, kode etik filantropi juga digodok. Pasalnya, yayasan sering memberikan dana, tetapi kerap tidak ada laporan dari pihak ketiga sebagai penerima. “Foundation harus dikelola serius, jangan jadi sambilan. Harus rekrut orang-orang yang bagus agar program berjalan dan sesuai tujuan. Tidak asal-asalan yayasannya, atau hanya sekadar ada,” Timo menerangkan.

 

Jika ingin imbasnya jelas, serta bermanfaat bagi bangsa dan negara ini, yayasan wajib dikelola secara transparan, baik dana yang ada di yayasan maupun programnya. “Dana yang ada bisa habis kalau tidak dikelola dengan baik,” kata Timo tandas. Memang tak mudah mengelola yayasan, sebab SDM Indonesia yang mau peduli pada manajemen yayasan tidak banyak. Pasalnya, untuk mengelola yayasan tidak hanya dibutuhkan profesional biasa, tetapi yang punya passion untuk mengerjakannya. “Selama orang berpikir kerja di yayasan sebagai pekerjaan level dua, tidak akan tercapai yayasan yang bagus. Ya, sekadar ada saja,” katanya menyesalkan.

 

Senada dengan Timo, Ruddy Gobel, dosen dan pengamat yayasan, menilai, yayasan yang baik adalah yang bisa menjalankan fungsi sosial dari sebuah organisasi profit (perusahaan) secara konsisten dan berkelanjutan, terlepas dari isu atau cause yang didukung yayasan tersebut. Pengelolaan yayasan juga harus mengikuti prinsip-prinsip manajemen modern yang transparan. “Saya melihat, banyak yayasan konglomerat yang dijalankan tidak lebih dari sekadar untuk menjadi flagship image dari konglomerat tersebut. Tapi, harus diakui, beberapa yayasan memang sudah berjalan cukup baik,” kata Ruddy.

 

Di Indonesia, salah satu yayasan yang sudah dikelola secara profesional adalah Putera Sampoerna Foundation (PSF). Bahkan sejak akhir 2010, PSF telah bertransformasi, dari organisasi filantropi profesional menjadi institusi bisnis sosial. Dengan demikian, berarti apa pun kegiatan yang dilakukan PSF sama saja dengan menjalankan suatu usaha atau bisnis. Hanya saja, dalam hal ini, apa pun yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan sosial. “Karena, kami ada program-program dan target-target,” ujar Nenny Soemawinata, Direktur Pengelola PSF.

Hingga saat ini PSF telah memberikan sekitar 34.600 beasiswa. Yayasan ini juga telah bekerja sama dengan 170 perusahaan dan sekitar 1,2 juta individu yang secara keseluruhan menyumbang dana sekitar US$ 56 juta. PSF berkomitmen mencetak calon-calon pemimpin masa depan.

 

Dalam hal pengelolaan keuangannya, PSF sangat mengutamakan transparansi. Setiap triwulan yayasan ini mengeluarkan laporan keuangan, dan setiap tahun laporan keuangan tersebut diaudit oleh Deloitte. “Tiap triwulan kami mengeluarkan newsletter dan laporan keuangan. Itu bisa dilihat di website kami. Karena kami harus transparan, ini kan uang donatur. Donatur tentu ingin tahu, dan mereka bisa lihat sendiri laporannya,” ungkap Nenny.

 

Bagi Ruddy, yayasan yang baik dan bermakna adalah yang tidak terkait langsung dengan bisnis konglomerat tersebut. Contohnya, Bill and Melinda Gates Foundation, yang lebih banyak begerak dalam isu-isu kesehatan, bahkan menjadi salah satu sponsor utama penyediaan obat antiretroviral (ARV) bagi pengidap HIV.

 

Yayasan yang ideal memang harus memenuhi sejumlah kriteria, seperti memiliki dana abadi yang tak bisa diganggu gugat dan sustain dalam menjalankan program sosialnya. Lalu, pengelolaan yayasan dilakukan dengan GCG sehingga transparan dan ada pertanggungjawabannya. Kriteria lainnya, hasilnya terukur dengan tujuan mengangkat kaum lemah, serta akumulasi sisa hasil pengelolaan yayasan dikembalikan ke yayasan.

 

Memang tak mudah menunjuk sebuah yayasan yang ideal di negeri ini. Hanya saja, kalau diperhatikan lebih jauh, ada sejumlah yayasan para konglo yang mengarah ke yayasan yang ideal, kendati jumlahnya belum banyak.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.